Breaking News

Kebangkitan Burkina Faso

Saat Thomas Sankara ‘Reborn’ dalam Sosok Ibrahim Traoré

Oleh : Indratno Widiarto

Empat dekade yang lalu, seorang kapten tentara berusia 34 tahun dari Burkina Faso berdiri gagah di hadapan Sidang Umum PBB dan dengan lantang menyerukan tatanan dunia baru. Pidatonya menggema, ditonton dengan penuh semangat oleh anak muda di seluruh Afrika Barat.

Saat itu, dunia menyaksikan kelahiran seorang ikon revolusioner yang kemudian dijuluki “Che Guevara-nya Afrika”—Thomas Sankara.

Di negaranya sendiri, Burkina Faso, Sankara baru saja mengambil alih kekuasaan lewat kudeta militer pada tahun sebelumnya. Tapi yang mengejutkan banyak orang, dia bukan diktator yang haus kuasa.

Justru sebaliknya, ia menggebrak dengan program-program radikal untuk membangun kemandirian nasional: menghentikan ketergantungan pada bantuan asing, membagikan lahan kepada petani, menghapus privilese pejabat, dan bahkan mengganti nama negara dari Upper Volta menjadi Burkina Faso, yang berarti “Tanah Orang Jujur”.

Sankara hidup sederhana. Ia memotong gajinya sendiri, menolak mobil dinas mewah, dan meminta menterinya ikut hidup seperti rakyat biasa.

Dalam waktu singkat, ia menggerakkan kampanye vaksinasi massal, pemberantasan buta huruf, hingga menanam jutaan pohon demi melawan gurun yang terus meluas.

Sayangnya, semangat revolusi itu tidak bertahan lama. Pada 1987, Sankara dibunuh dalam kudeta berdarah yang didalangi oleh sahabat sekaligus wakilnya sendiri, Blaise Compaoré.

Burkina Faso pun masuk dalam siklus panjang ketidakstabilan politik, korupsi, dan konflik internal. Nama Sankara sempat coba dilupakan, bahkan dilarang untuk disebut-sebut.

Namun sejarah punya caranya sendiri untuk memunculkan kebenaran. Anak-anak muda Burkina Faso masa kini mulai menggali kembali semangat Sankara. Mural-mural wajahnya menghiasi dinding kota, lagu-lagu dan puisi tentangnya kembali terdengar di radio dan media sosial.

Bahkan pada 2021, jasadnya dipindahkan dan dimakamkan ulang secara layak. Negara mulai berdamai dengan masa lalu.

Burkina Faso kemudian berjuang keras. Ancaman kelompok ekstremis, krisis ekonomi, dan pergolakan politik jadi tantangan besar. Tapi di tengah kekacauan itu, api kecil perjuangan Sankara tetap menyala di hati banyak orang. Ia jadi simbol harapan bahwa negeri kecil ini bisa bangkit lagi, dengan keberanian, kejujuran, dan mimpi besar seperti yang dulu ia gaungkan di mimbar PBB.

Kini Burkina Faso bisa mulai bernapas lega dan kembali menumbuhkan harapan akan perubahan. Di bawah kepemimpinan Kapten Ibrahim Traoré, yang mulai mengambil alih kepemimpinan September 2022 lalu, negeri ini perlahan bangkit dari keterpurukan.

Dalam usia yang masih muda—34 tahun, sama seperti Thomas Sankara saat dulu mengguncang dunia—Traoré muncul sebagai sosok baru yang menggugah semangat rakyat.

Langkah pertamanya tak main-main: merebut kembali seluruh wilayah yang sebelumnya dikuasai kelompok pemberontak. Di saat banyak pihak pesimistis, ia justru membalikkan keadaan dengan strategi militer yang berani dan terkoordinasi. Wilayah yang dulu dikuasai ketakutan kini kembali dalam pelukan tanah air.

Namun perjuangannya tak berhenti di situ. Ibrahim Traoré juga mengambil langkah berani yang selama ini hanya menjadi wacana bagi banyak negara bekas jajahan. Ia secara tegas menghentikan keterikatan politik dan ekonomi dengan bekas penjajah, Prancis. Pangkalan militer asing ditutup, kerja sama sepihak dihentikan. Burkina Faso kembali mengambil kendali atas nasibnya sendiri.

Di sektor ekonomi, Traoré memutuskan untuk tidak lagi mengekspor emas mentah—salah satu kekayaan utama negaranya—demi menghentikan praktik eksploitasi lama yang hanya menguntungkan pihak luar. Sebagai gantinya, ia mendorong pengolahan emas di dalam negeri agar nilai tambahnya dirasakan langsung oleh rakyat Burkina Faso sendiri.

Tak kalah mengejutkan, seluruh utang negara dilunasi. Dan lebih dari itu, pemerintahannya memutuskan untuk tidak lagi bergantung pada utang luar negeri dalam bentuk apa pun. Sebuah sikap yang langka di tengah dunia yang sering kali menormalisasi ketergantungan sebagai strategi pembangunan.

Kebijakan-kebijakan tegas dan mandiri ini membuat Traoré dipandang sebagai “Sankara baru”, bukan hanya karena usianya atau latar belakang militernya, tetapi karena keberaniannya menantang sistem lama demi kebaikan rakyat.

Dan seperti dulu saat Sankara menggugah semangat anak muda dari mimbar PBB, kini semangat itu hidup kembali—di jalanan Ouagadougou, di desa-desa yang dulu sunyi, dan di hati sejuta diaspora yang pulang untuk membangun negeri.

Burkina Faso hari ini bukan hanya tentang masa lalu yang ingin dikenang, tapi tentang masa depan yang sedang dibentuk dengan keberanian, kemandirian, dan mimpi besar.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur