Sahabat Nabi (Ilustrasi)

thayyibah.com :: Berikut kita pelajari dari sirah nabi, bagaimana tahapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwah.

Sejak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat menjadi seorang Nabi hingga wafat, dakwah beliau menempuh empat tahapan:

Pertama: Dakwah secara rahasia selama tiga tahun.

Kedua: Dakwah secara terang-terangan dengan menggunakan lisan saja tanpa perang, berlangsung sampai hijrah.

Ketiga: Dakwah secara terang-terangan dengan berperang melawan orang-orang yang menyerang dan memulai peperangan atau kejahatan. Tahapan ini berlangsung sampai tahun perdamaian Hudaibiyah.

Keempat: Dakwah secara terang-terangan dengan memerangi setiap orang yang menghalangai jalannya dakwah atau menghalangi orang yang masuk Islam—setelah masa dakwah dan pemberitahuan—dari kaum musyrik, antiagama, atau penyembah berhala. Pada tahapan inilah syariat Islam dan hukum jihad dalam Islam mencapai kemapanannya.

 

Syarat dan Kaedah Penting dalam Berdakwah

  1. Dakwah harus ikhlas mencari ridha Allah.
  2. Dakwah dengan ilmu.
  3. Dakwah dengan hikmah.
  4. Dakwah dengan sabar.
  5. Dakwah dengan mengetahui keadaan yang didakwahi.

 

Dakwah harus Ikhlas Mencari Ridha Allah

Allah Ta’ala berfirman,

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushshilat: 33)

 

Dakwah dengan Ilmu

‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullah mengatakan,

مَنْ عَبَدَ اللهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلُحُ

“Barangsiapa yang beribadah pada Allah tanpa ilmu, maka ia akan membuat banyak kerusakan dibanding mendatangkan banyak kebaikan.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28: 136)

Begitu pula Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan,

العِلْمُ إِمَامُ العَمَلِ وَالعَمَلُ تَابِعُهُ

“Ilmu adalah pemimpin amalan. Sedangkan amalan itu berada di belakang ilmu.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28: 137)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang membekali dirinya dengan ilmu, maka itu akan membuat lebih cepat mengantarkan pada tujuan.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28:137)

 

Dakwah dengan Hikmah

Hikmah adalah tepat dalam perkataan, perbuatan dan keyakinan, serta meletakkan sesuatu pada tempatnya yang sesuai.

Allah Ta’ala berfirman,

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl: 125)

Dua contoh hadits yang menunjukkan hikmah dalam berdakwah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Mu’awiyah bin Hakam As-Sulamiy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku ketika itu shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu ada seseorang yang bersin dan ketika itu aku menjawab ‘yarhamukallah’ (semoga Allah merahmatimu). Lantas orang-orang memalingkan pandangan kepadaku. Aku berkata ketika itu, “Aduh, celakalah ibuku! Mengapa Anda semua memandangku seperti itu?” Mereka bahkan menepukkan tangan mereka pada paha mereka. Setelah itu barulah aku tahu bahwa mereka menyuruhku diam. Lalu aku diam. Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat, ayah dan ibuku sebagai tebusanmu (ungkapan sumpah Arab), aku belum pernah bertemu seorang pendidik sebelum dan sesudahnya yang lebih baik pengajarannya daripada beliau. Demi Allah! Beliau tidak menghardikku, tidak memukul, dan tidak memakiku. Beliau bersabda saat itu, ‘Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca Al-Qur’an.’” (HR. Muslim, no. 537)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Ada seorang Arab Badui pernah memasuki masjid, lantas dia kencing di salah satu sisi masjid. Lalu para sahabat menghardiknya. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammelarang tindakan para sahabat tersebut. Tatkala orang tadi telah menyelesaikan hajatnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamlantas memerintah para sahabat untuk mengambil air, kemudian bekas kencing itu pun disirami.” (HR. Bukhari, no. 221 dan Muslim, no. 284)

Contoh hikmah dalam berdakwah:

  1. Meninggalkan perkara yang tidak membawa mudarat ketika ditinggalkan, seperti mengimami shalat dengan mengeraskan basmalah.
  2. Mengambil pendapat yang sesuai dengan masyarakat selama tidak bertentangan dengan dalil.
  3. Mengingatkan yang lain, tidak perlu menyebut nama langsung.
  4. Menghindari penampilan eksklusif.
  5. Pandai bersosialisasi dan menarik hati (ta’liful qulub).
  6. Kenek iwake, aja nganti buthek banyune.

 

Dakwah dengan Sabar

Syaikhul Islam mengatakan, “Setiap orang yang ingin melakukan amar ma’ruf nahi mungkar pastilah mendapat rintangan. Oleh karena itu, jika seseorang tidak bersabar, maka hanya akan membawa dampak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28:136)

Luqman pernah mengatakan kepada anaknya,

وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأمُورِ

Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman: 17)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Suatu penjelasan dan dakwah pada suatu masalah bisa saja diakhirkan hingga waktu yang memungkinkan sebagaimana Allah subhanahu wa ta’alamengakhirkan turunnya ayat dan penjelasan hukum hingga waktu yang memungkinkan saat Rasul bisa menerima dan bisa menjelaskannya” (Majmu’ah Al-Fatawa, 20:59).

 

Dakwah dengan Mengetahui Keadaan yang Didakwahi

‘Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhuberkata,

حَدِّثُوا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُوْنَ ، أَتُرِيْدُوْنَ أَنْ يُكَذََّبَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ

Sampaikanlah kepada manusia menurut apa yang mereka ketahui. Apakah engkau menginginkan Allah dan Rasul-Nya didustakan?”  (HR. Bukhari, no. 127)

Dari Abu Wa’il yang berkata bahwa Abdullah memberi pelajaran kepada orang – orang setiap hari Kamis, kemudian seseorang berkata, “Wahai Abu Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), aku ingin engkau memberi pelajaran kepada kami setiap hari.” Dia menjawab, “Sungguh, aku tidak mau melakukan nya karena takut membuat kalian bosan. Aku ingin memperhatikan kalian saat memberi pelajaran sebagaimana Nabi shallallahu’alaihi wa sallammemperhatikan kami karena khawatir kami jenuh dan bosan.” (HR. Bukhari, no. 70)

Semoga bermanfaat, hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

 

Referensi:

(1) Fikih Sirah Nabawiyah. Cetakan kelima, Tahun 2016. Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim Zaid. Penerbit Darus Sunnah;

(2) Fiqh As-Sirah An-Nabawiyyah. Cetekan kesebelas, Tahun 1436 H. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi. Penerbit Darus Salam;

(3) Syarh Tsalatsatil Ushul wa Adillatihaa wa Al-Qawa’id Al-Arba’.Haytsam bin Muhammad Jamil Sarhan. Penerbit At-Taseel Al-Ilmi.

Diselesaikan di Pesantren Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 15 Syawal 1439 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com