Breaking News
hiteknologi

Karena Bingkai Kita Adalah Media Sosial

Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

thayyibah.com :: Karena bingkai kita adalah media sosial, maka mungkin kita terlalu sering terburu-buru dan ceroboh mengambil keputusan. Tak bijaksana dan tak bijaksini menjadi kebiasaan kita, menganggap hal-hal yang temporal adalah sesuatu yang keren, sehingga bila tak melakukannya maka kita akan menjadi orang yang tak keren, begitu mungkin pandangan kita. Lalu engkau akan mulai merasakan kehampaan pada sesuatu yang engkau senangi, mungkin engkau telah memilih bingkai yang kurang tepat. Ya, mungkin saja engkau sedang memakai bingkai yang kurang tepat. Bingkai tersebut mungkin saja cara berpikir, cara bertindak, landasan dan prinsip hidup, tujuan hidup, dan lain sebagainya. Maka bagaimanakah cara memilih bingkai yang tepat?

Bingkaiku mungkin saja tak seperti bingkaimu, ya, sangat mungkin. Misalnya bingkai cinta, ini tentang cara memandang cinta. Pada umumnya orang-orang menganggap cinta hanya soal kemesraan saja, hanya romantisme yang dijaga terus menerus, sehingga sudah menikah ataupun belum menikah, boleh-boleh saja untuk bermesraan. Mungkin banyak yang memilih bingkai cinta yang seperti ini, bingkai yang sebagian besar orang cenderung kepada bingkai cinta model seperti ini. Padahal boleh jadi bingkai cinta semacam ini adalah salah dan tersesat dalam memaknai arti cinta yang sesungguhnya. Akad adalah deklarasi cinta yang amat sangat kokoh, karena Allah yang menjadi Saksi.

Akad juga adalah sebuah pembuktian cinta, karena berani mencintai maka berani bertanggungjawab, Berani mencintai maka berani melayani, Berani mencintai maka berani memimpin, Berani mencintai maka berani berjuang, berjuang untuk membuktikan cinta, berjuang untuk seseorang yang pantas diperjuangkan karena ia juga turut berjuang, berjuang dengan jiwa, raga, dan harta, berjuang untuk mengumpulkan uang panaik bagi suku Bugis, berjuang untuk memenuhi takaran Mayam bagi Orang Aceh. Jangan kau rendahkan cinta dengan tak mau berjuang, jangan kau rendahkan cinta dengan menikmati sesuatu yang belum diperbolehkan secara agama maupun secara legal formal, jangan au rendahkan cinta dengan takut sebelum berjuang, sebab yang pantas engkau takuti hanyalah Allah. Namun yang terjadi, justru Cinta hanya di anggap romantisme belaka, cinta di terjemahkan sebagai pemuasan syahwat saja, akhirnya cinta pun terdefinisi secara parsial. Memang benar cinta itu tentang romantisme, memang benar cinta itu tentang pemuasan syahwat, tetapi jangan lupa, cinta tidak sesederhana itu, cinta pada laki-laki pada umumnya mengarah kepada hubungan seks, sedangkan cinta pada perempuan berbentuk psikis, maka berhati-hatilah memilih bingkai cintamu.

Bingkai inilah yang kemudian menjadi patron hidup kita, maka sebaiknya engkau lebih cermat lagi memilih bingkai. Ada pula bingkai akal, sebuah cara pandang akal atas segala sesuatu yang terjadi. Jangan sampai pikiran-pikiran liarmu kau jadikan bingkai berpikir, jangan sampai prasangka burukmu kau jadikan landasan berpikir dan bertindakmu. Bingkai akal adalah soal keilmuan, soal keilmiahan. Metode keilmiahan yang masih sangat orisinil contohnya adalah metode periwayatan Hadits, yang lemah ingatan pun bisa jadi di ragukan sebagai perawi Hadits. Maka seharusnya sosial media tak menjadi bingkai berpikir kita, maka seharusnya kata-kata mutiara yang berseliweran di facebookinstagram, ataupun akun twitter kita tak menjadi landasan berpikir kita tanpa di teliti dan di pelajari dulu kevalidannya. Engkau harus banyak membaca, banyak menelaah, bahkan bila perlu engkau butuh mentor dalam proses belajar, sebab belajar bukan hanya dari buku dan literatur tetapi juga butuh guru yang mengajarkan pengalaman serta metode yang benar. Lalu bagaimanakah bingkai akalmu? Masihkah belajar ilmu agama dari facebook yang belum di pastikan kevalidan sumbernya? Masihkah belajar dari kata-kata mutiara di instagram yang engkaupun belum pernah melihat sumber kitab aslinya? Masihkah segan, malu, dan takut bertanya? Takut untuk berubah? Padahal menuntut ilmu agama adalah kewajiban setiap muslim, dan mempelajarinya perlu mentor, perlu bertanya pada para ‘Ulama.

Karena mungkin bingkai kita hanyalah sosial media, sehingga bingkai perjuangan kita pun hanya seperti itu. Sungguh memprihatinkan, berjuang hanya untuk hal-hal yang berkaitan dengan perut saja, atau dalam hal ini sering disebut materialisme. Ini bukan soal penilaian hitam dan putih atau benar dan salah, ini sangat kompleks, tetapi yang lebih penting dari bingkai perjuangan adalah tetap berjuang. Memilih tempat untuk perjuangan, memilih gerakan untuk berjuang bersama, juga merupakan proses pencarian jati diri, tetapi yang paling penting menurut penulis pribadi adalah bagaimana perjuangan ini tetap membawa Risalah Islam dan berafiliasi kepada kepentingan Umat Islam dalam gerakan perjuangannya. Karena bila perjuangan hanya ingin mencapai kesejahteraan masyarakat saja, hanya ingin mewujudkan stabilitas ekonomi saja, maka apa bedanya kita dengan bangsa-bangsa Barat yang sekarang sedang meluncur secara perlahan menuju keruntuhan peradaban, karena kita juga harus memahami bahwa kejayaan dan kehancuran itu dipergilirkan. Dan yang lebih memprihatinkan lagi adalah mereka yang tak berjuang, karena tak memiliki bingkai, hanya mengkritik, tanpa memberi solusi yang konkret, tak juga memberikan kontribusi kecuali komentar-komentar sinis nan tajam.

Karena tak memiliki bingkai maka sosial media yang menjadi bingkainya, karena bingkaimu adalah media sosial. Ibarat sapi yang datang masuk ke sebuah ladang untuk memakan rumput, maka mereka yang memiliki bingkai yang jelas akan turut berkontribusi, memberikan solusi bagaimana tindakan agar sapi tersebut selamat dan ladang juga selamat, win-win solution. Beda dengan mereka yang tak memiliki bingkai, mungkin saja mereka akan membiarkan sapi melahap rumput yang berada di ladang sehingga kerusakan yang terjadi, diam tak berarti. Malah mungkin mereka yang tak memiliki bingkai ini, atau sebut saja mereka punya bingkai media sosial ini hanya asyik meng-upload foto atau kejadiannya, lalu sibuk berkomentar sinis tanpa kerja nyata.

Karena bingkaimu adalah media sosial, maka setidaknya engkau harus mulai berubah dan segera memilih bingkai yang tepat, yang moderat, yang relevan dengan kondisi keindonesiaan, kondisi kekinian dan kedisinian. Karena bingkai cintamu adalah media sosial maka tak ada gairah bagimu untuk memperjuangkan cinta yang sesungguhnya, cenderung memikirkan yang enak-enaknya saja tanpa mau memperjuangkan cinta sejati, cinta seutuhnya, karena anugerah cinta dari Sang Maha Cinta adalah pelaminan dan keluarga sakinah. Karena bingkai akalmu adalah media sosial maka engkau tak pernah membuka literatur asli, hanya mengandalkan media sosial saja sebagai tempat mencari ilmu, menuntut ilmu pengetahuan, tanpa berusaha mencari tahu kevalidannya, seharusnya dengan sarana dan prasarana media sosial yang semakin berkembang ini mampu engkau manfaatkan belajar secara cerdas dan tetap menghidupkan kultur keilmuan dan keilmiahan. Karena bingkai perjuanganmu juga adalah media sosial maka izinkan penulis pribadi untuk mengajakmu melihat realitas kekinian bahwa sekarang adalah waktunya untuk melepas segala kemalasan dan keapatisan menuju semangat juang yang tinggi, semangat juang untuk bangsamu, untuk agamamu, dan untuk dirimu sendiri.

Karena bingkaimu adalah media sosial maka waktunya untuk berubah! Memasuki gelombang ketiga Indonesia menghadirkan karakteristik masyarakat yang berbeda, masyarakat yang sangat paham dengan perkembangan informasi dan teknologi, maka butuh model kepemimpinan yang juga berbeda, mampu memoderasi seluruh umat, mampu memoderasi semua kalangan, mampu memoderasi semua golongan. Ini bukan soal penyatuan gerakan, penyatuan visi, penyatuan pikiran, karena itu suatu hal yang mustahil. Kunci dari memoderasi keseluruhan model masyarakat adalah dengan saling bersinergi. Karena bingkaimu adalah media sosial maka waktunya memberdayakan kalangan muda untuk perubahan, untuk masa depan yang lebih cerah. Teruntuk para pemuda calon pemimpin masa depan, untuk para pemuda pelopor perubahan, waktunya meningkatkan kapasitas dan kompetensi, jangan sampai era keterbukaan ini membuat para pemuda Indonesia kalah bersaing dengan pemuda luar negeri yang masuk untuk berkarir dan berkarya di Indonesia. Karena bingkaimu adalah media sosial maka jadilah pemuda yang cerdas secara intelektual, cerdas emosional, cerdas spiritual, dan yang paling penting pemuda yang berjuang, untuk umat ini, untuk bangsa ini, jazirah nusantara tercinta, menjadi Baldatun Thayyibahtun Wa Rabbun Ghafuur.

(dakwatuna.com/hdn)

About A Halia