Breaking News
Telepon pintar di atas meja - Ilustrasi gambar

Beberapa Kesalahan dan Kemungkaran terkait dengan Penggunaan Telepon (Bag. 1)

Beberapa Kesalahan dan Kemungkaran terkait dengan Penggunaan Telepon (Bag. 1)

 

thayyibah.com :: Seiring dengan perkembangan teknologi, penggunaan telepon genggam (handphone) atau alat komunikasi sejenis menjadi kebutuhan yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Dan tidak bisa kita pungkiri bahwa dengan semakin intensnya pemakaian telepon di jaman ini, menyebabkan terjadinya banyak kemunkaran yang selayaknya dihindari dan diwaspadai oleh setiap muslim.

Berikut ini beberapa kemunkaran yang terkait dengan penggunaan telepon.

Tidak mengucapkan salam “Assalamu’alaikum” ketika memulai dan menutup pembicaraan

Orang yang menghubungi (menelepon) memiliki kewajiban untuk mengucapkan salam, karena dia seperti orang yang mendatangi rumah seseorang. Hendaklah dia memulai dengan ucapan salam yang diajarkan Islam, yaitu ucapan “Assalamu’alaikum”, yang merupakan salah satu syi’ar Islam dan kunci keselamatan. Demikian pula, wajib bagi yang menerima ucapan salam (orang yang ditelepon) untuk menjawabnya.

Dari Rib’i bin Hiras radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Seorang laki-laki dari Bani ‘Amir mengabarkan kepadaku, bahwa dia meminta ijin kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang berada di rumah. Dia mengatakan,

أَلِجُ؟

‘Bolehkah aku masuk?’

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada pembantunya,

اخْرُجْ إِلَى هَذَا فَعَلِّمْهُ الِاسْتِئْذَانَ، فَقُلْ لَهُ: قُلِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ، أَأَدْخُلُ؟

‘Keluarlah menemuinya dan ajarkanlah dia cara meminta ijin. Katakanlah kepadanya, ‘Ucapkanlah, ‘assalamu’alaikum’, bolehkah aku masuk?’

Laki-laki tersebut mendengarnya dan mengucapkan,

السَّلَامُ عَلَيْكُمْ، أَأَدْخُلُ؟

“Assalamu’alaikum, bolehkah aku masuk?”

Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengijinkan laki-laki tersebut untuk masuk.” (HR. Abu Dawud no. 5177, hadits shahih)

Orang yang menelepon bagaikan orang yang minta ijin masuk rumah orang lain, sehingga dia lah yang memiliki kewajiban untuk memulai ucapan salam. Janganlah dia diam dan menunggu orang yang ditelepon memulai mengucapkan salam terlebih dahulu.

Termasuk dalam kemunkaran dalam masalah ini adalah meninggalkan ucapan salam ini dan menggantinya dengan ucapan salam lainnya, misalnya dengan ucapan “selamat pagi, selamat sore” atau “halo” atau ucapan-ucapan lainnya.

Sejenis dengan hal ini adalah ketika kita tidak menutup pembicaraan dengan salam pula. Ini juga merupakan kesalahan. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا انْتَهَى أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَجْلِسِ، فَلْيُسَلِّمْ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَقُومَ، فَلْيُسَلِّمْ فَلَيْسَتِ الْأُولَى بِأَحَقَّ مِنَ الْآخِرَةِ

“Jika salah seorang di antara kalian menutup majelis, hendaklah mengucapkan salam. Jika dia ingin berdiri, hendaklah dia mengucapkan salam. Tidaklah yang pertama lebih berhak dari yang terahir.” (HR. Abu Dawud no. 5208, hadits shahih)

Tidak memperkenalkan diri dengan baik dan jelas

Kalau kita menelepon seseorang yang sekiranya belum memiliki nomor telepon kita, hendaklah kita memperkenalkan diri terlebih dahulu dengan jelas siapakah nama (asli) kita. Termasuk kesalahan dalam masalah ini adalah seseorang hanya menyebutkan “saya”, “saya, temanmu”, atau “saya, tetanggamu”, padahal tidak jelas “saya” itu siapa.

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Aku meminta ijin kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bertanya, ‘Siapakah ini?’ Aku menjawab, ‘Saya.’ Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنَا أَنَا

‘Saya, saya.’ (HR. Muslim no. 2155)

Dalam riwayat Abu Dawud terdapat tambahan,

كَأَنَّهُ كَرِهَهُ

“Seakan-akan beliau membencinya.”  (HR. Abu Dawud no. 5187, hadits shahih)

Termasuk kesalahan yang juga sering dilakukan adalah dengan memperkenalkan diri menyebut nama kunyah saja, yaitu mengatakan, “Saya, Abu Fulan.”

Cara memperkenalkan diri semacam ini tidaklah dikenal di jaman salaf, karena mereka memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama mereka secara langsung. Adapun nama kunyah itu dipakai oleh orang lain untuk memanggil nama kita, bukan kita pakai untuk memperkenalkan diri kita sendiri.

Dikecualikan dalam masalah ini adalah jika seseorang itu lebih terkenal dengan nama kunyah-nya sehingga bisa setara dengan nama asli. Di antaranya adalah para sahabat radhiyallahu ‘anhum, seperti Abu Bakr, Abu Dzarr, dan Ummu Hani’ radhiyallahu ‘anhum.

Tidak menyebutkan nama asli termasuk dalam adab yang buruk dan akan merepotkan orang yang ditelepon.

Berbuat khianat dengan merekam dan menyebarkan pembicaraan pribadi yang dirahasiakan

Yaitu dengan merekam pembicaraan pribadi melalui telepon, kemudian menyebarkannya. Tidak boleh atas setiap muslim yang (memiliki sifat) memperhatikan amanah dan membenci khianat, untuk merekam pembicaraan pribadi seseorang tanpa ijin atau tanpa sepengetahuannya, meskipun pembicaraan tersebut berkaitan dengan topik agama atau topik duniawi seperti fatwa, pembahasan (diskusi) ilmu, harta, dan sebagainya.

Diriwayatkan dari sahabat jabir bin ‘Abdillah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا حَدَّثَ الرَّجُلُ حَدِيثًا، فَالْتَفَتَ فَهِيَ أَمَانَةٌ

“Jika seseorang sedang berbicara dengan orang lain, dalam keadaan dia menoleh (ke kanan dan ke kiri, pen.), maka itu adalah amanah.” (HR. Ahmad no. 14474, hasan li ghairihi)

Makna “menoleh” dalam hadits di atas adalah ketika yang tampak dari sikap orang yang berbicara tersebut adalah kekhawatiran dengan menoleh ke kanan dan ke kiri, khawatir kalau pembicaraannya diketahui orang lain. Jika kondisinya demikian, maka pembicaraan tersebut adalah amanah dari saudaramu yang harus dijaga. Jika kita membocorkan ke orang lain, maka kita telah menyelisihi perintah Allah Ta’ala untuk menjaga amanah, dan jadilah kita termasuk orang-orang yang berbuat dzalim.

Hadits di atas termasuk dalam jawami’ kalim (kalimat dari Nabi yang ringkas, namun penuh makna). Karena dalam hadits ini terkandung anjuran terkait dengan adab pergaulan, berbuat baik dalam berteman, menjaga rahasia, dan peringatan terhadap perbuatan namimah (adu domba) di antara sesama yang menyebabkan kebencian dan permusuhan.

Ar-Raghib Al-Asfahani berkata, “Rahasia itu ada dua macam. Pertama, pembicaraan yang disampaikan seseorang yang menunjukkan permintaan untuk dirahasiakan. Yang demikian itu bisa jadi dengan kalimat langsung, seperti perkataan, ‘Rahasiakan apa yang aku sampaikan kepadamu.’ (Ke dua) atau dari sikap seseorang, misalnya seseorang memilih berbicara berdua saja untuk menyampaikan apa yang dia sampaikan, melirihkan suara, atau menyembunyikan suara dari orang lain yang duduk bersamanya. Inilah yang dimaksudkan oleh hadits ini.”

Perbuatan menyebarkan pembicaraan seperti ini akan semakin parah jika pembicaraan tersebut diedit, dipotong-potong, ditambah-tambahi, ada bagian yang digeser di awal atau di belakang, atau perbuatan-perbuatan khianat lainnya.

Kesimpulan, merekam pembicaran pribadi melalui telepon atau selainnya tanpa ijin dari orang yang berbicara adalah tindakan kedzaliman dan khianat, perbuatan yang menodai sikap adil. Tidaklah melakukannya kecuali orang-orang yang rendah agama, akhlak dan adabnya.

Menyadap pembicaraan seseorang

Kemunkaran lainnya adalah menggunakan alat sadap untuk “menguping” pembicaraan orang lain tanpa dia ketahui, maka perbuatan semacam ini adalah haram.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنِ اسْتَمَعَ إِلَى حَدِيثِ قَوْمٍ، وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ، أَوْ يَفِرُّونَ مِنْهُ، صُبَّ فِي أُذُنِهِ الآنُكُ يَوْمَ القِيَامَةِ

“Barangsiapa mendengarkan pembicaraan sekelompok kaum dan mereka membenci atau lari darinya (khawatir kalau pembicaraannya didengar oleh orang lain, pen.), maka akan dituangkan timah cair di telinganya pada hari kiamat.” (HR. Bukhari no. 7042)

Berdasarkan hadits ini, perbuatan mencuri dengar pembicaraan orang lain (“nguping”), baik secara langsung atau menggunakan alat tertentu (alat sadap), maka termasuk dosa besar karena terdapat ancama khusus di akhirat (dituangkan timah cair di telinganya).

Para ulama memberikan pengecualian jika pembicaraan tersebut akan menimbulkan bahaya jika tidak disadap. Misalnya, ketika seseorang berbicara secara sembunyi-sembunyi untuk membunuh orang lain. Dalam kondisi ini, boleh untuk mencuri dengar untuk melaporkan pembicaraan tersebut kepada orang yang hendak dibunuh agar dia berhati-hati atau kepada aparat berwajib. Hal ini bisa diqiyaskan untuk kasus-kasus lainnya.

Nada panggil telepon

Di antara kita ada yang menggunakan nada telpon (nada panggil) dengan musik atau nyanyian. Ini diharamkan, tidak ada perselisihan yang bisa dianggap (mu’tabar) dalam masalah haramnya musik.

Sebagian yang lain menggunakan nada panggil dengan Al-Qur’an, bacaan-bacaan dzikir atau adzan. Meskipun bisa jadi hal itu memiliki tujuan mulia, namun tidak bisa dibenarkan. Hal ini tidak diperbolehkan dengan beberapa alasan,

Pertama, dia akan memutus bacaan Al-Qur’an tersebut pada tempat berhenti yang tidak semestinya, sehingga akan merusak makna Al-Qur’an.

Ke dua, bisa jadi ada panggilan telepon ketika dia sedang berada di tempat-tempat kotor semacam WC atau toilet. Tentu ini satu hal yang jelek.

Ke tiga, ketika dia segera menjawab panggilan telepon, maka konsekuensinya dia bersegera mematikan bacaan Al-Qur’an. Perbuatan ini mirip dengan orang-orang yang membenci atau tidak suka dengan Al-Qur’an.

[Bersambung]

***

@Bornsesteeg NL 6C1, 29 Ramadhan 1439/ 14 Juni 2018

Oleh seorang hamba yang sangat butuh ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.Or.Id

 

Referensi:

Disarikan dari kitab Adaabul Haatif karya Syaikh Bakr bin ‘Abdullah Abu Zaid, cetakan ke dua, penerbit Daarul ‘Ashimah KSA tahun 1418.

About A Halia