Breaking News
Pemimpin dan rakytanya, sebuah ilustrasi (Foto : bulletin darussalam)

Rekonsiliasi Pemimpin dan Rakyatnya

Oleh: Inayatullah Hasyim (Dosen Univ. Djuanda Bogor)

Pemimpin dan rakytanya, sebuah ilustrasi (Foto : bulletin darussalam)

 

Suatu hari, saat menjadi khalifah, Umar bin Khattab memanggil seorang wanita untuk menghadap kepadanya. Wanita itu dalam keadaan hamil muda. Demi mendengar bahwa dia dipanggil oleh seorang Umar bin Khattab, pemimpin yang sangat tegas, wanita itu pun mengalami keguguran akibat rasa takut dan cemas.

Keadaan itu kemudian disampaikan kepada Umar bin Khattab. Lalu, Umar mengumpulkan para sahabat Nabi lainnya, dan bertanya, apakah dirinya patut dianggap bersalah sebab panggilannya telah menyebabkan seseorang mengalami keguguran. Para sahabat Nabi mengatakan, tidak ya Amirul Mukminin. Sebagai khalifah, engkau berhak menegur siapapun.

Umar masih tak puas. Dia pun bertanya pada Ali bin Abi Thalib, “Bagaimana pendapatmu, wahai Abu Hasan?” Ali bin Abi Thalib menjawab, “Kau terkena denda”. Maka, Umar pun “dihukum” sesuai ketentuan agama, yaitu membayar denda layaknya hukuman “pembunuhan tidak sengaja” dengan membayar seratus ekor unta. Ambillah unta-untaku dan bagikan kepada keluarganya, kata Umar. Itulah rekonsiliasi sejati seorang pemimpin dengan rakyatnya.

Ketika Ali bin Abi Thalib berkuasa, ia diprotes oleh rakyatnya. Dengan nada keras, seseorang berkata kepada Ali, “Di zaman Umar bin Khattab sedikit sekali aksi kejahatan dan pencurian. Di zaman Anda kok mulai banyak?” Ali menjawab, “Sebab di zaman Umar, rakyat yang dipimpinnya itu seperti aku. Sekarang aku harus memimpin rakyat seperti Anda”.

Dalam kisah lainnya, seorang khalifah Bani Umayyah mendengar perkataan buruk rakyat tentang pemerintahannya. Karena itu, sang khalifah mengundang dan mengumpulkan para tokoh dan elit rakyatnya. Dalam pertemuan itu khalifah berkata, “Wahai rakyatku sekalian, apakah kalian ingin aku menjadi khalifah seperti Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Khattab?” Mereka pun menjawab, “Ya”.

Kemudian sang khalifah berkata lagi, “Jika demikian halnya, maka jadilah kalian seperti rakyat Abu Bakar dan Umar. Karena Allah SWT yang Maha Bijaksana akan memberikan pemimpin pada suatu kaum sesuai dengan amal-amal yang dikerjakannya. Jika amal mereka buruk, maka pemimpinnya pun akan buruk. Dan jika amal mereka baik, maka pemimpinnya pun akan baik”.

Kisah-kisah di atas adalah peristiwa yang terjadi dalam kehidupan nyata ketika bernegara. Pemimpin memiliki kewajiban mengayomi rakyatnya,  sekaligus berwenang untuk bertindak tegas demi terciptanya keberlangsungan hidup yang aman, tertib dan teratur. Sedangkan rakyat berkewajiban mentaati setiap peraturan dan kebijakan pemimpinnya dalam taat kepada Allah SWT.

Setiap rakyat selalu mendambakan pemimpin yang bertanggungjawab melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Akan tetapi pemimpin yang didambakan tersebut bukan sesuatu yang lahir begitu saja. Pemimpin ternyata juga sangat tergantung kepada kualitas rakyatnya. Allah SWT berfirman,

وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Dan begitulah kami jadikan pemimpin sebagian orang-orang yang dzalim bagi sebagian lagi, disebabkan apa-apa yang mereka usahakan”. (QS Al-An’am: 29)

Sufyan ats-Tsauri berkata kepada Abu Ja’far al-Manshur, khalifah dari dinasti Bani Umayyah, “Aku tahu, ada seorang lelaki yang bila dia baik, maka rakyat akan baik. Dan jika dia rusak, maka rusaklah rakyat semua.” Abu Ja’far al-Manshur bertanya, “Siapa dia?” Sufyan menjawab, “Engkau!”

Maka, pemimpin yang paling baik ialah pemimpin yang ikut berbagi bersama rakyatnya. Rakyat mendapat perlakuan keadilan yang sama, tidak ada yang diistimewakan. Sehingga pihak yang merasa kuat tidak memiliki keinginan melakukan kedzaliman. Dan pihak yang lemah tidak merasa putus asa untuk mendapatkan keadilan.

Karena sedemikian penting sikap adil pemimpin pada rakyatnya, Rasulallah ﷺ mendoakan untuk hal itu. Beliau ﷺ berdoa, “Ya Allah, barangsiapa mengurusi sesuatu dari urusan umatku, lalu dia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia, dan barang siapa mengurusi sesuatu dari urusan umatku, lalu dia bersikap lembut kepada mereka, maka bersikaplah lembut kepadanya.” (HR. Muslim).

Pemimpin jangan sampai berlaku curang dan menipu rakyat, karena akibatnya sangat berat. Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidak ada seorang hamba yang Allah memberikan kekuasaan kepadanya mengurusi rakyat, pada hari dia mati itu dia menipu rakyatnya, kecuali Allah haramkan surga atasnya.” (HR. Muslim).

Beliau ﷺ juga bersabda: “Barangsiapa menyerang kami dengan senjata, maka dia bukan dari kami. Dan barang siapa berbuat curang di antara kami maka dia bukan dari kami.” (HR. Muslim). Ancaman “diharamkan surga” dan “bukan dari kami” menunjukkan bahwa perbuatan curang tersebut merupakan kezhaliman.

Pemimpin dan rakyat harus saling menasehati, mendoakan kebaikan satu dengan lainnya, dan ulama sebagai bagian dari rakyat, berkewajiban untuk terus menasehati pemimpinnya. Ali bin Abi Thalib berkata, “Ulama yang datang membungkuk ke istana pemimpin membuat buruk muka ulama dan pemimpinnya. Pemimpin yang berkunjung takzim ke rumah ulama, membuat pemimpin dan ulama sama-sama semakin mulia”. Wallahua’lam bis showab.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur