Breaking News

Shubuh Kembali Merona

Oleh : Davy Byanca

Sahabat sufiku.

LELAKI muda itu aku kenal beberapa tahun lalu. Awalnya sejak dia mulai hadir dalam shalat shubuh berjamaah di masjid komplek perumahan kami. Kerana keistiqamahannya ke masjid, tentu anak ini menjadi perhatian jamaah, yang 90% isinya kaum tua dan pensiunan. Beberapa bulan terakhir, dia sempat tak hadir di masjid. Rupanya setahun belakangan ini ekonomi keluarganya menurun.

SUATU pagi kami bertemu di kedai kopi dekat rumah, kami ngobrol, ia curhat. Anak muda dengan dua orang anak yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar ini bercerita. Sejak ia memutuskan hijrah, ia mulai meninggalkan bisnis jual beli miras yang ditekuninya bertahun-tahun. Dan mulai merintis usaha baru yang halal. Tapi sejak setahun belakangan, bisnisnya hancur, dia ditipu dan dikhianati oleh orang kepercayaannya, yang nota bene; sesama muslim.

Anak muda ini berkata, ‘aku ternyata tak cocok jadi orang baik Bang. Masih terlalu muda kek nya. Aku gagal menjadi orang baik. Sempat terbersit untuk kembali ke bisnis yang lama gegara ditipu sama sohib yang kupercaya selama ini’. Aku mendengar dengan seksama apa yang dikatakannya. Anak ini sedang butuh ’ember’, kubiarkan dia menggebu menceritakan kepahitan yang dialaminya. Tak lama kemudian, kupegang  bahunya, ‘sudah mas, curhatnya?’ Dia tersenyum, kukatakan lagi, ‘Guruku pernah berkata, proses taubat itu akan selalu mengalami tarik ulur antara benar dan salah. Tapi jangan pernah mas berpikir, untuk menyerah. Apalagi berbalik arah’.

SOB, jika kita cari nafkah untuk keluarga, dan katanya sayang sama anak dan istri. Mengapa masih saja memberikan penghasilan yang haram untuk mereka. Jika kita mengaku hijrah dan bertaubat, mengapa masih saja tak sesuai antara ucapan dan perbuatan. Kasih sayang macam apa yang tega memberikan penghasilan haram untuk mereka yang dicintai. Aku teringat kata-kata Imam Ibnu Rajab ra, ‘siapa yang merasa hatinya sempit, tidak nyaman dengan kemaksiatan yang ia lakukan. Kemudian ia langsung beramal sholeh demi menebus perbuatan tersebut. Ini merupakan salah satu bukti adanya keimanan di dalam diri’.

SEBELUM pamit, kusampaikan padanya, ‘Tak mengapa saat ini bisnis kita jatuh mas. Tak perlu kasihan pada dirimu. Kamu masih muda, akan lebih kasihan lagi jika kamu kembali terpuruk ke lembah kemaksiatan padahal mas pernah mencicipi manisnya hidayah’. Anak itu tersenyum seraya mengucapkan terima kasih. Aku melihat masih ada iman di hati anak muda ini.

BEGITULAH. Tujuan hidup bukanlah untuk menjadi bagian dari mayoritas, tapi menghindari menjadi bagian dari kaum yang tidak waras, kata Marcus Aurelius. Tampak wajah-wajah manusia shubuh begitu cerah hari ini di masjid kami. Setiap pagi mereka menghirup udara segar, yang belum terkontaminasi dengan nafas para munafiqun. Kaum mayoritas yang bangga dengan simbol keislaman dirinya. Tapi kerap menggadaikan akidah demi perut dan di bawah perut.

ESOK harinya, shubuh ini, aku melihat dia kembali duduk berdzikir di pojok masjid sambil menunggu adzan shubuh. Dalam hati aku bangga dengan pergulatan batin anak ini. Di usia muda, Allah telah memilih dia untuk mencicipi kehidupan secara paripurna. Tak semua orang dipilih untuk mendapatkan pembelajaran dari-Nya.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur