Breaking News

Ingatlah Tujuan Hidup-mu!

jalan

thayyibah.com :: 

Di antara ciri dan sifat al-Qur’an dalam menyampaikan pesan adalah bahwa ia sering mengulang-ulang atau menyebutkan berulang kali peringatan atau kabar gembira yang sama dalam sekian banyak ayatnya yang berbeda tempat. Bahkan ada ayat tentang kewajiban bersyukur atas nikmat yang sampai disebutkan berulang kali hanya dengan jeda-jeda yang cukup pendek berupa ayat-ayat pengiring lainnya. Tak lain pengulangan tersebut adalah untuk mengingatkan kita tentang pentingnya kandungan ayat yang dimaksud.

Sebagaimana al-Qur’an mengulang-ulang pesan berupa peringatan dan kabar gembira dalam ayat-ayatnya dikarenakan pentingnya pesan-pesan tersebut, mungkin kita juga perlu mengulang-ulang pertanyaan yang sangat penting dalam kehidupan kita, yaitu mengapa dan untuk apa kita dilahirkan dan hidup di dunia ini. Mengulang-ulang pertanyaan tersebut bukan agar kita mengingat-ingat kembali masa kelahiran kita yang telah berlalu, melainkan agar kita memiliki alasan yang kuat untuk menjalani kehidupan di masa kini dan mendatang, yang mana pasti diiringi dengan ujian suka dan duka.

Mengapa dan untuk apa kita dilahirkan di dunia ini adalah pertanyaan yang mungkin tampak sederhana namun sangat mendasar dan mendesak agar kita dapat memaknai gerak kehidupan kita di dunia ini. Jika manusia ditanya mengapa dan untuk apa mereka berada di ruang tunggu kereta, maka mereka akan mungkin menjawab dengan jawaban yang sama, yaitu menunggu kedatangan kereta. Namun jika mereka ditanya mengapa dan untuk apa mereka berada di dunia ini, maka mungkin jawaban mereka pun akan sangat beragam dan berbeda satu sama lain.

Bagi kita orang-orang yang beriman, alasan mengapa kita berada di dunia ini adalah satu, yaitu untuk mengabdi atau beribadah kepada Pencipta kita, Allah SWT. Al-Qur’an menyebutkan hal tersebut dalam ayat-ayatnya, di antaranya adalah yang artinya berikut ini:

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzaariyaat: 56)

“Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali supaya beribadah kepada Allah.” (Al-Bayyinah: 5)

“Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.’” (Al-An’aam: 162)

“Dan beribadahlah kepada Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).”(Al-Hijr: 99)

Dari beberapa ayat tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya alasan kita dilahirkan dan hidup di dunia ini tak lain adalah agar kita beribadah kepada Allah SWT, dan bukan untuk yang lainnya. Ibadah tersebut bukan terbatas pada kegiatan ritual yang mana merupakan sarana langsung untuk berhubungan kepada Allah SWT, melainkan juga segenap kegiatan non-ritual sehari-hari. Sehingga dengan memaknai ibadah dengan arti yang demikian, seorang Muslim manapun akan tetap berada dalam ibadah meskipun dia tidak sedang melaksanakan kegiatan ritual.

Kegiatan apapun selama bukan untuk melanggar perintah Allah SWT dan Rasul-Nya, niscaya akan bermakna ibadah jika kita meniatkannya sebagai ibadah. Makan, minum, bekerja, istirahat, olahraga, dan seterusnya, semuanya adalah bagian dari kehidupan kita yang juga dapat bermakna ibadah. Dan semua orang dari kita memiliki kesempatan yang sama untuk beribadah non-ritual meskipun masing-masing memiliki kegiatan yang berbeda, karena memang perbedaan kegiatan adalah sebuah ketentuan yang telah dikehendaki oleh Allah SWT yang justru dimaksudkan agar masing-masing saling melengkapi.

Tidak ada salahnya menjadi ‘hanya’ petugas kebersihan, ‘hanya’ pedagang kaki lima, dan ‘hanya-hanya’ yang lainnya, selama tetap memahami tujuan hidup yang sesungguhnya di dunia ini, yaitu beribadah kepada Allah SWT, terutama ibadah yang ritual. Yang salah adalah yang bahkan lebih dari itu namun justru melupakan tujuan hidup tersebut. Karena ketiadaan beragam profesi yang ‘hanya-hanya’ semacam itu akan justru menciptakan ketidakseimbangan dalam kehidupan manusia. Dan ini bukan berarti untuk menghalangi kita dari memiliki cita-cita yang lebih tinggi dari itu jika memang kita diberi kemampuan untuk itu, melainkan agar justru kita sadar bahwa kita semua hanyalah hamba-hamba-Nya yang lemah dan tak berdaya jika Allah SWT tidak memberikan kekuatan dan kemampuan. Sesungguhnya tiada seorang pun yang pernah memesan untuk dihidupkan dalam keadaan kuat ataupun lemah, melainkan semua itu hanyalah pemberian, sekaligus sebagai ujian kesyukuran dan kesabaran. Karena jika memang manusia bisa memesan, tentu tidak akan ada yang ingin menjadi orang yang tak mampu dan lemah. Sesungguhnya, kewajiban kita hanyalah menyadari bahwa segala kekuatan dan kemampuan yang ada dalam diri setiap makhluq hanyalah milik Allah SWT, dan bukan milik makhluq itu sendiri.

Semoga kita bisa saling melengkapi satu sama lain di samping segala kelemahan dan kekurangan kita masing-masing. Tiada manusia yang tidak memiliki kelemahan dan kekurangan, karena memang yang sempurna hanya Allah SWT. Yang terjun di medan perang bisa tetap berperang dengan baik, dan yang fokus belajar agama (Islam) juga bisa belajar dengan lebih baik. Semuanya saling memerlukan dan akan saling melengkapi. Hanya milik Allah SWT sajalah segala kebenaran, hidayah dan taufiq.

Wallaahu a’lam.

 

 

Sumber: eramuslim.com

About A Halia