Breaking News

Safinatun Najah: Syarat Shalat, Menutup Aurat

 

شُرُوْطُ الصَّلاَةِ ثَمَانِيَةٌ:

1- طَهَارَةُ الْحَدَثَيْنِ.

وَ2- الطَّهَارَةُ عَنِ النَّجَاسَةِ فِيْ الثَّوْبِ وَالْبَدَنِ وَالْمَكَانِ.

وَ3- سَتْرُ الْعَوْرَةِ.

وَ4- اسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةِ.

وَ5- دُخُوْلُ الْوَقْتِ.

وَ6- الْعِلْمُ بِفَرْضِيَّتِهَا.

وَ7- أَنْ لاَ يَعْتَقِدَ فَرْضَاً مِنْ فُرُوْضِهَا سُنَّةً.

وَ8- اجْتِنَابُ الْمُبْطِلاَتِ.

Fasal: Syarat shalat ada 8, yaitu [1] suci dari dua hadats (besar dan kecil), [2] suci dari najis pada pakaian, badan, dan tempat, [3] menutup aurat, [4] menghadap qiblat, [5] masuk waktu, [6] mengetahui fardhu shalat, [7] tidak meyakini fardhu shalat sebagai sunnah, dan [8] menjauhi pembatal-pembatalnya.

 

Catatan Dalil

Ketujuh: Menutup Aurat

thayyibah.com :: Secara bahasa, aurat berasal dari kata al-‘awar, artinya kurang, aib, jelek. Dinamakan aurat karena jelek jika terlihat dan diperintahkan untuk menundukkan pandangan terhadapnya.

Secara syariat, aurat adalah segala sesuatu yang wajib ditutup atau diharamkan untuk dilihat.

Menutup aurat itu wajib dalam shalat. Hal ini berdasarkan firman Allah,

۞ يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31). Ibnu ‘Abbas menyatakan bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah pakaian dalam shalat. Jadilah perintah di sini adalah perintah wajib memakai pakaian. Al-masjid dalam ayat yang dimaksud adalah shalat.

Wajib menutup aurat dalam shalat karena hal ini dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perintah ini didukung pula dengan hadits berikut.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia bersabda,

لَا يَقْبَلُ اَللَّهُ صَلَاةَ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَارٍ

Allah tidaklah menerima shalat wanita yang telah mengalami haidh sampai ia mengenakan kerudung.” (HR. Abu Daud, no. 641; Tirmidzi, no. 377; Ibnu Majah, no. 655; dan Ahmad, 42:87; Ibnu Khuzaimah, no. 775. Al-Hakim mengatakan bahwa hadits ini sahih sesuai syarat Muslim walaupun ia tidak mengeluarkannya). Berdasarkan hadits ini berarti jika aurat itu terbuka padahal mampu untuk ditutup, maka tidak sah shalatnya.

 

Catatan dari Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i mengenai syarat menutup aurat:

  1. Menutup aurat ini termasuk syarat sah shalat, baik bagi laki-laki maupun perempuan, baik shalat di hadapan orang lain maupun shalat sendirian, berlaku dalam shalat wajib maupun shalat sunnah, shalat jenazah maupun thawaf, termasuk pula ketika melakukan sujud tilawah dan sujud syukur.
  2. Jika aurat orang yang shalat itu terbuka, tidak sah shalatnya baik terbuka banyak maupun sedikit, atau itu sebagian saja. Walaupun ia shalat dalam keadaan tertutup dari pandangan orang, kemudian setelah selesai shalat, ada bagian yang terbuka auratnya, wajib shalatnya diulang, terserah ia mengetahuinya sebelum shalat lalu ia lupa, ataukah ia tidak mengetahuinya sama sekali.
  3. Jika aurat terbuka karena angin, lalu ditutup seketika itu juga, shalatnya tidak batal. Namun jika tidak segera ditutup, shalatnya batal karena kelalaian.
  4. Jika tidak mampu menutup aurat, wajib shalat dalam keadaan telanjang, kemudian ia lakukan rukuk dan sujudnya, dan tanpa mengulangi shalatnya menurut pendapat al-ashah (yang paling kuat). Namun jika pakaian untuk menutup aurat mampu dibeli atau disewa, maka wajib dibeli atau disewa. Atau kalau ada pakaian orang lain, bisa meminta izin meminjamnya.
  5. Hikmah menutup aurat dalam shalat adalah karena seseorang yang shalat sedang menghadap Allah, maka harusnya dalam keadaan yang sempurna dan terbaik.
  6. Di luar shalat juga wajib menutup aurat kecuali dalam keadaan sendirian karena ada hajat seperti mandi.
  7. Jika seorang muslim atau muslimah dalam keadaan butuh atau darurat diminta untuk menyingkap aurat, misal untuk kebutuhan berobat atau khitan, maka boleh seperti itu. Kondisinya ketika itu dalam keadaan hajat dan darurat. Namun yang dibuka hanyalah yang butuh dilihat.

Karena kaedah fikih menyatakan,

الضَّرُوْرَةُ تُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا

“Darurat dihitung sesuai kadarnya.”

Dalil kaedah di atas adalah firman Allah Ta’ala,

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ

Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.” (QS. Al Baqarah: 173).

Sumber: Rumaysho.com

About A Halia