Breaking News
Majalah Tempo (Foto : Liputan6)

The Death of TEMPO

Oleh: Setiardi

Majalah Tempo (Foto : Liputan6)

Beberapa hari lalu saya ke rumah seorang kawan di Bogor. Di meja terasnya ada Majalah Tempo edisi tenggelamnya kapal selam milik TNI Angkatan Laut. Berdebu. Saya hanya melirik majalah itu. Tak tega menyentuhnya. Bukan karena isi liputannya. Tapi karena penampilan fisiknya: tipis.

Sudah bertahun-tahun saya tak membeli Majalah Tempo. [Terakhir beli tahun 2014, saat Tempo menjadikan geger Obor Rakyat sebagai cover story]. Kemarin perasaan saya sungguh terkejut. Seperti bertemu teman lama yang terinfeksi HIV: kurus kering. Ya, majalah itu terlihat kurus kering.

Bagaimana pun ada kesedihan di hati. Saya pernah bergabung dengan majalah ini [1998 – 2007]. Ketika itu Majalah Tempo cukup gemuk. Iklan di setiap edisi setidaknya 40-an halaman. Di akhir tahun bisa menyentuh 60-an halaman. Tapi, edisi yang kemarin tak sengaja saya lihat itu, sungguh memprihatinkan. Saya tak tega menghitung jumlah halaman iklannya.

Mungkin, pada akhirnya Goenawan Mohamad, sang pendiri Tempo, akan menulis di Catatan Pinggir terakhir: The Death of TEMPO — seperti saat dia menulis Catatan Pinggir ‘The Death of Sukardal’. Saat itu Goenawan bercerita tentang Sukardal, tukang becak asal Majalengka yang mati gantung diri karena becaknya disita petugas tibum Kota Bandung pada 1986.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur