Trauma Isolasi

Oleh: Joko Intarto

Anggota keluarga yang terpapar Covid-19 “berubah” setelah diisolasi di RS? Jangan panik. Saya akan berbagi pengalaman ibu saya di Grobogan.

Sudah dua minggu Bu Riswati pulang ke rumah. Dokter RS Permata Bunda menyatakan Bu Ris sudah sehat setelah menjalani perawatan di ruang isolasi selama 17 hari. Hasil tes PCR-nya negatif.

Sejak di rumah, adik saya beberapa kali mendokumentasikan kondisi Bu Ris dalam bentuk video. Dari rekaman itu saya tahu: ada yang berubah pada Bu Ris. Terutama, caranya berbicara. Suaranya pelan. Temponya lambat. Responnya juga lama. Pelafalannya pelo. Seperti penderita stroke.

Komunikasinya tidak terlalu bagus. Banyak link yang masih tidak connect. Beberapa peristiwa baru justru hilang dari memorinya. Yang tersisa hanya rekaman lawas. Saat masih kanak-kanak hingga remaja.

Saya tidak menduga perubahan itu terjadi akibat terpapar Covid-19. Beberapa anggota keluarga saya juga mengalami nasib serupa tetapi baik-baik saja.

Titik terang itu mulai terkuak dari beberapa peristiwa kecil ini. Misalnya, kebiasaan mengucapkan kata “mbae” dengan logatnya yang pelo sambi melambaikan tangan.

Awalnya saya mengira Bu Ris mengigau memanggil-manggil kedua orang tuanya yang sudah lama meninggal dunia. Ternyata yang dimaksud bukan “Mbah” melainkan “Mbak”.

Di RS, perawat mengajari agar memanggil “Mbake” sambil melambaikan tangan untuk memanggil perawat ke ruang isolasi. Kebiasaan itu terbawa sampai sekarang. Ia masih sesekali memanggil “Mbae” sambil melambaikan tangan. Memang frekuensinya semakin jarang.

Bu Ris (Foto-foto : JTO)

Dokter Wawan yang menangani di RS Permata Bunda menduga, pengalaman di ruang isolasi selama 17 hari itu telah menimbulkan trauma psikologis. Akibatnya Bu Ris mengalami depresi.

Dengan terapi, trauma itu bisa dihilangkan. Pelan-pelan.

Dokter Tarno yang direkomendasi dr Wawan untuk memberi konsultasi memberikan resep. Setiap hari ia minta kiriman video rekaman perkembangan kondisi Bu Ris.

Menurut dr Dharminto, adik Bu Ris, pengalaman di ruangan isolasi RS memang bisa menimbulkan trauma. Karena itu, isolasi terhadap penderita Covid-19, akan lebih baik bila dilakukan di rumah. Terutama kalau penderitanya tergolong OTG.

Di RS, ruang isolasi benar-benar ruang steril yang tidak boleh dikunjungi orang selain petugas. Padahal di rumah, Bu Ris punya kebiasaan berkumpul dengan anak, mantu, cucu dan tetangga. Tiba-tiba sekarang sendirian. Berhari-hari pula.

Alhamdulillah. Hari ini untuk kali pertama Bu Ris bisa menikmati suasana halaman rumahnya setelah dua minggu ditemani siang malam di dalam kamar. Pendampingan terus-menerus itu untuk “menghapus” pengalaman  hidup terisolasi di RS selama 17 hari.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur