Breaking News

Hidup Nyaman Tanpa Su’uzhzhon

kupu-kupu

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa” (QS Al Hujuraat [49]: 12).

thayyibah.com :: Su’uzhzhon yang sering diterjemahkan dengan ’berburuk sangka’, dalam terminologi syar’i adalah prasangka atau dugaan yang berujung dengan menyifati orang lain dengan kejelekan dan keburukan tanpa dalil dan bukti (Aafaat ‘Ala’th Thariiq, Dr. As Sayyid Muhammad Nuh, I/327. Orang yang su’uzhzhon selalu melihat apa pun dengan penglihatan negatif. Pikirannya dipenuhi dengan pikiran minor. Sehingga tidak ada sedikit pun kebaikan pada orang lain, dalam pandangannya.

Ketika ada orang yang meninggalkan kebajikan, seperti tidak mem-bezoek orang sakit, ta’ziyah orang mati, membantu orang yang membutuhkan dan tidak memenuhi undangan. Namun, semua itu tidak ditunaikan karena udzur syar’i (alasan yang dibenarkan oleh syariat Islam) di luar kehendaknya seperti karena tugas ke luar kota atau bepergian, sakit, tidak tahu atau ada kewajiban yang lebih besar dan lebih prioritas. Maka, dalam pandangan orang yang su’uzhzhon bahwa dia meninggalkan kebajikan-kebajikan di atas karena takabbur (sombong) atau merendahkan orang lain atau sifat bakhil, kikir dan lain-lain.

Sebaliknya, jika ada orang yang shalih yang rajin berda’wah, amar ma’ruf nahi munkar, berinfak dan bersedekah serta semangat melaksanakan berbagai kebajikan lainnya. Maka, dalam ‘kaca mata’ pelaku su’uzhzhon, semua kebajikan itu dilakukannya karena riya’ (pamer), ingin dipuji atau ada udang di balik batu dan lain sebagainya. Padahal pelaku kebajikan itu semata-mata menunaikannya karena diperintah oleh Allah swt.

Untuk itu, ayat di atas hadir ke tengah-tengah kita untuk menerapi berbagai macam fenomena su’uzhzhon yang ada di tengah masyarakat yang membuat hidup tidak tentram dan tidak nyaman.

Su’uzhzhon bukan sifat orang beriman

Sebelum melarang untuk menjauhi kebanyakan azh Zhan (prasangka), Allah swt mengawali dengan panggilan mesra “Yaa Ayyuhalladziina Aamanuu (Hai orang-orang yang beriman)”. Metode ini banyak kita dapatkan dalam Al Qur’an, tidak lain agar perintah tersebut dapat direspon secara positif dan diapresiasi dengan baik. Dan ini merupakan pelajaran penting bagi da’i, orangtua dan kalangan pendidik dalam menyampaikan pesan-pesan spiritual, nasehat dan taujih-taujihnya. Yaitu memulai dengan memuji dan menyebut-nyebut kebaikan obyek da’wah atau orang atau anak yang akan dinasehatinya, baru kemudian masuk kepada materi asasi yang ingin disampaikannya.

Dalam konteks tema ini, maka penggalan awal ayat tesebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa berparasangka buruk (su’uzhzhon) bukanlah sifat dan karakter orang yang beriman. Kejujuran keimanan seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya akan menjauhkannya dari sifat yang berbahaya ini.

Dalam kajian Imam Ibnu Katsir  –rahimahullah– yang dimaksud dengan kebanyakan prasangka yang harus dijahuhi oleh seorang mukmin adalah, “Tuhmah (tuduhan) kepada istri  atau keluarga, kerabat dan orang lain yang tidak pada tempatnya. Karena sebagian prasangka itu murni sebagai dosa, maka hendaknya ia menjauhi kebanyakan darinya untuk kehati-hatian” (Tafsir Ibnu Katsir IV/487).

Su’uzhzhon yang diharamkan oleh Allah dalam ayat di atas adalah su’uzhzhon terhadap Allah swt, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin yang sudah jelas terlihat keshalihan dan keistiqomahannya.

Selain ayat di atas, banyak sekali dalil lain yang menegaskan keharaman su’uzhzhon. Di antaranya:

Firman Allah swt, “Tetapi kamu menyangka bahwa Rasul dan orang-orang mukmin tidak sekali-kali akan kembali kepada keluarga mereka selama-lamanya dan syaitan telah menjadikan kamu memandang baik dalam hatimu persangkaan itu, dan kamu telah menyangka dengan sangkaan yang buruk dan kamu menjadi kaum yang binasa(QS Al Fath [48]: 12).

Allah juga berfirman, Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan” (QS Yunus [10]: 36).

Rasulullah saw juga melarang hal ini melalui sabdanya, “Jauhilah azh Zhan (prasangka). Sebab, sesungguhnya prasangka itu akdzbu’l hadits Abdullah bin Umar RA bercerita, “Aku pernah melihat Nabi saw thowaf mengelilingi Ka’bah dan bersabda, “Alangkah bagusnya engkau dan alangkah harumnya baumu. Alangkah agungnya engkau dan alangkah agungnya kehormatanmu. Demi Dzat yang  jiwa Muhammad di tangan-Nya, sungguh kehormatan seorang mukmin lebih agung di sisi Allah dari pada kehormatanmu (Ka’bah). Demikian pula harta dan darahnya. Dan hendaknya tidak berprasangka kepadanya (orang mukmin) kecuali yang baik” HR Ibnu Majah no. 3932. Kata Al Bushairi dalam Az Zawaaid (III/223), “Ada seorang perawi hadits ini yaitu, Nasr bin Muhammad yang didha’ifkan oleh Abu Haatim, tapi disebut Ibnu Hibban dalam kitab Ats Tsiqaat-nya. Sedangkan para perawi lainnya semuanya tsiqah“.

Luar biasa nilai seorang mukmin di sisi Allah menurut hadits tadi. Sampai-sampai harta, darah dan kehormatannya mengungguli kehormatan Ka’bah yang agung itu.

Karenanya, melalui ayat di atas Allah ingin mensucikan hati orang mukmin dari polusi su’uzhzhon sehingga membuatnya jatuh dalam kubangan dosa.

Menurut Sayyid Quthb, ayat tersebut bukan hanya mentarbiyah dhamir dan hati. Melainkan juga mengajarkan prinsip dalam ta’amul (berhubungan) dengan orang lain dengan menghormati hak asasi masyarakat yang hidup dalam komunitas yang bersih. Karenanya, tidak boleh seseorang diganjar atas dasar prasangka dan dihukum atas dasar keragu-raguan dan persangkaan. Jangan sampai prasangka menjadi landasan dan pijakan untuk menvonis dan menghukum seseorang. Bahkan, tidak boleh menjadi landasan untuk mentahqiq (menyidik)nya. Sebab, Rasulullah telah bersabda, “Jika engkau berprasangka (kepada seseorang) maka jangan engkau mentahqiq (menyidiknya berdasarkan prasangka itu)” HR Ath Thabari dalam Al Mu’jam Al Kabir III/228. Ini artinya bahwa manusia pada dasarnya bebas dari tuduhan negatif apa pun dan terpelihara hak-hak asasinya, kemerdekaannya sampai ada bukti yang akurat bahwa mereka layak untuk dituduh dan dihukum. Prasangka saja tidaklah cukup dijadikan dasar untuk menghukum mereka (Lihat Fii Zhilal Al Qur’an IV/3345).

Su’uzhzhan itu sifat orang munafik

Al Qur’an telah menguak dalam banyak ayatnya sifat dan karakter orang-orang munafik. Dan salah satu sifat mereka adalah selalu mencibiri orang-orang muslim yang melakukan kebajikan. Mereka selalu su’uzhzhon terhadap kaum muslimin. Seperti komentar mereka terhadap orang-orang mukmin yang rajin bersedekah, mereka mengatakan bahwa orang-orang mukmin menunaikan kebaikan tersebut dengan motif riya’ (pamer) dan sekadar mencari popularitas. Maka, Allah swt menurunkan ayat-Nya, “(Orang-orang munafik) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekadar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka adzab yang pedih” (QS At Taubah [9]: 79).

Jangan sampai menjadi obyek su’uzhzhon

Penggalan ayat di atas, “sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa” menunjukkan bahwa ada zhan yang tidak dosa. Bahkan, para ulama menghukumi wajib su’uzhzhon terhadap orang kafir yang jelas-jelas memproklamirkan permusuhannya kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin. Sebab, menurut Allah yang Maha Mengetahui apa yang tersimpan dalam hati, “Mereka menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak” (QS At Taubah [9]: 8).

Dalam ayat lain, “Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan” (QS Ali Imran [3]: 167).

Demikian pula wajib su’uzhzhon terhadap seorang muslim atau mengaku muslim, namun terang-terangan menantang Allah dengan maksiat dan menghalangi da’wah serta beragam kebaikan. Seperti terang-terangan meminum khamr (miras), berzina, mencuri dan merampok, termasuk melakukan tindak korupsi. Juga wajib su’uzhzhon terhadap orang-orang yang bisa jadi diperalat orang-orang kafir untuk merealisasikan rencana-rencana jahat dan makar mereka terhadap Islam dan kaum muslimin. Su’uzhzhon terhadap mereka adalah sebagai bentuk warning dan waspada agar tidak meniru perbuatannya serta guna mengcounter dan mengantisipasi tipu daya dan konspirasi mereka.

Untuk itu seorang muslim, apa pun profesinya baik dia pemimpin, karyawan, pengusaha, pedagang, PNS, anggota legislatif maupun pejabat eksekutif dan lain-lain tidak boleh menjatuhkan diri dalam hal-hal yang syubhat apalagi yang jelas-jelas haram agar tidak menjadi obyek su’uzhzhon. Seperti memiliki mobil dan rumah mewah sementara semua orang tahu gaji dari pekerjaannya tidak mungkin dapat membeli mobil itu. Berpenampilan borjuis padahal penghasilannya pas-pasan. Atau masuk ke tempat-tempat maksiat yang tidak pantas dimasuki oleh seorang mukmin.

Hal ini telah dicontohkan oleh Rasulullah seperti diceritakan oleh istri beliau, Shafiyyah binti Huyay ra, “Nabi saw pernah melakukan i’tikaf, lalu akau menemuinya malam hari dan berbincang dengannya. Kemudian aku beranjak pulang dan beliau pun berdiri ingin mengantarku –sebab Shafiyyah tinggal di rumah Usamah bin Zaid. Lalu dua orang lelaki dari kaum Anshar lewat (berpapasan dengan kami). Begitu keduanya melihat Nabi, maka keduanya mempercepat jalannya, Nabi saw pun lantas menegurnya, “Pelan-pelan saja kalian (dan jangan terburu-buru). Sesungguhnya (wanita yang bersamaku) ini adalah Shafiyyah binti Huyay”. Keduanya lalu berucap, “Subhaanallah (Maha Suci Allah) wahai Rasulullah!” (Keduanya tidak ingin dituduh su’uzhzhon). Nabi lalu bersabda, “Sesungguhnya syetan itu mengalir di aliran darah manusia, dan aku sungguh takut syetan menancapkan keburukan (su’uzhzhon) di hati kalian”.

Karenanya, mari kita bersihkan hati kita dan keluarga kita dari polusi su’uzhzhon agar hidup ini menjadi nyaman dan tentram dengan mendekatkan mereka kepada nilai-nilai ilahi.

Oleh: Ahmad Kusyairi Suhail

About A Halia