Breaking News
(Foto : Davy Byanca/Istimewa)

Menembus Pintu Langit

Oleh: Daby Byanca

(Foto : Davy Byanca/Istimewa)

Banyak orang yang secara lisan mengaku beriman. Padahal iman merupakan proses pembelajaran yang tidak ada batasnya. Bisa jadi kita telah diajari prinsip-prinsip keimanan, tetapi hingga semua prinsip itu diinternalisasikan, kita tidak dapat merespons berbagai kejadian yang terjadi secara tiba-tiba. Bisa jadi kita menganggap diri telah beriman, tapi seringkali terlintas pikiran bahwa kesulitan yang kita hadapi disebabkan oleh nasib buruk. Kita mengaku beriman tapi masih mengeluh, menyalahkan nasib, atau menimpakan kesalahan kepada orang lain.

Kita semua tumbuh sebagai manusia yang terikat pada dunia. Sungguh penting untuk bersikap jujur, untuk mengakui bahwa kita menyukai berbagai hal yang bagus, dan ternyata begitu banyak pula keinginan kita untuk memiliki. Itulah nafsu. Safer Effendi, seorang sufi berkata, “Nafsu itu akan tetap menyertai kita sampai kita wafat. Seekor serigala yang sudah tua tidak lagi punya taring atau cakar yang tajam. Serigala itu tidak memiliki kekuatan, tetapi ketika seekor domba lewat di depannya, nafas serigala itu mulai terengah-engah.”

Mengapa demikian? Karena kita tak mau memahami konsep kefakiran. Ibnu Arabi pernah menulis, “Semua yang kita butuhkan dari dunia hanyalah sesuatu yang halal untuk memenuhi rasa lapar, sesuatu untuk menutupi tubuh, dan atap untuk berteduh. Jadikanlah ini satu-satunya hal yang engkau minta dari dunia, tidak lebih.”

Begitulah. Kita sering bingung dan dicemaskan oleh keinginan dan kebutuhan. Kita dikelilingi oleh harta benda yang sebenarnya tidak kita butuhkan, tetapi nafsu terus membujuk dan menghipnotis kita untuk percaya bahwa kita harus memiliki barang-barang itu.

Hakikat kefakiran adalah menyadari bahwa kemiskinan yang sesungguhnya adalah takut akan kemiskinan. Sebab, kenyataannya kita tidak “memiliki” apa-apa. Semua yang dianggap milik kita sejatinya merupakan amanah yang dititipkan oleh Sang Pemilik Alam Semesta kepada kita. Jadi, kita harus merawatnya dengan penuh tanggung jawab. Kita ibarat pengasuh yang merawat anak orang lain. Seorang perawat sadar bahwa anak-anak asuhnya bukanlah anak-anaknya, dan suatu saat mereka akan meninggalkan dirinya.

Bagaikan sebuah sungai, hidup adalah proses yang terus berubah. Saat kehidupan berubah, jalan yang kita tapaki pun akan berubah. Perjalanan spiritual orang lain tidaklah sama dengan perjalanan ruhani yang kita tempuh. Kendati demikian, jalan itu tetaplah jalan yang sama, yakni jalan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw sejak 1.400 tahun yang lalu. Perjalanan menembus pintu langit pada akhirnya bermula dari kesadaran bahwa kita bukan siapa-siapa dan tak memiliki apa-apa.

Hari ini, seperti hari lainnya, kita terjaga dengan perasaan hampa dan ketakutan. Aargghhh … sekian lama aku berteriak memanggil nama-Mu sambil terus-menerus mengetuk pintu rumah-Mu. Ketika pintu itu terbuka, aku pun terhenyak dan mulai menyadari sesungguhnya selama ini aku telah mengetuk pintu dari dalam rumahku sendiri.

 

Terpesona. Sungguh aku!

About Redaksi Thayyibah

Redaktur