thayyibah.com :: Berbicara tentang ahli hikmah, maka tidak bisa lepas dari dunia pesantren, karena dari sini lah tempat lahir dan tumbuhnya ahli hikmah yang penuh misteri (bagi sebagian orang), padahal tidaklah demikian jika kita mau menelusurinya lebih mendalam lagi.
Pesantren telah ada sejak ratusan tahun lalu di Indonesia, dan selama itu telah terbukti berhasil membentuk pribadi-pribadi manusia yang berakhlakul-karimah, mandiri dan istiqomah. Hanya saja bersamaan dengan itu semua, banyak juga pesantren-pesantren yang mengajarkan ilmu-ilmu yang bukan bersumber dari ajaran Islam bahkan melanggar syariat Islam, mereka menyebutnya dengan ilmu kebatinan atau “ilmu hikmah”, seperti: ilmu kekebalan, ilmu pelet, ilmu laduni, ilmu bisa melihat dan menangkap jin, mampu mengundang khodam (jin) dan memasukkannya ke dalam barang-barang tertentu, misalnya isim, rajah, wafaq, cincin, dan lain sebagainya. Sedangkan ustadz atau kyai yang mengajarkan dan menyebarkan ilmu-ilmu tersebut disebut “ahli hikmah”.
Karena itu, tidaklah heran jika orang berbondong-bondong datang ke Pesantren bukan untuk belajar agama Islam, tetapi mereka berkonsultasi dengan “Ahli Hikmah” tentang problema yang menimpa mereka, dan akhir dari solusinya mereka diisi ilmu kebatinan atau diberi sesuatu berupa isim, wafaq dan wirid-wirid buatan agar permasalahan serta cita-cita mereka bisa tuntas dan tercapai.
Mereka meyakini ilmu “hikmah” ini adalah ilmu pemberian khusus dari Alloh yang diberikan hanya kepada orang-orang tertentu, sebagaimana firman Alloh :
“Alloh menganugerahkan Al Hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang-siapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS. al-Baqoroh [2]: 269).
Ternyata kalau membaca dan menela’ah tafsirnya, kita akan menemukan makna yang dimaksud dalam ayat itu sangat berbeda sekali dengan pemahaman mereka. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan definisi dari kata al-hikmah dalam ayat itu, dianta-ranya: arti hikmah adalah takut kepada Allah, ada yang mengatakan al-Kitab dan kepahaman, ada juga yang mengatakan kepahaman terhadap agama Allah . (Tafsir Ibnu Katsir I/700).
Begitulah realitanya, pengertian al-hikmah ini menjadi bias dan tidak ada batasannya. Jika ada seseorang yang mengaku telah memiliki ilmu tertentu seperti bisa memanggil raja jin, punya budak/khodam dari kalangan jin, bisa membuat zimat dan wafaq untuk kekebalan atau asihan/pelet, kemudian mereka meyakini bahwa itu adalah ilmu pemberian dari Allah sebagai ilmu hikmah, padahal dalam proses mendapatkannya ada unsur-unsur kesyirikan, melecehkan al-quran dan ritual-ritual yang bertentangan dengan syariat. Bagaimana mungkin itu adalah ilmu hikmah yang datang dari Allah?
LALU SIAPA AHLI HIKMAH DAN BAGAIMANA MENGETAHUINYA?
Kita bisa mengetahuinya dari prilaku orang tersebut. Jika prilakunya itu tidak sesuai dengan syari’at dan Sunnah Rosululloh , pasti itu bukan hikmah yang dimaksud dalam al-Qur’an, bukan orang yang menjalankan aktivitas sihir atau sejenisnya. Orang yang mendapatkan hikmah dari Allah itu adalah sebuah hasil dari amalan yang istiqomah, yang didasari ilmu syari’at. Dan ia sangat kuat memegang Sunah-Sunah Nabi dalam memahami dan mengamalkannya de-ngan benar, tanpa dicampuri oleh perbuatan syirik dan bid’ah.
Memang sangat disayangkan kerancuan dan salah kaprah mengenai pemahaman “ahli hikmah” sudah terjadi di sebagian masyarakat luas, samar bagi mereka untuk membedakan; mana yang benar-benar mendapatkan ilmu hik-mah dari Allah dan ahli hikmah sempalan.
Sehingga realitanya banyak dari masyarakat yang telah terkecoh bahkan tertipu oleh iklan dan penampilan orang-orang yang mengaku mendapatkan ilmu hikmah, mengakibatkan tidak sedikit orang yang terjerembab di kubang kesyiri-kan (penzholiman kepada Allah ).
Di antara usaha penyebaran kesyirikan yang dilakukan oleh para “ahli hikmah sem-palan” adalah membuat dan menyebarkan jimat, rajah dan wafaq untuk kekebalan, asihan, laris dagangan atau yang lainnya.
Padahal Allah sangat membenci dan tidak meridhoi perkara-perkara tersebut. Hal ini ditegaskan dalam sabda utusan-Nya:
“Sesungguhnya jampi, tamimah (jimat/ rajah) dan tiwalah (sesuatu yang dibuat dengan anggapan bahwa hal tersebut dapat menjadikan seorang istri mencintai suaminya, atau seorang suami mencintai istrinya) itu adalah kesyirikan.” (HR. Ahmaddan Abu Dawud).
Dalam hal ini para ulama telah merinci hukum orang yang memakai zimat, rajah dan wafaq:
Pertama: terjatuh kepada syirik besar bila disertai keyakinan bahwa zimat itu sendiri yang memberikan pengaruh selain Allah, yang bisa menolak mudharat dan mendatangkan manfaat, serta bisa membentengi setiap orang yang memakainya. Maka pelakunya telah keluar dari Islam, hangus seluruh amalan-amalan sholeh yang telah ia perbuat dan ia kekal di dalam api neraka bila mati belum bertaubat dari kesyirikannya.
Kedua: terjatuh kepada syirik kecil bila dia meyakini bahwa jimat itu hanya sebagai sebab semata, adapun yang mendatangkan manfaat dan menolak segala bentuk malapetaka yang menimpanya adalah Allah .
Syirik kecil tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam akan tetapi merupakan dosa yang sangat besar dan paling buruk di antara dosa-dosa besar lainnya. Karena itulah Ibnu Mas’ud lebih menyukai (menganggap lebih ringan) untuk bersumpah dengan nama Alloh dalam keadaan berbohong (dosa besar), daripada jujur tapi bersumpah dengan selain nama Allah (syirik kecil).
Bahkan sebagian para ulama tauhid me-nyebutkan bahwa dosa syirik, baik syirik besar atau syirik kecil tidak akan diampuni Allah jika tidak ditaubati di dunia, karena keumuman
firman Allah :
“Sesungguhnya Allah tidak akan meng-ampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS.an–Nisa [4]: 48)
“Hanya saja” kata Ibnu Taimiyah “pelaku syirik kecil tidak kekal di neraka dan akan masuk surga”. (Ibnu Taimiyyah “Ar–Rodd ‘alal Bakri” I/301)
Oleh: Deden Wahyudin, S.Pd.I