Bolehkah Menyampaikan Atau Mengamalkan Hadits Yang Tidak Diketahui Derajatnya? (2)

 
 
Bolehkah Menyampaikan Atau Mengamalkan Hadits Yang Tidak Diketahui Derajatnya? (2)

 

Dalil-dalil tentang tidak bolehnya meriwayatkan suatu Hadits yang tidak diketahui shahih atau tidaknya, apalagi mengamalkannya

thayyibah.com :: Ulama Ahlul Hadits rahimahumullah telah menjelaskan dua prinsip besar dalam ilmu Hadits,

  1. Tidak boleh menerima hadits dho’if (lemah) sebagai dalil dalam Syari’at Islam dan tidak boleh pula mengamalkannya.
  2. Tidak boleh meriwayatkan dan tidak boleh pula mengamalkan Hadits yang tidak diketahui shahih atau tidaknya.

Adapun dalil yang menunjukkan kedua prinsip besar tersebut atau salah satu dari keduanya adalah sebagai berikut :

1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

اتقوا الحديث عني إلا ما علمتم، فمن كذَب علي متعمداً فليتبوأ مقعده من النار

“Hati-hatilah menyampaikan Hadits dariku kecuali yang telah kalian ketahui, maka barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari Neraka” [Berkata Syaikh Al-Albani: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih, sebagaimana di Faidhul Qadiir, dinukil dari : http://www.alalbany.net/4935].

2. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

وَيَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلامُ-: مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ؛ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبَيْنِ رواه مسلم.

“Barangsiapa yang menyampaikan dariku sebuah Hadits, (sedangkan) Hadits tersebut nampaknya dusta, maka ia termasuk salah satu dari dua golongan manusia yang berdusta”. [HR. Muslim].

Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Atsqalani rahimahullah mengomentari Hadits di atas,

فكيف بمن عمل به ؟

(jika meriwayatkan saja tidak boleh, pent.) Maka bagaimana lagi dengan orang yang mengamalkannya?

Dari komentar Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Atsqalani rahimahullah mengomentari Hadits di atas dapat disimpulkan bahwa tidak boleh meriwayatkan dan tidak boleh pula mengamalkan Hadits yang tidak diketahui shahih atau tidaknya.

Adapun Ibnu hibban rahimahullah mengomentari,

ولم يقل : إنه تيقن أنه كذب –  فكل شاك فيما يروي أنه صحيح أو غير صحيح داخل في الخبر

Dan dalam Hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah bersabda: “ sedangkan ia yakin bahwa Hadits itu dusta!”.

Jadi setiap orang yang ragu-ragu tentang Hadits yang ia sampaikan ; apakah Hadits itu shahih atau tidak, maka ia termasuk kedalam ancaman yang terdapat dalam Hadits ini.

[Tamamul Minnah, hal.37 ].

3. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

إن كذبا علي ليس ككذب على أحد من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار

Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta atas nama makhluk selainku, maka barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari Neraka. [HR. Al-Bukhari 1229].

4. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

كفى بالمرء كذبا أن يحدث بكل ما سمع

Cukuplah seseorang (dikatakan) berdusta, (jika) ia menyampaikan setiap apa yang ia dengar. [HR. Muslim (6), Shahihul Jami’ 4482].

Berkata Ibnu Hibban rahimahullah,

في هذا الخبر زجر للمرء أن يحدث بكل ما سمع حتى يعلم على اليقين صحته

Dalam Hadits ini terdapat larangan bagi seseorang untuk menyampaikan setiap apa yang ia dengar sampai mengetahui dengan yakin tentang kevaliditasannya. [Tamamul Minnah, hal. 33].

5. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

كفى بالمرء إثما أن يحدث بكل ما سمع

Cukuplah seseorang (dikatakan) berdosa, (jika) ia menyampaikan setiap apa yang ia dengar. [As-Silsilah Ash-Shahiihah 2025].

Berkata An-Nawawi rahimahullah,

فَإِنَّهُ يَسْمَع فِي الْعَادَة الصِّدْق وَالْكَذِب فَإِذَا حَدَّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ فَقَدْ كَذَبَ لإِخْبَارِهِ بِمَا لَمْ  يَكُنْ ، وَالْكَذِب الإِخْبَار عَنْ الشَّيْء بِخِلَافِ مَا هُوَ وَلا يُشْتَرَط فِيهِ التَّعَمُّد

Karena sesungguhnya seseorang biasanya mendengar berita yang jujur maupun yang dusta, maka jika ia  menyampaikan setiap apa yang ia dengar, berarti telah berdusta, disebabkan mengkabarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan/keadaan yang sebenarnya. Sedangkan definisi dusta adalah mengkabarkan tentang sesuatu yang menyelisihi kenyataan/keadaan yang sebenarnya, dan (untuk disebut dusta) tidak disyaratkan harus unsur kesengajaan berdusta“.

[Sumber: Islamqa.info/ar/14212].

Wa billahit Taufiq.

***

Referensi

  1. Tamamul Minnah fit Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah, Syaikh Al-Albani.
  2. http://www.alalbany.net/4935
  3. Islamqa.info/ar/14212
  4. Islamqa.info/ar/34725

About A Halia