Breaking News
Tauhid

Atasi Corona dengan Bertauhid yang Sempurna (Bag. 4)

Bertauhid yang sempurna berarti bertawakal hanya kepada Allah dengan usaha yang bermanfaat secara maksimal

thayyibah.com :: Salah satu ciri khas ahli tauhid yang sempurna sebagaimana disebutkan dalam hadits yang mulia adalah tawakal kepada Allah semata. Syaikh Muhammad Shaleh Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan definisi tawakal kepada Allah Ta’ala yaitu,

صدق الاعتماد على الله عز وجل في جلب المنافع ودفع المضار مع فعل الأسباب المأذون فيها

“Kejujuran dalam bersandarnya hati kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam mendapatkan sesuatu yang bermanfaat atau untuk hilangnya sesuatu yang membahayakan, diiringi melakukan sebab yang diizinkan (dalam Islam).” [1]

Oleh karena itu, termasuk bentuk bertauhid yang sempurna adalah mengambil sebab atau usaha syar’i dan qadari yang baik sebagai bentuk tawakal kepada Allah yang benar.

Kaidah mengambil sebab dan macam-macam sebab

Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah dalam kitabnya, Al-Qaulus Sadiid menjelaskan salah satu dari hukum sebab,

أن لا يجعل منها سببا إلا ما ثبت أنه سبب شرعا أو قدرا

“Tidak menjadikan sesuatu sebagai sebab, kecuali jika sesuatu tersebut terbukti sebagai sebab, baik secara syar’i maupun qadari (kauni).”

Maksudnya, sebab atau usaha apapun yang kita ambil dalam berbagai permasalahan, termasuk usaha menangani wabah corona, haruslah terbukti secara syar’i atau qadari. Jadi, kita tidaklah boleh melakukan suatu usaha, kecuali jika usaha tersebut terbukti sebagai sebab, baik terbukti secara syar’i maupun secara qadari (kauni).

Baca Juga: Sudah Taubat Lalu Bermaksiat Lagi, Apakah Diterima Taubatnya?

Sebab syar’i dan sebab qadari

Maksud dari sebab syar’i adalah harus ada dalil dari Al-Qur’an atau As-Sunnah yang shahih bahwa sesuatu itu merupakan sebab untuk mencapai suatu manfa’at atau menghindari (menolak) mudharat.

Maksud dari sebab qadari adalah terbukti secara ilmiah atau berdasarkan pengalaman yang jelas dan ilmiah bahwa sesuatu itu merupakan sebab.

1. Contoh sebab syar’i

Sebab terbesar menangani wabah virus corona adalah dengan bertaubat kepada Allah Ta’ala, karena musibah itu disebabkan dosa dan karena tujuan ditaqdirkan ada wabah adalah agar kita bertaubat kepada Allah Ta’ala, merendahkan diri, berdoa kepadaNya, tunduk serta taat kepada-Nya dan mengesakan-Nya.

Dalil-dalil contoh sebab syar’i

Dalil pertama, dalam Al-Qura’n Allah Ta’ala berfirman,

قَالَ أَوَلَوۡ جِئۡتُكَ بِشَيۡء مُّبِين 

“Musa berkata, ‘Dan apakah (kamu akan melakukan itu) kendati pun aku tunjukkan kepadamu sesuatu (keterangan) yang nyata?’” (QS. Asy-Syura: 30)

Ath-Thabari rahimahullah dalam kitab tafsirnya yang terkenal menuliskan,

وما يصيبكم أيها الناس من مصيبة في الدنيا في أنفسكم وأهليكم وأموالكم {فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيْكُمْ }. يقول: فإنما يصيبكم ذلك عقوبة من الله لكم بما اجترمتم من الآثام فيما بينكم وبين ربكم ويعفو لكم ربكم عن كثير من إجرامكم ,فلا يعاقبكم بها

“(Wahai manusia), musibah apa pun yang menimpa kalian di dunia, yang menimpa diri kalian, keluarga kalian, serta harta kalian, {maka itu disebabkan dosa yang diperbuat tangan kalian}. Maknanya, musibah itu menimpa kalian sebagai hukuman dari Allah untuk kalian, karena dosa-dosa yang kalian lakukan antara kalian dengan Allah. Rabb kalian pun memaafkan banyak dari perbuatan dosa kalian sehingga Dia tidak menyiksa kalian (karenanya).”

Dalil kedua, Allah Ta’ala berfirman,

ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ 

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar-Rum: 41)

Para ahli tafsir rahimahullah menafsirkan kerusakan dalam ayat tersebut dengan berbagai macam penafsiran. Kalau disimpulkan, intinya adalah seluruh perkara yang rusak, tidak baik dan tidak bermanfaat bagi manusia, baik kerusakan yang bersifat konkret atau abstrak, baik kerusakan pada perbuatan manusia maupun kerusakan hasil taqdir Allah karena sebab dosa manusia, baik kerusakan yang ada pada diri, harta, binatang, maupun tumbuhan.

Ahli tafsir mencontohkan seperti penyakit (wabah), kesulitan pangan (nafkah), banyaknya kemaksiatan, kerusakan tanaman (buah-buahan), kekeringan, kematian binatang, banyaknya rasa takut, ditinggalkannya amar ma’ruf nahi mungkar, banjir, angin kencang, serta bencana alam lainnya.

Allah jelaskan dalam ayat yang agung ini tentang hikmah dan maksud adanya musibah dan kerusakan di muka bumi ini. Al-Baghawi rahimahullah menafsirkan (لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ)  dengan makna,

عقوبة بعض الذي عملوا من الذنوب

“Supaya Kami membuat mereka merasakan hukuman (sebagai akibat dari) sebagian dosa yang mereka lakukan.”

Ath-Thabari rahimahullah berkata,

)لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ) يقول :كي ينيبوا إلى الحقِّ، ويرجعوا إلى التوبة، ويتركوا معاصي الله

“(Agar mereka kembali), maksudnya agar mereka kembali kepada kebenaran dan kembali bertaubat serta meninggalkan kemaksiatan kepada Allah.”

Kesimpulan ayat ini, munculnya berbagai musibah dan kerusakan di muka bumi ini disebabkan karena dosa yang diperbuat oleh manusia. Hikmahnya adalah supaya mereka merasakan hukuman (akibat) dari sebagian dosa yang mereka lakukan agar mereka kembali ke jalan yang benar. Meninggalkan kemaksiatan kepada Allah dan bertaubat kepada Allah.

Dalil ketiga, Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدۡ أَرۡسَلۡنَآ إِلَىٰٓ أُمَم مِّن قَبۡلِكَ فَأَخَذۡنَٰهُم بِٱلۡبَأۡسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ لَعَلَّهُمۡ يَتَضَرَّعُونَ ٤٢

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri.” (QS. Al-An’am: 42)

Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan al-ba’saa’ (ٱلۡبَأۡسَآءِ) dengan “kefakiran dan kesulitan nafkah” dan adh-dharraa’ (ٱلضَّرَّآءِ) dengan “penyakit dan derita”. Al-Baghawi rahimahullah menafsirkan al-ba’saa’ (ٱلۡبَأۡسَآءِ) dengan “kesulitan dan kelaparan” dan adh-dharaa’ (ٱلضَّرَّآءِ) dengan “penyakit yang lama (menahun)”.

Adanya hikmah adanya hukuman penyakit tersebut disebutkan oleh perkataan Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan (لَعَلَّهُمۡ يَتَضَرَّعُونَ) dengan,

أي: يدعون الله ويتضرعون إليه ويخشعون

“Maksudnya, mereka berdoa kepada Allah, ’merendahkan diri’ dengan mengakui dosa dan bertaubat, serta khusyuk.”

Kesimpulan, munculnya berbagai hukuman musibah yang Allah timpakan kepada sebuah umat, berupa penyakit, kemelaratan, dan kesulitan nafkah itu ada hikmah dan tujuan tertentu. Yaitu agar manusia bertaubat, memohon kepada Allah dengan tunduk merendahkan diri, taat kepada Allah dan mengesakan-Nya.

Di samping itu, sebab syar’i lainnya untuk menangani wabah virus corona adalah dengan memperbanyak dzikir yang memang ada dalil shahihnya, seperti dzikir pagi sore, dzikir keluar rumah, dzikir singgah di sebuah tempat, dan selainnya. Juga semangat mempelajari ilmu syar’i, memperbanyak ibadah sunnah setelah ibadah wajib, seperti shalat malam, dan lainnya.

2. Contoh sebab qadari

Dalam menangani virus corona kita harus pula mengambil sebab qadari sebagaimana arahan pemerintah dan ahli medis, seperti:

Tidak mendatangi tempat wabah, menutup wadah makanan dan minuman, mengucapkan salam saja ketika berjumpa dengan teman tanpa berjabat tangan, meminimalisir aktifitas keluar rumah, meminimalisir pertemuan-pertemuan yang tidak wajib, benar-benar memperhatikan kebersihan, cuci tangan dengan antiseptik, menjaga jarak dengan sesama, memakai masker, dan selainnya.

Intinya, kita kembalikan sebab qadari tersebut kepada ahlinya, dalam hal ini adalah arahan medis dari pemerintah, para tenaga medis, dan lembaga resmi yang berkompeten lainnya.


Khusus terkait dengan penanganan wabah virus corona yang mendunia ini, maka perlu memperhatikan kaidah yang terdapat dalam An-Nisa’: 83 tentang menyebarkan ataupun menviralkan suatu berita, baik bentuknya pengumuman, himbauan maupun arahan yang berdampak menyebarkan rasa takut, atau rasa aman di tengah-tengah masyarakat. Apalagi terkait dengan ancaman nyawa banyak orang. Kaidahnya adalah mengembalikan ke ulama dan pemerintah, karena mengikuti ulama dan pemerintah adalah sebab keberkahan. Dan hakikatnya adalah keberkahan melaksanakan Al-Qur’an. Ini adalah sebab yang sangat besar agar kita selamat menghadapi musibah ini, meski -misalnya- banyak kekurangan secara sebab qadari.

Renungan 

Sebab syar’i itu lebih utama dari sebab qadari (medis), meski keduanya sama-sama penting untuk diambil.

Ingat, sebab syar’i dan qadari itu sama-sama pentingnya. Hanya saja tingkat kepentingannya bertingkat-tingkat antar keduanya.

Syaikh Prof. Dr. Ibrahim Ar-Ruhaili hafizhahullah menyatakan dalam kitab Al-Asbab Asy-Syar’iyyah An-Naji’ah (hal. 3), “Hendaknya seseorang tidak mencukupkan diri dengan sebab medis saja dalam menangani virus corona, dan bahkan mengambil sebab syar’i itu lebih utama dalam menangani wabah corona ini dan wabah selainnya. Dan penetapan pengaruh sebab syar’i itu pasti benarnya, karena sumber penetapannya adalah wahyu Allah.”

Sobat, sungguh benar apa yang disampaikan oleh Syaikh Prof. Dr. Ibrahim Ar-Ruhaili hafizhahullah, apalagi terkadang sebagian sebab medis itu sifatnya uji coba yang tidak ada kepastian pengaruhnya. Jika demikian maka,

Sebab terbesar yang harus kita ambil

Sebab terbesar yang harus kita ambil adalah bertaubat kepada Allah Ta’ala dari seluruh dosa, terutama syirik besar dan setingkatnya. Hal ini karena syirik besar adalah dosa terbesar yang ancaman bagi pelakunya jika mati dan tidak bertaubat adalah berada kekal di neraka.

Dan bertaubat dari syirik itu dengan cara bertauhid dengan benar dan tidak mungkin orang bisa masuk surga tanpa bertauhid. Sedangkan contoh syirik besar adalah takut kepada jin, makhluk halus penguasa pantai, atau roh yang diyakini mampu menimpakan musibah tanpa sebab sebagaimana Allah menimpakan musibah dan mampu mengatur kematian dan kehidupan manusia.

Ritual menyembelih hewan yang dipersembahkan untuk mayit atau jin saat membangun bangunan atau saat panen laut atau saat ada wabah. Atau berdoa (istighatsah) kepada kuburan untuk tolak balak.

Bertaubat dari Syirik Kecil

Bertaubat dari syirik kecil, karena dosa syirik kecil itu lebih besar dari dosa besar (secara jenis dan secara umum). Syirik kecil seperti riya’, mencintai harta secara berlebihan (sehingga dia marah atau ridha hanyalah karena harta, meskipun harus sampai bermaksiat untuk mendapatkannya), bersumpah dengan menyebut nama selain Allah, memakai jimat gelang, kalung, pusaka yang dikeramatkan untuk tolak balak, dan semisalnya.

Bertaubat dari bid’ah

Bertaubat dari bid’ah, yaitu beragama atau beribadah dengan cara yang tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena bid’ah adalah dosa besar yang terbesar, karena hakikatnya pelaku bid’ah membuat-buat ajaran sendiri dalam beribadah.

Termasuk juga wajibnya bertaubat dari bid’ah dalam ritual doa tolak bala’ yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bertaubat dari dosa besar dan dosa kecil

Bertaubat dari dosa besar, seperti ghibah, menenggak minuman memabukkan, mencuri, membunuh, merampok, berzina, dan korupsi. Selain itu, kita juga harus bertaubat dari dosa kecil.

Sobat, setinggi apapun iman seseorang, tetaplah wajib bertaubat dari dosa sekecil dan sesedikit apapun, apalagi jika dosanya banyak dan besar, lebih-lebih lagi saat kondisi wabah menimpanya.

Seseorang wajib segera bertaubat dari seluruh dosa, karena mati itu suatu hal yang pasti datangnya kepada setiap orang, sedangkan corona belum tentu datang mengenai setiap orang.

Maka semestinya seseorang lebih takut mati dalam keadaan tidak sempat bertaubat dari dosa daripada takut terhadap virus corona. Dan seseorang tidaklah bisa bertaubat dengan baik, kecuali dengan berilmu syar’i. Maka pelajarilah syari’at Islam ini terutama ilmu yang fardhu ‘ain, sebuah ilmu yang kalau tidak dipelajari akan terancam terjatuh pada dosa, seperti ilmu tauhid (aqidah dasar), fiqih shalat lima waktu, tentang larangan yang haram, dan lainnya.

Semoga Allah segera menghilangkan wabah corona ini dan menjadikan kita semua sebagai hamba-hamba-Nya yang bertauhid dan bertakwa dengan sempurna. Aamiin.

(Selesai)

***

Penulis: Sa’id Abu ‘Ukkasyah

Artikel: Muslim.or.id

 

About A Halia