Breaking News

Tapak Asa di Muscat

Oleh : Eva Deswenti

Berada di atas Arabian Sea dengan altitude 11582 meters, dalam perjalanan dari Jakarta menuju Muscat, sejenak waktu berjalan mundur. Masih lekat dalam ingatan rinai gerimis yang menggeser curahan hujan sepanjang malam hingga tengah hari. Tidak hanya memaksa matahari muncul dengan seringai kecil, namun juga meninggalkan jejak banjir di mana-mana. Seakan sebuah sapa selamat hari baru di tahun 2020.

Masih terbayang sesaat tadi di terminal 3 Soetta rombongan dilepas saudara dan sahabat. Romantisme perpisahan dan pertemuan sebuah bandara diperkuat background tangisan langit. Masih kental kurasa perasaan tak berdaya, saat kursi roda itu di dorong petugas melewati gate demi gate keberangkatan. Tak kupungkiri rasa syukur untuk nikmat kesempatan dan kesehatan ini. Namun tetap terselip secuil rasa malu dan tidak bisa menerima bahwa aku harus menjadi “invalid” dengan kursi roda ini.

Terbayang adegan berkali-kali berada di situasi ini, memimpin rombongan dan menjadi seksi sibuk mbolang bersama team SMC. Berdiri gagah perkasa dan sibuk mutar sana-sini bak gasing menyapa rombongan, foto bersama, atau membagikan pasport dan tiket peserta. Hari ini kurasakan duduk manis di kursi. Menjadi pengamat saja, dan cukuplah dengan segaris senyuman atas tatapan kasihan orang melihat ketakberdayaan yang di lekatkan oleh kursi roda ini. Ah, segaris luka terasa menggores ego.

Diam-diam aku menepi, dari meriuhan foto bersama. Dalam hening kucoba menikmati derit roda saat melewati imigrasi ataupun gerbang pemeriksaaan khusus priority. Lekat kusimpan segala keinginan orang sehat yang masih melekat. Berdamailah, meski rasanya banyak orang lain yang lebih tua dan pantas duduk di posisiku, justru berjalan kuat sumringah.

Inilah perjalanan pertama yang ‘nyaris’ batal setelah 2 bulan lalu terkapar tak berdaya. Menghabiskan puluhan hari membaca kemarau pada bab hujan di ranjang rumah sakit. Inilah perjalanan terjauh setelah terkurung di rumah dengan tongkat dan jalan beringsut. Dan Oman, menjadi destinasi pertama.

Menurut Wikipedia, Oman (bahasa Arab: عمان‎ ʻUmān), resminya Kesultanan Oman (bahasa Arab: سلطنة عُمان‎ Salṭanat ʻUmān), adalah sebuah negara Arab di Asia Barat Daya di pesisir tenggara Jazirah Arab. Oman berbatasan dengan Uni Emirat Arab (UEA) di barat-laut, Arab Saudi di barat, dan Yaman di barat-daya. Pesisir ini dibentuk oleh Laut Arab di tenggara dan Teluk Oman di timur-laut. Negeri yang disebut sebagai “The Jewel of Arabia” ini menjadi perlintasan traveling kami sebelum nanti lanjut ke Madinah dan Mekkah, untuk umrah.

Ah, di antara rasa pegal duduk di kursi pesawat, bergantian duduk-berdiri. Ku isi waktu menatap gelap, di sekitarku wajah-wajah lelap tertidur nyenyak. Aku tetap terjaga mengisi kotak-kotak TTS dalam pikiran. Entah besok jawaban apa yang ku dapat.

Saat pesawat mendarat di Muscat internasional airport, anakku yang sejak di Soetta menekuk wajah, dan lebih memilih merapat ke sang ayah berbisik. Katanya, “Besok janji ya ibu gak usah pakai kursi roda. Aku gak suka!” Hm…pantas dia berwajah cemberut sepanjang jalan, malas di ajak foto bersama meski bertemu spot foto menarik. Ternyata kutemukan jawabannya. Bahkan ia pun malu berfoto bersama emaknya yang berkursi roda. “Insyaa Allah, nak, ibupun tak suka memakainya.”

Terbayang besok, saat city tour Oman mengunjungi mesjid dan istana Sultan Qaboos. Jarak parkir, melintasi taman bunga hingga ke mesjid lumayan butuh tenaga dan kekuatan kaki. Ah tak mengapa, malam ini kan kuistirahatkan kaki agar besok siap mbolang lagi. Semangat ya nak, ibupun ingin sehat. Masih banyak tempat yang ingin ibu tunjukkan padamu! Semoga asa dan impian kita terwujud.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur