Breaking News
(Foto : Kediri Times)

Bodoh Matematika

Oleh: Joko Intarto

(Foto : Kediri Times)

Ini cerita undercover alias gosip tentang uang perilin para pencari kerja. Peredaran uang haram itu seperti kentut. Tidak terlihat wujudnya tapi baunya kemana-mana.

Dalam sebuah obrolan sembari ngopi, teman saya, sebut saja Anto, menceritakan temannya yang ketipu oknum pejabat. Uang muka Rp 150 juta sudah dibayarkan. Tapi anaknya tidak lolos seleksi. “Kalau berhasil diterima, teman saya harus bayar Rp 150 juta lagi,” kata Anto.

Cerita seperti itu sudah sering saya dengar dari banyak teman. Saya biasanya tidak menanggapi. Soalnya tidak jelas siapa oknumnya dan tidak ada bukti bayarnya. Tapi kali ini saya mendadak tertarik. Gara-gara angka pelicin yang fantastis itu: Rp 300 juta!

Kalau dijadikan modal bisnis tempe, uang ‘segitu’ bisa menghasilkan keuntungan puluhan juta rupiah per bulan.

Katakanlah digunakan untuk investasi gerobak mendoan Rp 4 juta dengan modal kerja Rp 5 juta agar  bisa berjualan mendoan dengan modal Rp 1 juta per hari. Kalau keuntungan bersihnya 30%, modal Rp 1 juta akan menghasilkan Rp 300 ribu. Dalam sebulan akan menghasilkan Rp 9 juta. Dalam sebulan bisnis mendoan sudah bisa break event point. Kalau penghasilan Rp 9 juta kurang, masih bisa dinaikkan lagi. Buka 10 outlet sekaligus. Toh baru menghabiskan Rp 90 juta. Itu belum sampai separo jatah suap!

Bayangkan kalau dijadikan pelicin kerja. Uang sebesar Rp 300 juta hanya menghasilkan gaji per bulan setingkat UMR. Apalagi UMR daerah kecil. Kurang lebih Rp 2 juta sebulan.  Itu terlalu kecil. Butuh waktu 150 bulan untuk mengembalikan uang pelicin itu. Lebih dari 12 tahun kemudian.

Pertanyaannya, mengapa banyak orang yang rela nyogok hingga ratusan juta rupiah dengan harapan bisa mendapat pekerjaan bergaji rendah? Mengapa tidak memilih menjadikan uang itu untuk modal bisnis yang menghasilkan pendapatan berlipat-lipat?

Mindset kebanyakan orang tua memang masih kuno. Mereka dibesarkan dalam alam berpikir menjadi pegawai kantor itu derajatnya lebih terhormat. Orang-orang tua banyak yang bangga melihat seragam anaknya necis. Sepatunya mengkilat. Soal dompetnya nangis getih, orang-orang tua tidak terlalu cemas. Toh tidak ada orang lain yang tahu. Toh masih bisa disubsidi. Yang lebih parah kalau orang tuanya sampai punya pikiran ini: Nanti kalau sudah kerja juga akan tahu sendiri cara mencari sabetan.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur