Breaking News
(Foto : Davy Byanca)

Begitu Indah

Oleh: Davy Byanca

(Foto : Davy Byanca)

Saat berada di stasiun kereta api kota Tegal, saya duduk di peron seraya membaca buku karya Prof. DR. Jeffrey Lang, seorang mualaf ahli matematika asal Amerika. Saya baru saja membantu klien menangani sebuah kontrak dengan jawatan  kereta api. Kami menunggu tibanya kereta api jurusan Jogjakarta –Jakarta. Ditemani dengan suara sayup pemusik jalanan yang sedang membawakan lagu apik karya anak-anak Padi, ”Begitu Indah.”

Di sela-sela penantian itu saya tenggelam dalam episode yang sangat menyentuh yakni, dialog ketauhidan antara sang professor dengan imam masjid Universitas San Fransisco, Ghassan. DR. Lang bertanya, ”Apakah Anda bisa memberi tahu bagaimana rasanya menjadi Muslim? Maksud saya bagaimana Anda melihat hubungan Anda dengan Tuhan?” Sekarang dengarkan jawaban ustadz Ghassan. Bagi saya, ini jawaban terindah yang pernah saya dengar untuk menjelaskan keindahan Sang Maha Indah, ”Allah! Maha Besar!” begitu tukasnya, ”Dan kita bukan apa-apa dibandingkan Dia. Kita lebih kecil daripada sebutir pasir. Akan tetapi Dia mencintai kita lebih daripada seorang ibu mencintai bayinya!”

Dengan sangat ekspresif dan penuh emosi, DR. Lang menggambarkan bagaimana Ghassan melanjutkan penjelasannya, “Dan tidak ada sesuatu pun yang terjadi kecuali dengan kehendak Allah! Ketika kita menarik nafas, itu dengan kehendak-Nya. Dan ketika kita mengeluarkan nafas, itu pun dengan kehendak-Nya. Ketika kita mengangkat kaki untuk melangkah, itu pun dengan kehendak-Nya. Dan kita tidak akan pernah mampu meletakkan kaki itu kembali ke tanah kecuali dengan perintah-Nya.

Ketika sebuah daun jatuh dari sebatang pohon dan bergoyang-goyang dalam perjalanannya jatuh ke tanah, tak ada bagian perjalanan itu yang dapat terjadi kecuali dengan kehendak Allah. Dan ketika kita bersembahyang dan meletakkan hidung kita di tanah, kita merasakan kegembiraan, ketenangan, kekuatan yang tidak ada di dunia ini dan tak ada kata-kata yang dapat menggambarkannya. Anda harus menjalaninya sendiri untuk dapat mengetahuinya.”

Dari penjelasan yang singkat itu, tanpa pikir panjang lagi DR. Lang pun mengucapkan syahadat. Sebuah momen spiritual yang sangat indah baru saja dialaminya. Begitu pula dengan saya, saya mencoba hadir dalam momen itu, menangkap keterpanaan wajah sang professor, dan keteduhan wajah ustadz Ghassan. Pasti begitu indah. Dalam bukunya itu, sang professor lalu menyelami Islam dengan cara membaca, berdebat, dan bergumul dengan al-Qur’an. Menurutnya, ia mendapatkan kebahagiaan yang luar biasa. Ia merasa damai bersama Islam setelah bertahun-tahun menjadi atheis dan pemeluk Kristen.

Saya merasa melankolis sekali dan berhenti sejenak saat membaca halaman itu. Tak sengaja, telinga pun terus dibisiki oleh syair indah dari para pengamen yang menyegarkan kalbu. Bagaimana tidak. Dengarkan saja ketika sang vokalis yang mencoba memirip-miripkan suaranya dengan Fadli bersenandung : “Duhai cintaku, pujaan hatiku, peluk diriku …. Terang saja aku menantinya, terang saja aku mendamba-Nya, terang saja aku merindu-Nya, karena dia … karena dia … begitu indaaaaah.” Sekarang coba Anda ganti kata dia dengan DIA, rasakan kerinduan itu di dalam hati Anda. Tak terasa saya bergumam, ”Subhanallaah, begitulah kerinduan seorang pecinta kepada Sang Kekasih!”

Ternyata, tak ada yang dapat mengalami keindahan saat kita bercumbu dengan-Nya. Merasakan kerinduan, mendambakan pertemuan dengan-Nya, menikmati hangatnya pelukan-Nya, dan menatap wajah-Nya. Saya selalu iri dengan para sufi terdahulu yang dengan sempurna dapat menggambarkan suasana kerinduan hati mereka. Begitulah keindahan, ia terletak dalam ”rasa” bukan dalam bentuk fisik.

Sekarang, maukah Anda melihat keindahan yang terindah? Rasulullah saw telah menyampaikan kepada kita melalui para sahabatnya, bahwa keindahan yang terindah adalah ketika kita bisa menatap wajah Allah. Sebagaimana kita menatap rembulan di malam hari dengan mata telanjang. Tentu tahapan itu harus kita lalui dengan bercocok tanam di dunia ini. Sebab, selama hayat masih dikandung badan, tak ada satu mahluk pun yang dapat menatap Allah dengan mata lahiriah. Hatta, Musa as yang harus dipingsankan terlebih dahulu ketika umatnya merengek ingin menatap Allah swt.

 

Ya Allah, masukkan hamba-Mu ini ke dalam golongan orang-orang yang kelak dapat menatap wajah-Mu! Aaahhh .. begitu indah pastinya..!

About Redaksi Thayyibah

Redaktur