Breaking News

Doa yang Berbuah

Oleh: Setyardi

(Foto : Dok. Setyardi)

Hari ini saya akan mengantar Mamak, 76 tahun, pulang kampung. Sudah tiga bulan Mamak di rumah saya, menjalani pengobatan ca paru stadium ujung. Kami semua gembira, kini Mamak sehat. Beraktifitas seperti biasa — olah raga, salat dan membaca Quran. Seperti tak ada penyakit apapun.

Tiga bulan lalu kondisinya memprihatinkan. Kami mendeteksi Mamak sakit karena setiap batuk mengeluarkan darah. Awalnya saya mengira TB, dan langsung membawa ke dokter paru di Lampung. Dari ct scan kontras terlihat ada sesuatu di paru dan saluran nafasnya. “Harus biopsi, tapi saat ini tak bisa di Lampung. Saya rujuk ke guru saya, dr Dicky di RS Persahabatan Jakarta,” ujar dokter Ghazali, spesialis paru di Lampung.

Di ruang dokter Ghazali, saya langsung menelpon HP dr Dicky, yang kebetulan teman di Smanda Lampung. Saya oper HP ke dr Ghazali, mereka bicara ini itu. Mamak langsung saya boyong ke Jakarta. Setelah konsul beberapa dokter, termasuk ke Dirut RS Persahabatan, Mamak ditangani Dicky. “Serahkan saja ke Dicky, dia ahlinya,” ujar Prof Agus, Dirut RS Persahabatan.

Setelah biopsi, Dicky melakukan bronkoskopi — operasi paru via saluran nafas mulut. Pasca tindakan Mamak sempat masuk ruang ICU khusus paru. Kami tak berhenti berdoa. Apalagi saturasi Mamak sempat memburuk meski memakai oksigen dengan tekanan penuh. Ventilator sudah disiapkan. Akhirnya diputuskan bronkoskopi ulang, menjebol saluran nafas yang tertutup massa ca. Mamak lumayan bisa bernafas.

Tapi memang bronkoskopi bukanlah terapi utama. Itu hanya tindakan darurat untuk membuka jalan nafas. Intinya harus ada terapi untuk ca. Dicky merekomendasikan ke dr Sita, dokter onkologi paru terbaik yang dimiliki Indonesia. Tak mudah mendapatkan jadwal Beliyo.

Setelah melalui serangkaian tes — DPL1, ALK, EGFR, Pet ct scan — akhirnya dr Sita menentukan jenis terapi untuk Mamak. Obat ca paru oral generasi paling baru dari Astra Zeneca, Inggris. Satu tablet saja per hari. Tak perlu kemo via infus. Hasilnya luar biasa. Baru dua hari batuk Mamak hilang. Padahal sebelumnya batuk Mamak mendenking menyayat hati.

Harga obat ca paru asal Inggris itu lumayan. HET 4,2 juta per butir. Dan itu harus diminum tiap hari. Artinya sebulan > 120 juta. Alhamdulillah saya mendapatkan obat itu dengan harga yang jauh lebih murah. Lebih bersyukur lagi, setiap kali akan menebus obat, selalu ada uang di rekening bekas pacar saya. Saya bermazhab zonder asuransi. Ada keajaiban lain. Dr Dicky dan dr Sita selalu menuliskan FOC di tagihan. Artinya, Mamak tak dibolehkan membayar biaya dokter.

Tiga hari lalu Mamak kontrol ke dokter Sita. Ct scan menunjukan kabar gembira. “Yang di paru atas sudah hilang. Yang di bawah jauh mengecil, sedikit lagi hilang. Alhamdulilah obatnya cocok,” ujar dokter Sita, perempuan berjilbab yang sangat ramah. Padahal tiga bulan lalu Mamak diprediksi hanya bertahan bilangan bulan.

Hari ini saya akan mengantar Mamak ke kampung. Katanya sudah kangen anggrek-anggrek di rumahnya.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur