Breaking News

Memahami Alasan Larangan Shalat Berjama’ah di Masjid saat Wabah Berlangsung 

Pertimbangan dalam Mengambil Hukum Agama

thayyibah.com :: Dalil agama mencakup lafazh dan makna. Keduanya menjadi pertimbangan dalam menggali hukum agama. Tidaklah tepat jika hanya mempertimbangkan lafazh saat penggunaan dan pelaksanaan makna dari suatu dalil agama dimungkinkan. Makna dalil agama yang dapat dipertimbangkan adalah makna yang tampak (zhahir), jelas (wadhih), dan terukur (mundhabith). Ketika makna suatu dalil agama tersembunyi, tidak tampak, tidak jelas, dan tidak terukur, maka tidaklah tepat jika menjadikan makna tersebut sebagai pertimbangan, sehingga dalam kondisi itu hanya wajib mempertimbangkan lafazh dalil agama.

Larangan Shalat Berjamah di Masjid saat Masa Wabah

Topik yang kita perbincangkan adalah penerapan larangan shalat berjama’ah di masjid yang berakibat pada penutupan masjid sementara waktu. Hal ini dilakukan karena mempertimbangkan makna yang terkandung dalil yang sejalan dengan upaya untuk mencegah bahaya sistemik yang diprediksi akan terjadi.

Al-Bukhari mengeluarkan hadits Abdurrahman bin Auf dalam kitab Shahih-nya bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأرْضٍ، فلاَ تَقْدمُوا عَلَيْهِ، وإذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا، فَلا تخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ

“Ketika kalian mendengar wabah terjadi di suatu daerah, janganlah kalian mendatangi daerah tersebut. Dan jika wabah itu terjadi di daerah kalian berada, janganlah kalian pergi untuk melarikan diri dari daerah tersebut.” [HR. al-Bukhari]

Makna tersurat hadits di atas adalah larangan mendatangi daerah yang terjangkit wabah dan larangan keluar dari daerah yang terjangkit wabah, dimana makna tersirat yang terkandung dalam hadits adalah adanya kekhawatiran terhadap bahaya dan wabah yang bisa menjangkiti manusia.

Infeksi wabah pada setiap individu yang masih berupa dugaan di saat wabah terjadi secara umum pada suatu negeri berarti keberadaan wabah pada setiap belahan daerah di negeri tersebut juga masih berupa dugaan, terbukti bahwa tidak setiap orang di daerah tersebut terinfeksi wabah. Meskipun demikian Allah ta’ala tetap melarang secara tegas untuk  memasuki dan meninggalkan daerah yang terjangkit wabah.

Keyakinan dan kepastian terinfeksinya individu bukanlah syarat wajib untuk melarang, karena sesuatu yang diduga kuat dapat terjadi kedudukannya sama dengan sesuatu yang terjadi (المتوقع الغالب ينزل منزلة الواقع).

Apakah Larangan Ini Bertentangan dengan Tawakkal?

Tentu larangan ini tidak bertentangan dengan tawakkal dan sikap memasrahkan segala urusan pada Allah ta’ala. Juga bukan sikap lari dari takdir Allah, tapi hal ini adalah lari dari takdir Allah yang satu, menuju takdir Allah yang lain seperti yang dikatakan Khalifah ar-Rasyid, Umar ibn al-Khathab radhiallahu ‘anhu.

Larangan memasuki dan meninggalkan daerah wabah karena adanya kekhawatiran terjangkiti wabah mengandung larangan terhadap segala aktifitas yang bisa menjadi sebab penjangkitan dan penularan wabah pada manusia. Dengan demikian apabila dokter dapat membuktikan dan menduga kuat bahwa shalat berjama’ah di masjid merupakan sebab terjadinya penyakit, maka larangan shalat berjama’ah di masjid serupa dengan larangan memasuki dan meninggalkan daerah wabah. Kekhawatiran terjangkit penyakit dan pertimbangan terhadap hasil akhir yang berdampak sistemik menjadi alasan adanya larangan memasuki dan meninggalkan daerah wabah, dimana alasan yang sama juga terdapat pada larangan shalat berjama’ah di masjid. Sebagaimana yang diketahui agama tidak membedakan dua kondisi yang sama.

Dalam hal ini, bahaya kemungkinan besar terjadi dan bersifat umum, sehingga bisa dikatakan menempati posisi darurat. Hal ini dipertegas dengan adanya perintah dan penegasan pemerintah, karena kebijakan pemerintah pasti dilandasi adanya kemaslahatan, sehingga kebijakan tersebut patut dihormati.

Demikian pula kemampuan untuk memverifikasi berbagai sebab penyakit bervariasi dari zaman ke zaman, karena teknologi pengobatan yang canggih di saat ini tidak ada di masa lalu, sehingga apa yang dulu diragukan dan disangsikan, saat ini menjadi hal yang diyakini. Tingkat akurasi dalam mengindentifikasi penyakit, sebab-sebab pencegahan, dan sebab-sebab penularannya yang semakin tinggi dibanding masa lalu juga menjadi faktor pertimbangan dalam konstruksi hukum agama. Dengan demikian, tidaklah tepat jika seseorang menyimpulkan bahwa pandemik juga terjadi di masa Salaf, namun mereka tetap shalat berjama’ah, karena ada perbedaan situasi dan penetapan ‘illah (tahqiq al-manath). Dalam hal ini justru yang bisa disimpulkan adalah di masa itu belum ada kebutuhan untuk meninggalkan shalat berjama’ah, karena minimnya pengetahuan bahwa mengadakan perkumpulan merupakan sebab penularan penyakit, sehingga masih berupa dugaan dan prasangka. Itulah yang menyebabkan tidak ada nukilan dari Salaf bahwa mereka melarang shalat berjama’ah saat terjadi wabah karena mereka belum mampu membuktikan sebabnya.

Catatan Penting Mengenai Permasalahan Ini

Satu hal yang perlu dicermati, yaitu ada perbedaan antara tidak adanya nukilan dari Salaf perihal larangan shalat berjama’ah di masjid dan adanya nukilan dari Salaf perihal ketiadaan larangan shalat berjama’ah di masjid. Hal yang pertama merupakan perkara ‘adamiy, sedangkan hal yang kedua merupakan perkara wujudiy. Dalam topik permasalahan kita ini tidak ada nukilan dari para imam bahwa mereka melarang shalat berjama’ah di masjid, yang mana hal ini merupakan perkara ‘adamiy sehingga tidak cukup kuat untuk menolak kandungan hadits yang telah disebutkan di atas. Selain itu, permasalahan ini berkaitan dengan sarana (wasaa-il) dan tidak berkaitan dengan tujuan (maqaashid), sehingga sarana untuk menolak kerugian sistemik tercakup dalam upaya menolak kerugian sistemik, dan karenanya memiliki hukum yang sama dalam agama.

Bersama hal itu, diriwayatkan dari ‘Amru ibn al-‘Ash radhiallahu ‘anhu bahwa beliau pernah memerintahkan masyarakat untuk tinggal berpencar di pegunungan, sehingga mereka masing-masing hidup terpisah dari yang lain hingga Allah mengangkat wabah yang terjadi. Saat itu terjadi peristiwa Tha’un ‘Amwas, dimana ‘Amru ibn al-‘Ash menjadi penguasa. Beliau berdiri di hadapan masyarakat dan berorasi,

أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ هَذَا الْوَجَعَ إِذَا وَقَعَ فَإِنَّمَا يَشْتَعِلُ اشْتِعَالَ النَّارِ، فتجبلوا منه في الجبال

“Wahai masyarakat sekalian, sesungguhnya wabah penyakit ini bila telah melanda, maka akan cepat menyebar bagaikan api yang berkobar-kobar, maka dari itu hendaknya kalian pergi ke gunung gunung.”

Abu Watsilah al-Hudzaliy berkata kepada beliau,

كَذَبْتَ وَاللَّهِ ، لَقَدْ صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَأَنْتَ شَرٌّ مِنْ حِمَارِي هَذَا

“Engkau salah besar, sungguh demi Allah, saya telah menjadi sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan engkau (wahai ‘Amr) ketika itu masih dalam kondisi lebih buruk dibanding keledaiku ini (masih kafir).”

‘Amr kemudian menjawab,

وَاللَّهِ مَا أَرُدُّ عَلَيْكَ مَا تَقُولُ ، وَايْمُ اللَّهِ لَا نُقِيمُ عَلَيْهِ

“Sungguh demi Allah, saya tidak akan membantah ucapanmu dan demi Allah saya tidak akan berdiam diri di kota ini.”

Kemudian ‘Amr ibn al-‘Ash segera bergegas mengasingkan diri di pegunungan, dan masyarakat pun segera berhamburan mengikutinya. Tak selang berapa lama, Allah pun mengangkat wabah Tha’un dari negeri Syam. Riwayat ini dikeluarkan oleh Ahmad dan ada kritikan terhadap sanadnya.

Menurut data medis ilmiah yang kita ketahui, penularan Virus Corona tidak hanya permasalahan yang terkait pada satu orang dan tidak berpengaruh pada yang lain, sehingga ia bebas memilih antara menjalankan ‘azimah atau rukhshah karena siapa pun yang menderita penyakit itu dapat menularkannya ke orang lain seizin Allah sehingga bahaya dan musibah bisa meluas. Di samping mengingat uraian yang terdapat dalam pembahasan di atas, di sinilah realisasi aturan yang berbunyi,

لا ضرر ولا ضرار

“Tidak boleh melakukan perbuatan yang berbahaya dan membahayakan.” [HR. Ibnu Majah]

Apabila pemerintah memerintahkan untuk melarang masyarakat menghadiri pelaksanaan shalat berjama’ah dan shalat Jum’at di masjid, maka wajib menaati perintah itu demi kemaslahatan bersama. Perintah itu tidaklah bertentangan dengan agama.

Kewajiban muadzin atau orang yang menggantikannya adalah mengumandangkan adzan dan melaksanakan shalat di masjid sehingga adzan dan shalat tetap ditegakkan. Sedangkan setiap individu masyarakat tetap melaksanakan shalat di rumah, tidak diizinkan untuk shalat di masjid bersama muadzin, dan penutupan masjid adalah tindakan yang tepat untuk memutus rantai penyebaran Virus Corona ini.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Artikel: Muslim.or.id

About A Halia