(Foto : detik)

Menjadi Office Boy

Oleh: Setiardi

(Foto : detik)

Kisah ini kerap saya ceritakan pada tiga anak saya — Seno, Rania dan Rishad. Bahwa saat SMP dulu, Bapak mereka sudah bekerja.

Saat kelas 2 SMP, tahun 1984, saya tak tinggal bersama orang tua. Saya hijrah ke Palembang, menumpang di rumah kerabat jauh, yang  menjadi petugas kebersihan di Kantor Pekerjaan Umum Sumsel. Lokasinya di sebelah Kantor Gubernur di Jalan Kapten A. Rivai.

Ikut orang bukanlah kehidupan yang mudah. Tapi saya jalani dengan ringan, sebab masih bisa sekolah. Sampai siang saya sekolah di SMP Negeri 3, Palembang. Tak jauh dari rumah. Beberapa teman sekelas — antara lain Rosidi Ujud,  Rosdiyanti Diah Andriani, Eka Martini dan Agus Sutikno. Selepas sekolah, saat anak-anak sebaya bermain, saya harus ke kantor PU. Saya menjadi office boy di sana.

Ada sekitar 30 ruangan yang menjadi tanggung-jawab saya. Pertama saya kumpulkan semua gelas di meja pegawai. Tiap meja ada dua gelas: teh manis dan air putih. Kerap ada gelas teh yang masih utuh. Biasanya saya minum. Lumayan menambah tenaga. Gelas yang terkumpul saya cuci. Saya keringkan di dapur dengan posisi terbalik.

Usai urusan gelas beres, saya mulai menyapu dan membersihkan semua ruangan. Satu per satu. Asbak yang penuh puntung rokok juga tak ketinggalan. Tempat sampah di tiap pojok ruangan harus dikosongkan. Kerap saat saya menyapu, pegawai membuang puntung rokok sembarangan. Itu menjengkelkan. Tapi pegawai lembur juga sering menyenangkan jika minta dibelikan nasi bungkus. “Beli di rumah makan Pelangi,” ujar mereka. Selain kebagian nasi rendang, saya masih mendapat tips. Dua ratus, atau tiga ratus rupiah.

Bisa makan dengan nasi rendang, atau ayam, itu kenikmatan luar biasa. Soalnya di rumah saya tak bisa makan enak. Maklum menumpang. Harus tahu diri.

Setelah beres menyapu, saya pel seluruh ruangan. Ini pekerjaan berat. Sebab air di lantai 3, yang menjadi tanggung jawab saya, sudah lama mati. Saya harus mengambil air dari lantai dasar. Selain untuk mengepel, saya harus penuhi gentong air di toilet. Setiap hari. Sungguh menyebalkan. Tapi prosesi mengangkut air itu kerap saya anggap sebagai latihan kungfu. Melatih kekuatan kuda-kuda. Ha ha ha …

Sebetulnya tak cuma menjadi office boy. Saya kerap diminta membantu proses renovasi ruangan kantor. Itu artinya harus mengangkut pasir, semen dan batu bata ke lantai tiga. Anehnya saya kuat. Jika ada pekerjaan renovasi, pulang ke rumah pasti selepas Isya. Sambil membawa rongsokan yang dianggap bernilai. Pernah suatu kali, saya membawa rongsokan di depan rumah cewek yang saya taksir. Sialnya si cewek sedang di teras rumahnya. Saya malu sekali. Ampuuunnnn !

Pulang ke rumah urusan beres? Nanti dulu. Tiap malam saya masih bertugas menunggu kucuran air PAM. Saat itu di Palembang PAM hanya mengucur malam hari. Kecil, seperti kencing batu. Saya tampung di ember, kemudian dituangkan ke bak di kamar mandi. Begitu setiap malam.

Beres semua, saya sempatkan nonton Dunia Dalam Berita di TVRI. Sekitar jam 10 atau 11 malam saya mencari tempat strategis di lantai. Maklum, jatah saya memang tidur di lantai di depan TV. Sebelum tidur selalu bakar lingkaran ‘obat nyamuk’ warna hijau. Anehnya saat itu sehat-sehat saja. Tak pernah masuk angin, tak pernah demam berdarah. Dan semua pekerjaan itu saya lakuka tanpa bayaran. Imbalannya saya bisa numpang, dan disekolahkan di SMP Negeri 3 Palembang. Alhamdulillah …

Banyak kisah lainnya. Kapan-kapan saya ceritakan ….

About Redaksi Thayyibah

Redaktur