Breaking News
Sebagian santri pesantren Attawa, Ujungharapan, Bekasi (Foto : Istimewa)

SANTRI “MENTAL TEMPE”

Oleh : Abi Miqdam Asy Syathir

Sebagian santri pesantren Attawa, Ujungharapan, Bekasi (Foto : Istimewa)

Santri sebuah kata yang sederhana, namun memiliki arti sejuta rasa. Ya, berbagai rasa dirasakan santri. Rasa gembira saat berteman baru, rasa haru saat menjauh, berpisah keluarga tercinta, ayah, ibu, adik-kakak. Awal masuk perasaan santri sudah bercampur baur antara sedih dan gembira. Semua harus ikhlas, merelakan yang selama ini melekat. Kasih sayang ayah bunda kepada anaknya harus direlakan pisah dengan jarak. Kemanjaan anak harus dikorbankan untuk sebuah cita. Keduanya ikhlas karena Allah. Diiringi dengan doa, deraian air mata tak tertahankan, ikut mengiringi langkah ayah bunda tercinta. Anak tercinta masuk asrama, ayah bunda keluar asrama keduanya dibasahi air mata tanda berpisah untuk sementara.

Perjuangan membutuhkan pengorbanan. Pengorbanan butuh kerelaan untuk sebuah cita dan harapan. Anak yang selalu manja, kini memiliki dunia tersendiri. Jiwanya harus berkorban, tekadnya mesti kuat, menentukan hidup dan kehidupannya dengan inisiatif dan kemandirian. Tidak mudah memang menjalaninya, tetapi harus dilakukan.

Karena hidup manusia berfase, sama halnya Allah ciptakan makhlukNya dengan berfase. Dimulai dari tanah lalu setetes air mani, kemudian menjadi segumpal daarah yang kemudian dilahirkan menjadi anak kemudian dibiarkan hidup supaya sampai kepada masa dewasa, kemudian menjadii tua. Sebagaimana Allah berfirman surat Al Ghafiir ayat 67

(هُوَ ٱلَّذِی خَلَقَكُم مِّن تُرَبࣲ ثُمَّ مِن نُّطۡفَةࣲ ثُمَّ مِنۡ عَلَقَةࣲ ثُمَّ یُخۡرِجُكُمۡ طِفۡلࣰا ثُمَّ لِتَبۡلُغُوۤا۟ أَشُدَّكُمۡ ثُمَّ لِتَكُونُوا۟ شُیُوخࣰاۚ وَمِنكُم مَّن یُتَوَفَّىٰ مِن قَبۡلُۖ وَلِتَبۡلُغُوۤا۟ أَجَلࣰا مُّسَمࣰّى وَلَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ)

“Dialah yang menciptakanmu dari tanah, kemudian dari setetes mani, lalu dari segumpal darah, kemudian kamu dilahirkan sebagai seorang anak, kemudian dibiarkan kamu sampai dewasa, lalu menjadi tua. Tetapi di antara kamu ada yang dimatikan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) agar kamu sampai kepada kurun waktu yang ditentukan, agar kamu mengerti.”

Masa menjadi santri adalah masa dewasa yang sudah Allah gariskan dalam ayatnNa. Di masa masa ini mulai tumbuh produktifitas diri. Karena itulah harus dilakukan penanaman tanggung jawab untuk masa yang akan datang. Salah satunya di pesantren sebagai pembinaan mentalitas jiwa.

Keseharian santri begitu penuh makna, hampir tidak ada waktu terbuang percuma. Seluruh aktifitas daitur sedemikian rupa, mulai belajar, kemudian menegakkan shalat, makan, kembali lagi belajar, shalat wajib selalu tepat waktu. Juga olah raga. Waktu malam setelah shalat isya mereka dibina untuk murajaah pelajaran. Terus waktu berputar seperti itu selama 24 jam. Pendidikan disiplin yang begitu hebat.

Perasaan lelah sering muncul namun santri berusaha senang, dan dijalani dengan tenang , sungguh potret kehidupan santri yang jauh berbeda dibanding kehidupan saat didekapan ayah bunda penuh kemanjaan dan kekanakkan.

Tentang rasa makanan santri, sangat aman dilambung. Tidak ada efek darah tinggi, kolestrol, asam urat atau gula darah. Santri menyebutnya Tahute (tahu tempe). Jika menu ikan atau daging itu menu istimewa. Tahute adalajh kesederhanaan tetapi tidak kekurangan gizi. Dengan Tahute terciptakan mental baja dan jiwa yang kuat.

Mari kita amati proses pembuatan tempe. Kedelai sebelum menjadi tempe, mengalami beberapa proses. Ketika masih berbentuk kedelai, dipenuhi dengan tanah bercampur dengan pupuk dan kotoran. Proses pertama kedelai dikuliti sampa kulit luarnya terkelupas, sehingga berbentuk kacang kedelai. Setelah itu   direndam, diangkat dan dianginkan sampai kering ditunggu sampai mengembang. Setelah mengembang direbus sampai mendidih, lalu didinginkan. Proses selanjutnya kedelai digiling agar kulit arinya terkelupas, kemudian direbus kembaii. Baru dilakukan fermentasi dengan ditambahkan cuka. Setelah itu di keringkan diwadah ditaburi ragi. Ketika sudah merata proses peragian dibungkus dan ditunggu sampai kacang kedelai itu berkeringat dan akhirnya jadilah tempe.

Proses pembuatan tempe begitu lama. Tidak jarang mengalami kegagalan karena ketidaktahuan atau kekurangan ilmu dalam melakukan fermentasi. Tempe, makanan yang   sederhana, tetapi melalui proses yang sulit dan membutuhkan waktu. Walau demikian mayoritas masyarakat Indonesia menyukai makanan tempe.

Dari tempe kita bisa mengambil hikmah bahwa dalam hidup ada fase bermetamorfosa yang dilalui dengan segala ujian dan cobaan, harus siap dengan segala kemungkinan terburuk dan menyakitkan sekalipun dari fase-fase yang akan kita tempuh demi mencapai perubahan yang lebih baik, mental yang sudah ditempa sedemikian rupa menjadi sebuah kekuatan tersendiri.

Lalu bagaimana agar kita bisa melalui fase tersebut dengan sukses dan mencapai hasil yang terbaik? Kuncinya, kita harus tahu dan paham tentang ilmunya yang benar, lalu kita harus belajar dan berlatih dengan giat dan tekun serta tetap tabah maupun sabar dari berbagai pengalaman yang telah dilalui, serta perbanyak berdoa.

Santri selalu diajarkan bagaimana menggapai kebenaran ilmu, dengan belajar (tadarrus) berlatih (tadrib). Diiringi dengan akhlak yang mapan (matin alkhulq) berupa kesabaran dan doa tentunya..

Pesantren sebagai kawah candradimuka untuk melatih mentalitas menjadi kuat dan mapan. Itulah sesungguhnya mental tempe yang sejati. Mental para Santri.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur