Breaking News

Cerita Melon

Oleh: Joko Intarto

Saya teringat isi pidato Presiden Prabowo Subiyanto beberapa waktu yang lalu: Salah satu penyakit kita adalah susah kalau melihat orang lain senang, dan senang kalau melihat orang lain susah. Sepertinya hal itu terjadi dalam manajemen distribusi gas bersubsidi.

Tidak ada angin, tidak ada hujan, pemerintah tiba-tiba melarang penjualan LPJ 3 Kg yang populer dengan sebutan gas melon di tingkat pengecer. Akibatnya seperti yang diperkirakan: Gas melon mendadak menjadi barang langka.

Masyarakat kelimpungan. Di berbagai pangkalan, terlihat pemandangan yang tidak biasa: Antrean konsumen gas melon yang mengular puluhan meter. Dalam tayangan televisi, terlihat puluhan ibu-ibu mengantre di bawah guyuran hujan.

”Praktik penjualan gas melon saat ini merugikan masyarakat,” kata seorang menteri di hadapan para wartawan.

Ucapan sang menteri memang benar. Mekanisme penjualan gas melon saat ini dilakukan bertingkat dari Pertamina – pangkalan – pengecer. Pemerintah menetapkan gas melon dengan harga Rp12.000 per tabung di di pangkalan. Sedangkan harga eceran tertinggi (HET) ditetap sebesar Rp16.000 per tabung.

Kenyataannya, masyarakat membeli dengan harga Rp 20.000 per tabung. Bahkan ada yang terpaksa membayar Rp 30.000 per tabung.

Kenaikan harga jual eceran itulah yang ingin diatasi pemerintah dengan melarang pengecer menjual gas melon. Sebagai solusi, pemerintah meminta masyarakat membeli langsung ke pangkalan.

Bukannya menyelesaikan masalah, solusi yang ditawarkan pemerintah justru menimbulkan problem baru.

Pertama, jumlah pangkalan lebih sedikit dibanding jumlah pengecer. Masyarakat yang dulunya membeli di banyak titik pengecer, sekarang membeli di satu pengecer.

Kedua, konsumen harus membeli gas melon di lokasi pangkalan yang lebih jauh dibanding lokasi pengecer. Meski mendapatkan gas melon dengan harga sesuai HET, konsumen harus menanggung ongkos transportasi menuju ke pangkalan dan sebaliknya. Belum lagi harus membayar parkir liar di sana.

Ketiga, membeli gas melon tidak bisa diwakilkan karena harus menggunakan aplikasi. Dalam tayangan televisi, para pengantre didominasi emak-emak yang usianya tidak muda lagi, karena aplikasi yang digunakan menggunakan nomor kartu keluarga.

Pemandangan itu menandakan bahwa pemerintah tidak siap untuk menjalankan keputusannya sendiri. Seharusnya, pemerintah melakukan sosialisasi yang lebih baik serta membuat pilot project distribusi pada area terbatas sebelum diputuskan secara nasional.

Menanggapi situasi yang berkembang, seorang menteri di layar televisi mengatakan bahwa pihaknya akan mengevaluasi larangan pengecer menjual gas melon. Nantinya, pengecer akan kembali menjual gas melon, tetapi statusnya dinaikkan sebagai pangkalan.

Kapan kebijakan baru itu akan diberlakukan? ”Sekarang sedang kami atur,” kata menteri tersebut.

Tuh, kan…. Masalahnya sudah meledak, aturannya belum selesai dibuat.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur