Breaking News
Dari ruang sidang kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan di PN Jakarta Utara (Idtoday)

Dari Perkara Novel Baswedan

Hakim Seyogyanya Abaikan Tuntunan Jaksa

Oleh : Djuju Purwantoro

Dari ruang sidang kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan di PN Jakarta Utara (Idtoday)

Pada Kamis (11/6), berlangsung persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, dalam kasus penyiraman air keras kepada penyidik KPK Novel Baswedan. Jaksa Penuntut Imum (JPU) menuntut terdakwa penyerang Novel (Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette), dengan hukuman satu tahun penjara. Walau keduanya dinilai terbukti terlibat dalam kasus penyiraman air keras tersebut, tapi Jaksa Penuntut Umum (JPU) menilai cairan yang disiram para terdakwa tidak disengaja mengenai mata Novel, dengan alasan cairan itu sebenarnya ditujukan ke badan Novel.

Dakwaan JPU tersebut, kemudian memicu polemik dan kontroversi di masyarakat, karena terasa sangat melukai rasa keadilan dan hukum masyarakat.

Sangat terasa kejanggalan dakwaan JPU in casu, karena menurut JPU, perbuatan para terdakwa adalah tidak adanya unsur kesengajaan menyiramkan air keras ke mata Novel. Ada nuansa kejanggalan, karena argumennya, para terdakwa disebut hanya akan memberikan pelajaran kepada korban Novel. Perbuatan penyiraman air keras tersebut ke badan Novel, di luar dugaan (tanpa sengaja) ternyata mengenai mata yang menyebabkan mata kanan tidak berfungsi dan menyebabkan cacat (buta) permanen.

Adanya unsur ketidaksengajaan itu maka, menurut JPU, Ronny dan Rahmat tidak memenuhi dakwaan primer soal penganiayaan berat sesuai Pasal 355 ayat (1) KUHP, Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Keduanya hanya dianggap memenuhi dakwaan subsider, yaitu pasal 353 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH.

Pasal 353 ayat (1) berbunyi : “Penganiayaan dengan rencana terlebih dahulu diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun”. Sedangkan pasal 355 KUHP ayat (1) berbunyi : “Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana lebih dahulu diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”.

Padahal sebagai preseden hukum, banyak contoh kasus serupa, yaitu penyiraman air keras (kepada orang lain), hakim memvonis lebih dari 10 tahun penjara. Dalam dakwaan alternatifnya, justru JPU malah mengabaikan pasal 353 ayat (1), yang ancaman hukumannya jauh lebih berat (12 tahun penjara).

Memang sejak awal penyidikan, disinyalir pelaku pidana a quo penuh rekayasa. Beberapa kejanggalan dakwaan JPU, dalam uraiannya tampak kontradiksi dengan hasil proses penyelidikan sebelumnya oleh tim gabungan independen Polri, ditemukan antara lain :

  • Bahwa ada dugaan keras, keterkaitan antara serangan terhadap Novel dengan perkara-perkara yang sedang ia tangani.
  • Bahwa persidangan a quo, tidak cukup mendalami saksi- saksi kunci, orang-orang yang dicurigai dan pemeriksaan atau penyitaan barang bukti penting (tidak utuh)

Apa yang dilakukan oleh terdakwa (unsur subyektif), jelas tidak bisa dipisahkan adanya kesengajaan atas perbuatan dan menimbulkan suatu akibat . Pelaku harus tetap bertanggung jawab, dengan menerima tuntutan hukum terberat.

Jika benar dan patut diduga JPU dalam menjalankan tugas dan kewajibannya tidak profesional berdasar ketentuan terkait, maka dapat terkena sanksi sesuai PER-067/A/ JA/07/2007, tentang Kode Etik Perilaku Jaksa, antara lain :

  • Pasal 3. Mendasarkan pada alat bukti tang sah. Bersikap mandiri, bebas dari pengaruh, tekanan atau ancaman opini publik secara langsung atau tidak langsung. Seorang jaksa harus berpendirian terhadap dirinya sendiri, bertindak secara obyektif dan tidak memihak, tanpa gangguan dari orang lain dan tidak boleh takut dengan ancaman seseorang.
  • Pasal 4. Merekayasa fakta-fakta hukum dalam penanganan perkara. Dalam menentukan tuntutan hukum yang akan dikenakan kepada terdakwa dalam proses penangan perkara harus sesuai dengan fakta yuridis yang ada dan tidak boleh melakukan manipulasi atau memutar balikkan fakta yang berakibat melemahkan atau meniadakan ketentuan pidana yang seharusnya didakwakan dan dibuktikan.

Majelis hakim PN Jakarta Utara, seyogiyanya mengabaikan tuntutan jaksa, dengan mengadili dan memutuskan sendiri (ultra petita), berdasarkan keTuhanan yang Maha Esa, sesuai hati nurani dan bukti- bukti dalam persidangan. Peradilan sesat harus digindari dalam perkara a quo, sehingga tidak menciderai rasa keadilan masyarakat.

 

 

Penulis adalah Vice President KAI (Kongres Advokat Indonesia), Sekjend IKAMI (Ikatan Advokat Muslim Indonesia)

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur