Breaking News

Dia yang Berkhutbah Secara Mengesankan

Oleh: Didin Amarudin

Terus terang saya jarang bisa mengingat isi khotbah Jumat yang telah lewat dari satu bulan. Apalagi sudah berbilang tahun. Entahlah. Mungkin khutbahnya terlalu panjang atau terlalu banyak tema disampaikan.

Akan tetapi, itu tidak berlaku untuk khotbah yang disampaikan oleh orang yang satu ini. Hampir 35 tahun bahkan 40 tahun berlalu, beberapa isi khutbah Jumatnya masih terekam dengan baik di memori otak saya. Orang itu adalah almarhum Drs. H. Uri Mashuri, seorang da’i muda berwajah teduh di kota kecil Kuningan.

Kami menyebutnya Pak Uri saja, karena ia tidak suka dipanggil dengan diembel-embeli gelar apapun: haji, doktorandus, ustadz, atau kyai. Padahal tidak berlebihan andaipun satu atau dua gelar itu disematkan di depan namanya.

“Abu Bakar jeung Umar bin Khattab oge da teu disebut Haji Abu Bakar atawa Haji Umar (Abu Bakar dan Umar bin Khattab juga tidak pernah dipanggil Haji Abu Bakar atau Haji Umar. Pen).” Katanya suatu ketika sambil tersenyum.

Ia memang kerap menyelipkan bahasa Sunda dalam ceramahnya.

 

(Foto-foto: Dok, Didin Amarudin)

Di masa saya kanak-kanak tahun 70-an akhir dan remaja tahun 80-an, rasanya tidak ada orang di kota yang terletak di kaki gunung Ciremai ini yang tidak kenal Pak Uri. Mulai dari anak-anak, para remaja, orang tua, pria dan wanita, semua mengenalnya. Dan juga mencintainya. Tidak hanya di perkotaan tapi juga sampai ke pelosok-pelosok desa. Padahal saat itu tidak ada media sosial seperti sekarang. Tidak salah orang tuanya memberi nama putra  satu-satunya ini Mashuri, yang berarti “Yang Terkenal”.

 

Yang membuat ia dikenal luas, menurut saya karena ia berceramah atau berkhutbah dengan menarik, tidak membosankan dan menyentuh hati. Saya bisa merasakan aura antusias dan kegembiraan jamaah sholat Jumat begitu diumumkan bahwa khatibnya adalah Pak Uri. Dan tentu kegembiraan itu milik saya juga.

 

Jamaah akan sangat khusuk pada saat Pak Uri menjadi khatib Jum’at. Ini tidak lain karena ia selalu berkhutbah dengan mengesankan. Bahasanya sederhana, singkat, tidak bertele-tele. Selalu fokus pada satu tema dan ekspresi wajahnya menggambarkan apa yang tengah ia sampaikan.

Ia juga kerap mengutip kisah dalam khotbahnya. Entah itu kisah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Sahabat, Tabi’in ataupun para salaf terdahulu. Dan ia menyampaikan kisah ini dengan bahasa yang menyentuh.

Pernah dalam suatu kesempatan khutbah, setelah mengucapkan Hamdalah, bersholawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, berwasiat taqwa, dan membaca ayat Al-Quran, ia berkisah tentang salah seorang Khalifah Bani Abbasiyah.

Ia bertutur suatu saat ketika Khalifah sedang berjalan di taman, ia membaca sebuah tulisan di atas sebuah batu. Tulisan itu berbunyi: “Jika Tuan mengangkat batu ini, maka Tuan akan menemukan mutiara di baliknya”. Maka dengan rasa penasaran Sang Khalifah mengangkat batu itu. Ia tidak menemukan apapun di balik batu itu, kecuali tulisan:

“Telah banyak yang Tuan ketahui, tapi sedikit yang Tuan kerjakan”.

Rupanya itulah pesan yang dimaksud ‘mutiara’ oleh si penulis pesan yang misterius itu.

Sampai di situ Pak Uri langsung menutup khutbah pertama itu tanpa penjelasan apapun tentang ‘mutiara’ itu. Singkat sekali. Itulah khutbah Jumat paling singkat yang pernah saya dengar. Sepertinya Pak Uri ingin agar pendengar memaknai sendiri pesan ‘mutiara’ itu. Atau pesan itu terlalu jelas untuk dijelaskan.

Tentang khutbah Jumatnya yang singkat, sepertinya ia menyadari betul fisiologis dan psikologis jamaah yang di saat khutbah berlangsung, berada pada jam lapar dan jam ngantuk. Jam 12 plus minus adalah jam biologis makan siang untuk sebagian besar orang. Dan di hari Jumat biasanya mereka menundanya sampai solat Jumat selesai ditunaikan. Jadi memang semestinya khotib tidak memperpanjang ceramahnya di jam-jam rawan ini.

Dan sesungguhnya secara tersirat dan tersurat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menghendaki agar Khatib mempersingkat khutbahnya.

“Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah merupakan ciri dari kefaqihan seseorang.”

“Maka panjangkanlah shalat, dan pendekkanlah khutbah, sesungguhnya di antara untaian kata yang indah itu ada daya tarik. (Hadits Riwayat Muslim)

Selain yang telah disebutkan di atas, ada satu lagi kekuatan mengapa khotbah atau ceramah Pak Uri selalu berkesan dan menyentuh pendengarnya. Yaitu ia berbicara dengan dan dari hati. Seperti yang pernah dikatakannya bahwa pembicaraan yg keluar dari hati akan diterima oleh hati pula.

Itulah mengapa beberapa jamaah menangis saat ia dalam suatu kesempatan khutbah Jumat mengutip surat Az-Zumar ayat 71 sampai dengan ayat 75. Ia mendeskripsikan secara mengharu-biru proses bagaimana kondisi orang kafir saat dihalau masuk neraka secara berombongan dan saat orang beriman disambut secara ramah oleh para Malaikat yang mulia di pintu surga. Saya menyaksikan kakek saya yang pulang dari Jumatan siang itu dengan mata sembab.

Itu pula sebabnya mengapa saya masih menyimpan dalam ingatan tatkala ia berkisah tentang kesederhanaan Said bin Amir Gubernur Syam di masa kekhalifahan Umar bin Khatab RA dalam suatu khutbah lainnya.

Sebab ketika ia berbicara kesederhanaan, ia pun membuktikan dirinya hidup dalam kesederhanaan. Dalam hal berpakaian misalnya. Ia hampir selalu mengenakan baju koko putih, celana hitam atau krem dan kopiah hitam.

Kesesuaian antara perkataan dengan perbuatan itulah yang membuat kata-katanya menjadi hidup dan bertenaga menyentuh relung hati.

Satu hal lagi yang saya kagumi dari Pak Uri adalah ketulusannya dalam berdakwah. Dia tidak pernah mau dibayar untuk ceramahnya. Oleh karenanya ia bisa bebas berbicara apapun, teguh dalam hal prinsip dan tidak terpenjara oleh kepentingan siapapun.

Namun di sisi lain, sikap teguh dan tidak bisa disetir itu  menyebabkan ia kerap bolak-balik dipanggil ke Kodim untuk ‘dimintai keterangan’ atas beberapa ceramahnya. Ya dulu kita tahu saat Benny Moedani menjadi Menhankam/Pangab, para dai dipanggil ke Kodim adalah hal lumrah.

Padahal siapapun mengakui Pak Uri adalah dai yang moderat, tutur katanya santun, tidak pernah menghakimi dan dakwahnya berusaha menyatukan.

Ketika reformasi bergulir, kesempatan baginya sangat terbuka lebar untuk terjun ke dunia politik. Dengan populeritasnya yang tinggi dan reputasinya yang baik di masyarakat, sangat mudah bagi Pak Uri untuk menjadi anggota parlemen. Saya yakin tawaran banyak datang kepadanya untuk bergabung di partai politik.

Akan tetapi ia lebih memilih jalan sunyi; tetap menjadi seorang guru dan da’i yang mandiri dengan membuka usaha foto studio dan toko material.

Pak Uri sudah wafat empat belas tahun lalu saat usianya belum mencapai 60 tahun -tepatnya 57 tahun 3 bulan. Namun demikian namanya akan tetap dikenang. Jasanya sangat besar terutama kepada anak-anak remaja -di Kota Kuningan- seperti saya. Ia yang mengajari kami makna syahadat, menumbuhkan kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menanamkan dasar-dasar Islam lainnya.

Pak Uri jugalah yang mengenalkan saya sejak masih remaja dengan pemikiran tokoh-tokoh pergerakan Islam semisal Maulana Al-Maududi, Hasan Al-Banna dan Sayid Qutb.

Sebab ia tidak hanya berdakwah ke pelosok-pelosok desa di Kuningan dengan Honda Astrea-nya, tapi juga aktif membina para remaja dalam wadah GEMMA (Generasi Muda Mesjid Al-Manar).

Modul stensilan Pesantren Ramadhan yang dibuatnya banyak mengutip pemikiran tokoh-tokoh di atas.

Satu hal yang saya sesali terkait Pak Uri adalah saat ia sakit dan dirawat di Jakarta  saya tidak membesuknya. Pun saat akhirnya wafat di rumah sakit itu saya tidak bertaziah, menyolati apalagi ikut mengiringi jasadnya ke peristirahatannya terakhir. Tidak ada berita yang sampai kepada saya kalau ia sakit dan dirawat Jakarta. Pun saat wafatnya.

Untuk menebus penyesalan itu, setiap saya membaca doa permohonan ampun untuk Muslimin dan Muslimat baik yang hidup maupun yang telah wafat, maka salah satu yang terbayang adalah wajah teduh Pak Uri Allahuyarham itu.

Ya Rabb lapangi dan terangilah kubur guru kami ini. Alirkanlah pahala jariyah dari ilmu yang telah ia sampaikan.

Tempatkanlah ia di surga-Mu bersama orang-orang sholih, para pejuang, para Sahabat Radhiallahu’anhum dan para Nabi-Mu yang mulia. Amiin.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur