Breaking News

Suatu Hari di Bandung

Oleh : Davy Byanca

Sahabat sufiku.
TAK TERASA ada telaga menggenang di kedua ujung mataku saat menyaksikan hari wisuda si bungsu di salah satu universitas swasta di Bandung. Alhamdulillah setelah 6 tahun menunggu, dia dengan bangganya berkata, “Yah, akhirnya aku jadi sarjana”. Senyumnya mengembang kerana merasa telah membahagiakan hati ayah ibunya. “Setidaknya ijazahku asli ini Yah”, katanya dengan nada bercanda. Paling bokis ni anak pikirku.

KAMI SEKELUARGA menginap di Bandung, menikmati makan malam bersama sambil bersyukur kepada Allah atas semua pencapaian kami selama ini. Dalam kesempatan itu aku ingatkan kembali diriku dan seluruh keluarga, kenapa kita harus selalu bersyukur meski hidup itu tak selalu mudah? Kerana Allah pernah berjanji, “Jika kamu bersyukur, AKU pasti akan menambah nikmat kepadamu”. Satu lagi kataku, di dalam setiap doa kita, jangan hanya meminta rezeki dan kesuksesan, tapi mintalah juga hati yang tenang. Kerana sebanyak apa pun harta yang kita miliki, jika hati masih tetap gelisah, kebahagiaan tetap terasa jauh dari genggaman. Anak sulungku tiba-tiba nyeletuk, “Wah Bang Davy is back malam ini”. Kami semua tertawa, begitulah keceriaan tergambar di hati semua yang hadir malam itu.

SEBELUM TIDUR, aku ambil secarik kertas dan pulpen (jadul banget ya). Kutumpahkan semua perasaanku untuk si bungsu di kertas tersebut. “Dear Son. Setelah keluar dari dunia kampus, kamu akan sadar betapa kejam dunia yang sesungguhnya. Penolakan judul skripsimu mungkin memang menyakitkan. Tapi percayalah, akan lebih menyakitkan saat kamu merasakan penolakan di dunia pekerjaan. Melamar pekerjaan hingga puluhan bahkan ratusan kali akan membuat batinmu lebih bergejolak dalam tangisan. Menunggu dosen pembimbing memang sangat membosankan, bahkan bisa berujung bulir airmata yang meluruh. Tapi lagi-lagi kamu harus percaya, letihnya jiwa mencari pekerjaan setelah mendapatkan gelar sarjana jauh lebih menyiksa. Dunia pekerjaan tidak semudah yang kamu bayangkan Nak. Kamu akan bertemu dengan banyak luka dan tuntutan yang tak pernah habisnya. Kuncinya, seperti yang Ayah sampaikan tadi malam; bersyukur kepada Allah dalam kondisi apa pun, suka dan duka. Yang mencintaimu, Ayah”.

KULIPAT KERTAS itu, rencana besok pagi akan kuberikan kepadanya sebelum kami kembali ke Jakarta. Masih terngiang apa yang disampaikan oleh almarhum Bapak saat aku diterima jadi mahasiswa, “Hidup adalah perjalanan untuk belajar tanpa akhir. Setelah menyandang gelar sarjana, kamu akan mengerti bahwa hidup dengan menyandang gelar kesarjanaan memang lebih berat daripada semasa kuliah. Tapi hidup bukan tentang sempurna, melainkan tentang belajar, memaafkan dan tumbuh”. Sungguh dunia terlalu cepat bergulir, dan semua akan ada gilirannya.

USAI SARAPAN pagi, kupanggil dia ke kamar. Kuberikan hadiah kecil untuk si bungsu berikut secarik kertas dengan pesan, jangan lupa kertas ini di laminating. Dia tertawa, mengucapkan terima kasih seraya memeluk ayahnya yang mulai menua. Kubisikkan seuntai kata di kupingnya, “Tuhan selalu menyatakan sayang-Nya dengan cara menguatkan”. Anak bujangku balas berbisik, “Am proud of you Yah”.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur