Breaking News

Ziarah Makam

Oleh: Didin Amarudin

Saya suka berziarah. Berkunjung, atau silaturahmi dengan teman-teman. Terutama teman-teman yang sudah lama tidak berjumpa.

Atau teman-teman yang dulu sekali begitu dekat. Tapi sudah lama tak berjumpa. Entah itu teman sekolah, teman di komunitas, organisasi, pengajian dan lain-lain.

Tapi tidak untuk ziarah yang satu ini. Yaitu ziarah kubur. Dalam benak saya, kalau tujuan ziarah kubur adalah mendoakan, toh bisa dari jauh. Di mana saja. Dan kapan saja. Tidak perlu harus datang ke makam atau kuburan.

Atau kalau tujuannya untuk mengingat akhirat atau kematian juga sama. Bisa kapan saja dan di mana saja. Kalau kita mau.

Maka jika banyak orang menziarahi makam keluarganya saat menjelang Ramadhan, atau di hari raya idul fitri, maka saya hampir tidak pernah melakukannya.

 

Jadi tidak heran, selama 49 tahun jasad ayah terbaring di makamnya -di Cikutra Bandung- saya mungkin hanya 3 kali berziarah. Kali terakhir pun seingat saya lebih dua puluh tahun lalu.

Bahkan ketika berada di tanah suci kota Madinah, komplek pemakaman para sahabat Nabi di Baqi bukan menjadi prioritas saya.

Pun pemakaman syuhada Uhud. Di Uhud saya lebih suka naik ke bukit Rumat, sambil mengimajinasikan bagaimana kedasyatan peperangan Uhud itu terjadi dan membayangkan di mana posisi para pemanah, posisi masukan Musyrikin Quraisy dan pasukan Rasulullah ﷺ

Pengecualian dari itu semua, tentu Ziarah ke makam Rasulullah ﷺ, sahabat Abu Bakar Asy-Syidiq RA dan Umar bin Khattab RA. Walau harus antri dan berdesakan yang ini pastinya tidak pernah terlewatkan.

Akan tetapi, lagi-lagi buku Ar-Ruh Ibnul Qoyyim yang merubah pandangan saya. Baru membaca dua halaman saja dari Bab 1 buku itu, pandangan saya soal ziarah kubur langsung berubah.

Dengan berbagai dalih dan pembuktian Ibnul Qoyyim menyimpulkan bahwa ruh orang yang sudah meninggal mengetahui orang yang menziarahi kuburnya, menjawab salamnya dan merasa gembira dengan kehadiran keluarga atau orang yang semasa hidupnya ia kenal.

Maka kini saya menjadi orang yang suka berziarah kubur.

Misalnya, selepas salat Subuh di Masjid komplek, saya merapat ke dinding tembok pembatas halaman masjid dengan pemakaman umum komplek Timah, menjulurkan kepala ke arah makam dari lubang yang ada di tembok itu, mengucapkan salam lalu berdoa secara singkat untuk para penghuni kubur. Kendati tak ada satu pun famili saya yang dimakamkan di situ.

Demikian pula waktu berkesempatan umroh awal September lalu, saya dua kali ziarah ke komplek pemakaman Baqi. Mengucapkan salam dan berdoa di beberapa titik.

Agak lumayan lama saya di Baqi. Anggap saja sebagai penebus kelalaian saya selama ini.

Di Uhud pun sama. Sebelum memanjat ke bukit Rumat, saya berlama-lama di depan komplek pemakaman para Syuhada Uhud. Mengucapkan salam, bedoa dan mengingat kembali kisah-kisah perjalanan hidup Hamzah bin Abdul Muthalib, Musab bin Umair dan lain-lain.

Dan tentu saja, secara rutin saya mengunjungi makam istri saya sepekan sekali kendati jaraknya lumayan jauh. Sedikitnya butuh waktu satu jam setengah pulang pergi.

Dan saya pun sudah membuat daftar makam yang akan saya ziarahi saat ada kesempatan  pulang kampung.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur