Breaking News
Jumrah. (Foto : Istimewa)

JUMRAH ‘AQABAH DAN TRAGEDI MINA

Jumrah. (Foto : Istimewa)
Jumrah. (Foto : Istimewa)

Oleh Inayatullah Hasyim

Setelah jamaah haji bermabit di Muzdalifah (lihat status saya sebelumnya), kini sampailah jamaah haji di Mina. Di tempat ini, jamaah haji akan bermalam di tenda selama dua atau tiga malam. Dua malam bagi mereka yang mengambil nafar awal (gelombang pertama), dan tiga malam bagi yang mengambil nafar tsani (gelombang kedua). Jamaah haji memang dibolehkan memilih sebagaimana firman Allh SWT:

وَاذْكُرُواْ اللّهَ فِي أَيَّامٍ مَّعْدُودَاتٍ فَمَن تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَن تَأَخَّرَ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَِ

“Dan berdzikirlah kepada Allah pada hari yang telah ditentukan jumlahnya. Barang siapa mempercepat (meninggalkan Mina) setelah dua hari, maka tidak ada dosa baginya. Dan Barang siapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya, (yakni) bagi orang yang bertakwa. Bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya”. (QS Al-Baqarah: 203)

Pada hari pertama sampai di Mina (tanggal 10 Dzulhijjah — atau saat kita shalat Iedul Adha di Indonesia), jamaah haji hanya melakukan satu lontaran. Yaitu, melontar jumrah ‘aqabah. Jumrah ‘Aqabah adalah pilar ketiga dari rangkaian pilar yang dilemparkan oleh jamaah haji dari seluruh dunia.

Para ulama sepakat bahwa melontar jumrah termasuk “wajib haji.” Artinya, jika seseorang tidak melakukannya, dia dikenakan denda dengan menyembelih seekor kambing. Lalu mengapa Jumrah ‘Aqabah (pada tanggal 10 Dzulhijjah) selalu menjadi locus delictus tragedi Mina?

Pertama : Posisi melontar jumrah ‘aqabah hanya dari satu sisi. Hal ini berbeda dengan dua pilar sebelumnya (Jumrah ‘Ula dan Jumrah Wustho) dimana pelontaran dapat dilakukan dari semua sisi. Dasar pelontaran satu sudut itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud bahwa Rasulallah SAW melempar jumrah ‘Aqabah dengan posisi “Makkah di sebelah kiri bahu beliau, dan Mina di sebelah kanannya”. Artinya, melontar jumrah ‘Aqabah dilakukan dari satu sisi saja.

Kedua : Setelah jamaah haji bermabit di Muzdalifah, umumnya mereka ingin segera menuntaskan jumrah di hari pertama tersebut. Sebab, jika telah jumrah dan dilanjutkan dengan mencukur rambut, jamaah haji boleh memakai pakaian biasa. Hal ini disebut sebagai “tahalul awal”. Secara psikologis, jika sudah tidak memakai kain ihram, jamaah merasa lebih leluasa. Tidak takut melanggar larangan-larangan ihram. Kini mereka tinggal menunggu dua hari lontaran di hari-hari berikutnya untuk kemudian melanjutkan dengan tawwaf ifadah (tawwaf dan sai) di Mekkah.

Para ulama mengatakan, waktu utama (afdhal) untuk melakukan jumrah ‘aqabah adalah sejak waktu dhuha hingga dzuhur. Hal itu karena Rasulallah SAW dulu melakukannya di waktu dhuha. Jadi (skenarionya) setelah jamaah bermabit di Muzdalifah hingga shubuh, lalu bergerak menuju Mina, maka diperkirakan mereka sampai di Mina sekitar jam 9 pagi. Setelah itu langsung melakukan lontaran tersebut.

Sayangnya, seperti kata Ziauddin Sardar, “no operation goes according to the plan”. (“Islamic Future: The Shape of Ideas to Come”, London 1986). Sardar tengah memimpikan haji yang “ramah lingkungan.” Artinya, jamaah haji tertib berjalan kaki dari Muzdalifah ke Mina, dan antri melontar jumrah.

Tetapi dengan gelombang manusia yang mencapai hampir tiga juta orang saat ini, dan semua bergerak menuju satu pilar, impian Ziauddin Sardar (dan kita semua) tentang haji yang “ramah lingkungan” itu bukanlah perkara mudah. Karena itu, pemerintah Kerajaan Arab Saudi (dengan mempertimbangkan pendapat para ulama) telah memperbesar pilar jumrah itu. Dulu, saat saya mahasiswa dan pertama kali menunaikan ibadah haji, pilar jumrah tidak lebih besar dari tiang jalan tol dalam kota. Sekarang, pilarnya sudah sangat besar. Bahkan, kalau sedang sepi, banyak jamaah Indonesia yang foto selfie di sana.

Seharusnya, dengan pilar jumrah sebesar itu, jamaah haji bisa leluasa melontar. Namun, tragedi kembali terjadi pada hari kemarin (10 Dzulhijjah / 24 September 2015) dimana lebih dari 700 orang meninggal akibat berdesakan.

Bagi jamaah Indonesia, peristiwa Mina menjadi trauma tersendiri. Pada tragedi tahun 1990, sebanyak 1426 jamaah haji (sebagian besar Indonesia dan Turki) meninggal dunia akibat hal yang sama. Karena itu, ketika kita mendengar musibah kembali terulang di tahun ini, ingatan akan tragedi tahun 1990 kembali terngiang di telinga. Mari kita doakan semoga para korban mendapatkan gelar para jamaah haji yang syahid karena wafat dalam ibadah pada Allah SWT. Wallahua’lam. (Inayatullah Hasyim)
 

Like

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur