Breaking News
Ibu-ibu Rawa Denok, Depok, 'ngubek empang' cari ikana meriahkan HUT Kemerdekaan (Foto : DepokTren)

NIKMATNYA TINGGAL DI KAMPUNG

Oleh : Abdullah Hehamahua

Ibu-ibu Rawa Denok, Depok, ‘ngubek empang’ cari ikana meriahkan HUT Kemerdekaan (Foto : DepokTren)

Kampung tempat saya tinggal sekarang namanya Rawadenok. Kelurahannya Rangkapan Jaya Baru, berada di Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok. Kiri kanan jalan dan pekarangan rumah penduduk, kehijauan masih kentara dengan adanya pohon belimbing dan jambu merah. Depok terkenal sebagai kota belimbing.

Rumah saya, 31 km dari kantor KPK, kata kilometer mobil. Secara teoritis, jarak tersebut bisa ditempuh dalam waktu 30 menit. Namun, saya harus tinggalkan rumah, tepat pukul 05.00. Tiba di kantor pukul 06.45. Budaya ini saya pelihara selama 12 tahun, 4 tahun di KPKPN dan 8 tahun sebulan di KPK. Biasa yang datang hampir bersamaan di kantor dengan saya adalah Pak Waluyo (Deputi Pencegahan), pak Jasin (wakil ketua), dan Dedy Rahim (Direktur Dikyanmas). Sekarang beliau menjabat Wakil Walikota Bogor. Pernah sekali, saya tinggalkan rumah pukul 05 lewat 5 menit karena waktu subuh, mundur. Dampaknya, saya perlu waktu hampir tiga jam untuk sampai kantor. Konsistensi tiba di kantor pukul 06.45, saya siasati dengan kontrak rumah (sebelumnya sewa kamar) di daerah Bukit Duri, Bali Matraman, tidak jauh dari kantor.

Jalanan umum, lebih tepat gang di Rawadenok cukup hanya untuk satu mobil sebesar milik saya, avanza. Saya perlu waktu sejam untuk sampai Margonda, jalan protokol di tengah bandar Depok.

Ronda Bersama

Lapangan kerja yang terbatas, memicu penduduk mencari sesuap nasi dengan cara tidak terpuji. Mereka mencuri apa yang bisa dimanfaatkan, mulai dari sepeda, kambing sampai dengan motor. Mungkin mereka berpikir, kalau pejabat, Penyelenggara Negara dan ASN bisa mencuri uang rakyat milyaran rupiah, mengapa dirinya tidak bisa. Bukankah mereka lebih mengkhianati amanah rakyat?

Mengeliminasi maraknya pencurian, disepakati warga, ada kegiatan ronda malam. Mulai dari pukul 21.00 sampai menjelang subuh. Saya biasa dapat giliran malam Ahad bersama dua orang muda lain. Sebab, pada hari Sabtu dan Ahad saya ada di rumah. Hari-hari lain, saya nginap di kontrakkan. Ketika ronda malam, kami biasa bergantian mengelilingi perkampungan RT kami. Seorang jaga di pos ronda dan dua orang berkeliling. Setiap sejam sampai dua jam, kami mengelilingi lingkungan RT. Mereka tidak tau kalau saya kerja di KPK. Kalau ditanya, saya hanya bilang, kerja di daerah kuningan. Hubungan, obrolan, bahkan dialog pun berlangsung lepas, santai dan penuh canda dan tawa. Inilah salah satu nikmat tinggal di kampung. Tidak ada saling mengkhianati seperti yang terjadi di pemerintahan dan legislative.

Namun, ketika muncul di kaca teve sebagai Ketua Komite Etik KPK (2011), saya tidak bisa lagi membohongi orang kampung. Padahal saya serius melaksanakan Kode Etik (tidak mengenalkan diri sebagai insan KPK ke siapa pun kecuali karena tugas) selama enam tahun. Apalagi, suatu hari ketika dalam perjalanan di gang sempit menuju jalan besar, ibu penjual nasi lemak, melompat ke tengah gang, menghadang mobil saya. Breeek, saya injak pedal rem. Ibu itu menghampiri saya, sambil tangannya menari-nari: “Pakcik jangan boong lagi,” katanya dengan wajah serius. Sebelum saya bicara, beliau lanjutkan, “pakcik orang KPK kan? Saya lihat di teve,” katanya memvonis saya. Beberapa detik, saya terdiam. Sambil jenaka saya bilang, “Bu, yang di teve itu mungkin kembaran saya,” sambil meninggalkan beliau.

Dampaknya, saya harus lebih telaten dalam berperilaku sehari-hari guna menjaga nama baik KPK.

Suatu hari, di tikungan tajam, tetiba ada anak kecil turun dari sepedanya dan mencampakkannya di jalan. Di gang sempit itu, saya tidak mungkin membanting setir ke kiri atau ke kanan jalan. Praaak, sepeda itu terkena ban mobil saya dan bengkok. Orang yang ada di situ tidak berkata apa pun. Mungkin mereka tau, anaknya salah. Bisa juga karena mereka sudah tau kalau saya orang KPK sehingga segan untuk menegur. Mungkin juga karena bapak itu biasa menjadi jamaah di mushalla berhampiran rumahnya ketika saya mengimami shalat subuh. Saya hanya minta maaf sambil meninggalkan tempat itu.

Tiba di Pasar Rumput, Manggarai, saya menghentikan mobil persis di tempat penjualan sepeda anak-anak. Isteri yang sudah tau maksud saya, langsung turun dan membeli sebuah sepeda, serupa persis dengan yang ditabrak tadi. Hati saya lapang ketika menyaksikan anak seusia 4 tahun itu gembira ria waktu menerima sepeda baru. Selamatlah nama baik KPK, batinku. Inilah nikmat tinggal di kampung di mana tidak ada saling mengkhianati seperti yang terjadi di DPR yang mengesahkan sekian RUU pesanan asing dan aseng.

Gotong Royong

 Kenikmatan lain tinggal di kampung, gotong royong di antara sesama penduduk se-RT. Got yang mampet, jembatan kayu yang rusak atau jalan berlobang, dibaiki penduduk kampung secara gotong royong. Biaya diperoleh dari tabungan beras perelek oleh warga RT. Di depan setiap rumah, digantung kaleng di mana sepekan sekali, petugas RT mengutip beras yang ada di dalamnya, tabungan penghuni rumah. Hasil penjualan beras perelek warga RT itulah yang digunakan untuk membiyai kegiatan gotong royong. Terkadang saya menghayal, Ketua RT lebih pantas menjadi Menteri Keuangan. Tidak perlu sekolah jauh-jauh di luar negeri kalau cuma bisa minta utang luar negeri atau memakan riba bank.

Ketika gotong royong berlangsung, ada anak-anak datang ke Panitia, membawa sumbangan, mulai dari 5 ribu sampai seratus ribu rupiah. Sarapan dan makan siang disumbang oleh ibu-ibu di RT terkait. Sewaktu istirahat, saya langsung pulang karena memang sudah masuk waktu dzuhur. Bukan menganggap makanan tersebut sebagai gratifikasi, tetapi saya tidak tega mengkonsumsi hidangan dari penduduk yang penghasilannya cukup untuk keperluan sehari. Ketika bertugas di daerah, boleh dikata, saya tidak makan di hotel. Saya memilih makan di kaki lima, baik di warteg maupun pecel lele. Selain meragukan kehalalan masakan hotel, saya selalu membayangkan bagaimana sebagian rakyat di Papua, Papua Barat, NTT dan Maluku, yang pagi makan, siang kelaparan. Tengah hari makan, malamnya tidur dengan perut keroncong. Saya tidak tega mengkhianati puluhan juta rakyat Indonesia yang karena pajak dan jerih payah mereka, saya memeroleh gaji setiap bulan. Pengkhianatan yang sekarang dilakukan pemerintah, DPR dan konglomerat, biarlah menjadi urusan mahasiswa dan Muhammad Nuh, buruh kasar di Jambi yang gagal masuk istana.

Sewaktu orang yang dituakan di RT ke rumah mengajak untuk makan bersama, luluh hati saya. Masyaa Allah, nikmatnya makan bersama di lantai dengan piring kaleng, daun singkong rebus dan ikan asin. Alam pikiran saya melayang jauh ke kota Anging Mamiri, puluhan tahun lepas ketika mengikuti Basic Training HMI di Fakultas Teknik UNHAS. Bukankah menu harian selama sepekan itu adalah ikan teri dan sayur kangkung? Bukankah menu makanan seperti itu yang menjadikan saya seperti sekarang? Timbul pertanyaan, apakah saudara Aksa Mahmud, Jenderal Polisi (Purn) Chairuddin Ismail dan lain-lain yang mengikuti basic training bersama saya waktu itu masih ingat semuanya. Akhhh! Mereka mungkin sudah mengikuti trend pengkhianat bangsa sehingga negara sekarang dibebankan utang sampai tahun 2050.

Khayalan saya sirnah ketika Ketua RT menyodorkan bakul nasi ke saya. Inilah nikmatnya tinggal di kampung. “Nikmat Rabb-mu yang manakah yang kamu dustakan,?” sabda Allah yang sampai mengulanginya sebanyak 31 kali dalam surah Ar Rahmaan.

Bersatu Menghadapi Virus China.

Gotong royong penduduk RW di tempat saya yang berjalan selama puluhan tahun, tetiba, retak karena ada pengkhianat bangsa yang masuk ke Depok melalui virus Corona China. DKM di RT saya tetap melaksanakan Shalat Jum’at sekalipun ada edaran MUI yang oleh penguasa ditafsirkan sebagai penutupan masjid dan mushalla. Sesudah Shalat Jum’at, satpol PP mendatangi pengurus DKM. Orang kampung lazimnya taat dan takut terhadap penguasa. Di masyarakat Indonesia, terkenal guyonan, perajurit lebih galak dari jenderal. Namun, pada rezim ini, mereka saksikan dengan penuh keheranan, ada jenderal yang lebih galak dari presiden, sampai-sampai beliau digelar Menteri Semua Urusan.

Hasilnya, DKM tidak melaksanakan Shalat Jum’at. Namun, shalat 5 waktu tetap dilaksanakan secara berjamaah. Saya pun Shalat Jum’at di rumah dengan anak-anak dan isteri. Jum’at berikutnya, pengurus mushalla Muhammadiyah meminta saya khutbah karena takut terkena hadis yang mengatakan, seseorang akan kafir fasik kalau tiga kali berturut-turut tidak Shalat Jum’at tanpa uzur. Menurut mereka, tidak ada uzur seperti yang disebutkan Rasulullah saw sehingga mereka wajib melaksanakan Shalat Jum’at berjamaah. Alhamdulillah, kami laksanakan Shalat Jum’at di mushalla. Jum’at berikutnya, DKM masjid dekat rumah mengeluarkan edaran, tidak ada Shalat Jum’at, tarwih, dan ittikaf. Ketua DKM kerja di kantor Kelurahan dan sekretarisnya baru diterima sebagai dosen di salah satu universitas negeri Jakarta sehingga mereka berdua takut melawan bos.

Menyadari tindakan Ketua dan Sekretaris DKM melanggar tradisi gotong royong karena edaran dikeluarkan tanpa musyawarah, jamaah protes. Ketua Yayasan menghubungi saya, meminta saya menjadi khotib pada Jum’at pertama, Ramadhan. Alasan mereka, sama, tidak ada uzur apa pun seperti yang dimaksud Rasulullah saw. Apalagi di masjid diterapkan protokol virus Corona: ada penyeteril tangan di masjid, jamaah mengenakan masker serta membawa sajadah masing-masing.

Aplikasinya, semua jamaah kerja sama melawan virus Corona China dengan cara tetap Shalat Jum’at, tarwih, ittikaf, dan Shalat Idul Fitri di masjid dan lapangan. Inilah nikmat tinggal di kampung, yang jarang diperoleh di bandar. Maknanya, jika kerjasama berpandukan Al Quran dan As Sunnah, maka pengkhianat sekelas apa pun, dapat dikalahkan. In shaa Allah !!!

Idul Fitri di Lapangan

Jamaah Muhammadiyah meminta saya untuk khutbah di lapangan. Ini tradisi dari dulu. Alasan mereka sama, tidak ada uzur syar’i untuk tidak shalat Idul Fitri di lapangan. Apalagi Fatwa MUI yang terbaru, di zona hijau, dapat dilaksanakan shalat di lapangan atau masjid.

Di atas podium, saya tertegun menyaksikan seorang nenek di atas kursi roda, didorong cucunya untuk bernaung di bawah pohon karena sinar matahari mulai menerpa jamaah. Menyaksikan hal itu, sambil menyampaikan khutbah, saya membatin, “Ya Allah, jika dengan peristiwa ini, saya terpapar virus Corona sehingga mencapai ajalku, saya ikhlas menghadap-Mu.”

Usai khutbah, sebagian besar jamaah menyalami saya. Saya menyambutnya dengan gembira karena sudah mengenakan sarung tangan dan masker. Di rumah, tetangga datang bersilaturrahim, ciri khas masyarakat kampung, sekalipun tetap memerhatikan protocol virus Corona China. Ya Allah, betapa nikmatnya hubungan silaturrahim yang ikhlas, polos dari masyarakat kampung. Saya tidak tau, apakah masih menemui nikmatnya tinggal kampung tahun depan. Namun, saya tetap berharap untuk menjadi orang kampung, sampai kapan-kapanpun. Wallahu’alam.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur