Breaking News
Reuni 212 2019

Kepincut 212

Oleh: Akhmad Danial

 

Reuni 212 2019

 

Mengapa saya berkali-kali memutuskan datang ke setiap aksi 212 di setiap tahunnya. Cuma satu alasannya: karena sudah kepincut dengan aksi massa Islam yang selalu mampu menghadirkan massa dalam jumlah yang kolosal itu.

Hadir di Aksi 212 bagi saya sudah bersifat adiktif, tidak bisa ditolak untuk terus merasakan pengalamannya. Tak peduli lagi beragam perkataan negatif orang tentangnya. Perasaan seperti itu muncul karena sejak awal ikut di 2016, saya sudah melihat ada karakter aksi 212 yang bersifat khas dibanding aksi-aksi penyampaian pendapat yang saya pernah lihat dan ikuti sebelumnya.

Karakter utamanya terletak pada sifat damainya. Aksi 212, setiap tahunnya, selalu berbentuk aksi damai. Tidak ada kekerasan, tidak ada pengrusakan. Ini luar biasa, mengingat aksi ini selalu melibatkan massa besar yang dalam beragam kasus aksi, sangat sulit dikendalikan dan rawan penyusupan.

Namun dalam 212, masing-masing individu sepertinya mampu mengontrol dirinya sendiri dan mau mendengar arahan-arahan. Setiap individu juga mengontrol perilaku individu lainnya. Mungkin, ini terjadi karena peserta aksi memposisikan diri sebagai ummat yang harus mendengar komando pemimpin mereka: para ulama. Kharisma merekalah yang mengarahkan aksi ini menjadi begitu damai dan teratur sehingga nikmat diikuti. Karakter khas 212 lainnya adalah, memadukan antara aksi dan ibadah. Saya ingat, Aksi 212 tahun 2016, ditutup dengan ibadah sholat Jumat yang dramatis karena dibarengi hujan. Tangis pecah saat bersujud.

Tahun ini, airmata saya kembali tumpah dalam aksi saat pembacaan barzanji utamanya saat berdiri (Mahallul Qiyaam). Utamanya saat menyatakan Marhaban Yaa Nurol’aini (selamat datang cahaya dua mataku). Atau saat membaca, Rabbii faghfirlii zunuubi Ya Allah (Rabb, ampuni semua dosaku Yaa Allah), bibarkatil habiib Muhammad, Yaa Allah (dengan berkah kekasihMu Muhamad, Ya Allah). Aksi tahun ini memang dibarengi acara Maulid Nabi. Mungkin karena motif keagamaan semacam itulah, peserta aksi 212 selalu membludak, datang dari tempat-tempat jauh seperti Australia dengan biaya sendiri.

Saya membaca berita bahwa ada seorang Bapak dari gugusan Kepulauan Kei di Ambon, melakukan perjalanan lima hari naik kapal laut, bersama keluarganya untuk mengikuti aksi 212 tahun 2019 ini. Biaya sendiri!

Salah satu kekhasan aksi 212 yang susah ditiru adalah kerelaan untuk datang ke Monas, tanpa ada pengerahan massa yg bersifat kontraktual. Ini jelas membuat iri. Biaya sebuah aksi itu besar karena pesertanya enggan merogoh kocek sendiri. Bandingkan dengan Apel Kebangsaan di Jawa Tengah misalnya, yang menelan dana 18 miliar!

Di aksi 212, anda akan menemukan realitas sebaliknya. Peserta datang sendiri, dengan ongkos sendiri. Mereka bahkan menyewa hotel-hotel kecil sekitar Monas untuk tempat beristirahat sebelum dan pasca aksi. Soal konsumsi jangan anda tanya lagi! Kalau anda mengikuti aksi sejak malam seperti saya, belasan, bahkan puluhan posko berdiri menyediakan beragam makanan dan minuman! Tinggal pilih sesuai selera.

Karakter khas aksi 212 lainnya memang soal persaudaraan antar peserta aksi. Semua terlihat ingin mengambil peran berbagi untuk saudaranya. Saya ingat di aksi 212 tahun 2016, seorang bapak bersama putrinya yang masih kecil, membagikan sebungkus permen dengan kertas bertulis: “Maaf, cuma permen”. Duh!

Aksi 212 juga mempertemukan orang. Ini menjadi semacam ajang kumpul tahunan dengan teman, sahabat, atau tetangga. Saya menghabiskan waktu semalaman dengan sejumlah teman-teman di Bilik Opini dan teman medsos lainnya. Akhirnya, ciri khas aksi 212 yang tidak akan anda temukan dalam aksi-aksi lainnya adalah kebersihannya.

Selama aksi, pengumpulan sampah sudah terkoordinir sendiri dan sesudahnya, Monas bersih kembali. Kinclong. Tahun 2016, bahkan seorang da’i kondang seperti Aa Gym tidak malu membawa sapu lidi! Dengan beragam ciri khas seperti itu, saya tidak melihat alasan untuk saya tidak hadir dalam aksi tahunan itu. Karena aksi 212 adalah rangkaian pengalaman yang selalu dinanti dan kita tidak ingin kehilangan momentumnya.

Kalaupun ada efek negatif aksi 212, saya kira itu berupa kecemasan dari pihak-pihak yang sedari awal sudah mencurigai motifnya. Dan sebagaimana aksi 212 menjadi semacam ritual tahunan bangsa ini, upaya merendahkan nilai aksi dan pencarian motif dibaliknya juga menjadi ritual bagi para penentangnya. Akan dampak negatif aksi 212 bagj para penentangnya ini saya cuma bisa berkata: “Kasian deh Lo. Selamat sengsara dan uring-uringan di setial awal Desember”.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur