Sebaliknya, pelaku dakwah tidak diperkenankan berasal dari kelompok paham dan aliran bermasalah. Dai juga bukan dari golongan penyeru kekerasan yang mengatasnamakan agama dan berideologi yang ingin mengganti asas bernegara.
Khoiruddin menambahkan, kode etik dai juga mengatur adab berdakwah. Adab dimaksud, antara lain: dai harus mampu membaca Alquran dan al-hadis dengan baik; tidak menafsirkan ayat atau hadis dengan penjelasan yang tidak pantas; serta tidak mengeluarkan kata-kata kotor dan keji.
Dai juga tidak menyampaikan materi yang mengandung unsur kebencian kepada kelompok lain, serta tidak bermuatan kebohongan. Dai harus lebih kreatif dalam pengambilan diksi atau kosa kata.
Hal lain yang juga akan diatur dalam Kode Etik ini adalah pembentukan Tim Pengawas. Tugas tim antara lain: menganalisa, menilai, dan mengevaluasi program dakwah di media elektronik. Mereka juga akan melakukan pendampingan dalam proses pembuatan program dakwah; menginventarisasi program-program siaran dakwah yang melanggar Kode Etik dan nilai-nilai agama.
Di samping itu, pengawas juga bertugas menindaklanjuti aduan masyarakat bersama dengan Komisi Penyaiaran Indonesia (KPI). Sedangkan keanggotaan tim terdiri dari Kemenag, Kemen Kominfo, KPI, MUI, asosiasi TV dan radio, ahli media, dan akademisi.
Saat ini draft Kode Etik sedang memasuki tahapan kedua. Pembahasana kode etik ini dilakukan bersama dengan stakeholder, yaitu: Majelis Ulama Indonesia (MUI), KPI, Kemenkominfo, NU, Muhammadiyah, lembaga penyiaran TV dan Radio, penyuluh agama, dan lain-lain. Kode etik ini diharapkan dapat selesai dalam waktu dekat agar segera dapat dijadikan pedoman bagi para pihak yang terlibat dalam dunia dakwah. [Republika]