Breaking News

Politik Pencitraan Ala Zaman Now

thayyibah.com :: Bagi pecinta film pasti tak asing dengan film Our Brand is Crisis. Film Amerika Serikat yang dirilis tahun 2015 yang disutradarai oleh David Gordon Green, merupakan film daur ulang dari judul yang sama, yang pernah diproduksi tahun 2005 oleh Rachel Boynton.

Diceritakan Jane Bodine (Sandra Bullock), seorang strategis untuk kampanye politik berpengalaman, ikut bergabung ke dalam tim kampanye Castillo, seorang calon presiden di Bolivia. Dengan latar belakang dan tabiat Castillo yang buruk, Jane berupaya dengan berbagai cara agar kliennya menjadi presiden Bolivia.

Jane menjadikan sifat Castillo yang temperamental sebagai bahan jualan dalam kampanye dengan strateginya “Our Brand Is Crisis”. Castillo dicitrakan sebagai pemimpin yang tegas serta dapat melindungi rakyat Bolivia dari ancaman-ancaman luar negeri seperti IMF dan lainnya. Berbagai hal dilakukan oleh Jane agar citra dari Castillo naik dan memenangkan pemilihan presiden, mulai dari playing as victim hingga negative campaign. Berbagai strategi tersebut berhasil menjadikan Castillo sebagai presiden Bolivia.

Politik Pencitraan Lumrah dalam Demokrasi

Cerita di film sering kali diambil dari kehidupan nyata. Film Our Brand Is Crisis menjadi gambaran politikus zaman now menarik simpati dengan politik pencitraan. Dan fenomena ini kerap dilakukan oleh para calon/politikus menjelang pemilu. Karena dengan politik pencitraan, seseorang yang biasa saja dan di bawah kapasitas bahkan tak berkompeten sebagai seorang pemimpin dapat di “make over” habis-habisan sehingga tampak istimewa dan luar biasa.

Dalam demokrasi, politik pencitraan  menjadi hal yang lumrah dilakukan oleh para calon/politikus untuk menarik simpati  rakyat. Salah satu contohnya penampilan Jokowi ketika meresmikan kereta api Bandara Soekarno-Hatta baru-baru ini. Dijadikan momen untuk membangun citra sederhana dengan berpenampilan santai, mengenakan kaus merah lengan panjang, celana hitam dan sepatu kets menjadi bahan berita di media-media pro pemerintah seperti kompas.com dan liputan6.com.

Tribunnews.com, 31/12, bahkan menyoroti penampilan Jokowi dalam kunjungannya ke Istana Yogyakarta akhir tahun kemarin ketika menyusuri Malioboro. Mulai dari kaus merah yang dikenakan, sandal jepit, membaur dengan rakyat sampai ongkos andong yang dibayarkan Jokowi diberitakan dengan detail oleh tribunnews.com. Meme sandal jepit pun sempat menjadi viral di media sosial.

Kemenangan Jokowi pada pilpres 2014 juga tak lepas dari keberhasilan tim sukses dan media dalam membangun citra positif di hadapan rakyat. Sosoknya yang kerap blusukan dan sederhana berhasil membuat rakyat kepincut. Walaupun ujung-ujungnya rakyat harus kecewa dan patah hati dengan pencitraan semu dan palsu. Citra ndeso, sederhana dan pro rakyat tak sesuai fakta sehingga rakyat kecewa.

Sosok Pemimpin dalam Demokrasi Tak Ada Standar Pasti

Siapa pun yang memiliki modal berpeluang ikut dalam pesta demokrasi, walaupun tak memiliki kompeten sebagai seorang pemimpin. Karena tak ada standar pasti seorang pemimpin dalam demokrasi. Sulit mencari sosok ideal dalam sistem demokrasi karena para calon/politikus telah divermak sedemikian rupa oleh para konsultan, tim sukses dan media melalui politik pencitraan semu dan palsu.

Walaupun ada calon yang dianggap berkualitas dan berkompeten, sering kali harus menelan pil pahit berupa kekalahan akibat kurangnya modal kampanye mau pun kalah dalam membangun pencitraan.

Politik pencitraan juga menjadi penyebab kurang jernihnya penilaian masyarakat terhadap seorang calon/politikus. Rakyat sulit mengindra mana calon yang memiliki kepribadian dan akhlak yang baik serta berkompeten menjadi pemimpin. Mana pula calon yang merekayasa citra diri di hadapan rakyat. Semua itu karena rakyat telah dimanipulasi dengan citra semu dan palsu lewat politik pencitraan tadi.

Islam Mencetak Pemimpin Tanpa Pencitraan

Islam adalah agama yang unik dan khas. Akidah Islam mampu membentuk setiap pemeluknya menjadi pribadi-pribadi yang khas pula. Kepribadian khas ini terbentuk dari pola pikir dan pola sikap yang Islami. Seseorang dikatakan berkepribadian Islami jika ia memiliki pola pikir dan pola sikap yang Islami. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa berpikir dengan dasar pola pikir Islam, dan berperilaku dalam memenuhi kebutuhan jasmani dan nalurinya sesuai dengan aturan Islam, serta tidak mengikuti hawa nafsu.

Kepribadian Islami inilah yang dibentuk oleh Rasulullah -shallallahu’alaihi wa salam- terhadap para sahabat sehingga lahir pemimpin-pemimpin yang amanah dan berakhlak mulia. Tapi kepribadian Islami tidak cukup menjadi bekal seorang pemimpin. Karena setiap muslim berpotensi memiliki kepribadian Islami, baik kuat maupun lemah.

Karena dalam Islam, seorang pemimpin memiliki konsekuensi dan tanggung jawab yang berat di hadapan Allah Azza wa Jalla, baik di dunia mau pun di akhirat. Muslim meriwayatkan dari hadits Abu Dzar: “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, kenapa engkau enggan mengangkatku (jadi pemimpin)?” Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab, “Engkau itu lemah. Kepemimpinan adalah amanat. Pada hari kiamat, ia akan menjadi hina dan penyesalan kecuali bagi yang mengambilnya dan menunaikannya dengan benar.”

Karena itu hanya orang-orang tertentu saja yang mampu mengemban tanggung jawab yang sedemikian berat tersebut. Maka dibutuhkan seorang pemimpin yang berkepribadian Islami. yang kuat, berakidah kokoh, tinggi tingkat pemikirannya dan tinggi ketaatannya dengan ajaran-ajaran Islam. Sehingga ia mampu mengemban amanat umat yang dibebankan dipundaknya.

Dengannya kepribadian Islam yang terpancar melalui pola pikir dan pola sikap Islami inilah umat tak akan salah memilih pemimpin yang dirindunya. Umat pun tak akan kecewa dan merasa tertipu. Karena sosok yang dipilihnya bukan hasil dari politik pencitraan maupun rekayasa branding ala demokrasi. Tapi murni dari dorongan akidah Islam yang melahirkan sosok pemimpin yang mengayomi dan melindungi rakyat.

Politik pencitraan akan tetap eksis selama demokrasi menjadi sistem yang diadopsi di negeri ini. Rakyat pun akan terus kecewa mendapati pemimpin yang tak sesuai harapan. Saatnya memberi kesempatan kepada Islam untuk diterapkan secara kaaffah sehingga lahir pemimpin-pemimpin yang mencintai dan dicintai rakyatnya. Cinta yang lahir karena Allah Subhanahu wa  Ta’ala bukan cinta yang direkayasa apalagi karena pencitraan. Wallahu’alam bishshawwab. []

Ummu Naflah
Muslimah Peduli Negeri, tinggal di Tangerang
Dipublikasikan pertama kali oleh suara-islam.com

About A Halia