Sohibul Iman (foto : tempo)

PKS dan Methodologi Objektifikasi

Presiden PKS Sohibul Iman, Sekjen PKS Mustafa Kamal bersama penulis.

Jumat (11/5) Thayyibah.com berkesempatan bertemu dengan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman dan Sekjen PKS Mustafa Kamal di bilangan Condet, Jakara Timur. Pertemuan yang diawali dengan makan siang bersama itu turut dihadiri oleh beberapa media Islam online. Ada beberapa hal yang disampaikan oleh Sohibul Iman tentang peranan media Islam di Indonesia, terkait dinamika politik tanah air. Berikut pernyatan Sohibul Iman yang dirangkum oleh redaksi.

Ada dua hal penting harus dilakukan oleh media Islam. Pertama, memberitakan apa-apa yang dilakukan oleh umat Islam Indonesia itu sendiri, baik ormas maupun partai politik. Karena banyak hal positif yang dilakukan oleh ormas Islam, terlepas dari mereka itu mendukung atau tidak “penista agama”, mereka juga punya program-program yang bagus untuk umat. Ini juga perlu diketahui oleh masyarakat. Kalau ini tidak dilakukan maka bisa terbangun citra negatif terhadap ormas atau partai Islam itu sendiri.

Sohibul Iman (foto : tempo)

Saya punya pengalaman. Pernah saya berbicara di depan Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KBPII) yang ketuanya waktu itu masih Pak Sutrisno Bachir. Hadir dalam forum itu beberapa ulama yang dikenal peduli dengan perjuangan keumatan. Di situ saya ditanya, apa yang sudah dikerjakan oleh PKS buat umat ini? Sepertinya tak ada syariah yang diperjuangkan oleh PKS.

Untuk pertanyaan itu saya kemudian menjelaskan dengan memberikan salah satu contoh perjuangan PKS secara khusus tentang upaya menyelamatkan perbankan syariah. UU Perbankan Syariah berhasil kita perjuangkan pada periode 2004-20019. Kita semua gembira dengan keberhasilan lahirnya perundangan tersebut. Karena dengan itu perbankan syariah kita punya payung hukum. Berbeda dengan ketika kita mendirikan Bank Muamalat, ketika itu kita belum punya payung hukum.

Ternyata tidak cukup dengan UU Perbankan Syariah, ketika UU yang lain tidak compatible dengan sistim syariah. Waktu itu yang paling dirasakan oleh praktisi perbankan Syariah adalah UU Perpajakan. Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) itu tidak compatible dengan sistim keuangan syariah. UU Pajak menyebutkan, setiap transaksi harus dikenakan pajak. Sedangkan perbankan syariah itu menerapkan dua kali transaksi dalam sistim kreditnya, seperti pada kredit kendaraan bermotor atau kredit kepemilikan rumah. Waktu itu saya pimpinan Komisi 11 di tahun 2010.

Akibat ketentuan dalam UU Pajak seperti itu, terbit tagihan pajak ke seluruh perbankan syariah sebesar Rp. 400 milyar. Padahal bank syarih tidak pernah menarik pajak dari setiap transaksi dengan nasabahnya. Dalam hitung-hitungan waktu itu, dengan tagihan pajak sebesar itu, banyak bank syariah akan bankrut. Karena potensi tagihan bukan hanya 400 milyar tapi mencapai Rp. 1,3 trilyun. Kami prediksi, bank syariah, unit usaha syariah hingga BPR syariah akan mengalami kebangkrutan.

Kami di DPR berjuang mengatasi hal ini. Jangka pendeknya, kami meminta menteri keungan, waktu itu Sri Mulyani, agar membayarkan pajak bank syariah ini dari kantong pemerintah, lewat APBN. Alhamdulillah ada Rp. 1,9 trilyun beban pajak yang harus dibayarkan pemerintah, Rp. 400 milyar itu untuk pajak bank syariah. Sedangkan jangka panjangnya, PKS mengusulkan amandemen UU Ketentuan Umum Perpajakan. Sekarang, UU tersebut sudah ada pasal khusus untuk perbankan syariah, sehingga bank syariah hanya sekali dikenakan pajak dalam setiap traksaksi kreditnya.

Setelah ini saya ceritakan, para ulama terheran-heran. Meraka merasa tidak mengetahui upaya PKS ini karena tidak ada informasi yang sampai ke mereka, sehingga mereka tak merasa PKS memperjuangkan sistim syariah.

Hal berikut yang menjadi perhatian kita bersama, bahwa saat ini ada sebuah perubahan dari landscape baru umat Islam Indonesia, yaitu terkait dengan perubahan kesadaran politik umat. Bahwa selama ini kesadaran akan ibadah dan pola hidup Islami lainnya cukup meningkat.

Sayangnya ketika masuk bilik suara, justru yang dipilih bukan parta Islam, tapi partai-partai yang tidak ada kaitannya dengan keumatan dan ke-Islaman.
Kejadian kemarin di Pilkada DKI, mudah-mudahan ini menjadi titik balik umat untuk mau menselaraskan pola hidup dengan pilihan dalam bilik TPS dengan memilih partai Islam.

Kemarin di DKI itu adalah cobaan pertama yang kita sukses lewati. Sekarang tugas kita adalah bagaimana membuat umat semakin tercerahkan dengan gerakan politik Islam itu. Di sini peran media Islam diperlukan untuk ikut menyebarluaskan gerakan politik Islam yang baik. Supaya umat ini memiliki kesadaran baru tentang politik Islam ini.

Sebagai partai politik berbasis umat Islam, PKS punya kewajiban mengedukasi umat agar mau berpolitik dan menjatuhkan pilihan politik yang tepat. Nah, terkait dengan pendidikan politik umat, saya rasa ini msalah yang kompleks. Pada kalangan aktifist juga berbeda pandangan soal politik Islam dan prtai Islam. Ada yang berpandangan, politik Islam itu adalah semua hal yang harus berbau syariah. Kalu tak ada syariah, maka itu bukan politik Islam.

PKS agak sedikit berbeda dengan pandangan seperti itu. Untuk memahami bagaimana PKS membangun politik keumatan, bisa dicermati dari Manifesto Pendirian PK (sebelum menjadi PKS), Falsafah Perjuangan PKS dan Platform Kebijakan Pembangunan PKS. Dari situ bisa diketahui, bahwa PKS lebih menggunakan methodology objektifikasi. Sehingga dalam perjuangan PKS itu tidak banyak ditemukan jargon syariah. Meski begitu, semua bentuk perjuangan PKS memuat substansi dari syariah itu. Sedangkan prinsip dasarnya tetap Al-Qur’an dan As-Sunnah.

About Darso Arief

Lahir di Papela, Pulau Rote, NTT. Alumni Pesantren Attaqwa, Ujungharapan, Bekasi. Karir jurnalistiknya dimulai dari Pos Kota Group dan Majalah Amanah. Tinggal di Bekasi, Jawa Barat.