Breaking News
Foto : Davy Byanca

Atas Nama Cinta

Oleh: Davy Byanca

Foto : Davy Byanca

Ketika menghadiri tujuh malam wafatnya istri seorang sahabat, aku mendapatkan suasana yang begitu mengharukan. Bagaimana tidak. Sang suami dengan terbata-bata, memberikan nasihat kepada semua yang hadir mengenai makna cinta seorang istri. Setelah istrinya wafat barulah ia sadar betapa penting dan berartinya seorang istri yang selama ini selalu diremehkan. Aku tertegun mendengar nasihatnya, aku pun lalu membayangkan wajah istri, yang telah 33 tahun menemani dalam keadaan susah dan senang. Betapa banyak sudah kami mengalami pahit getirnya hidup, aarrghh … tak perlu kuceritakan. Aku lalu melihat wajah para suami yang hadir, sebagian besar meneteskan air matanya, meski malu-malu.

Aku teringat dengan ucapan sahabat ‘Umar bin Khaththab ra kala mengungkapkan rasa sayangnya kepada istrinya, “Ia (istriku) telah bersabar atasku. Ia mencuci pakaianku, membentangkan tempat tidurku, mendidik anak-anakku, membersihkan rumahku. Ia melakukan semua itu, padahal Allah tidak memerintahkannya untuk berbuat hal yang demikian. Ia melakukan semua itu demi ketaatan dan tetap bersabar atas semua itu, maka bagaimana mungkin aku tidak bisa bersabar jika ia mengangkat suaranya?”

Ucapan ‘Umar ra benar. Maka coba Anda bertanya dalam hati, apa yang sudah Anda berikan kepada istri? Bukankah ketika ia masih hidup bersama orang tuanya, semua ia terima secara gratis? Kasih-sayang, pakaian, pendidikan, dan perhiasan diberikan tanpa harus ia mencuci pakaiannya sendiri, membersihkan kamar tidur, atau memberikan imbalan kepada ayah dan ibunya? Bukankah atas nama cinta lalu ia rela mengerjakan semua pekerjaan-pekerjaan sebagaimana yang dikatakan oleh sahabat ‘Umar ra untuk Anda?

Di dunia ini, tidak ada seorang pun yang bisa hidup tanpa cinta. Amru Khalid berkata, “Kalau saja naluri alami ini tidak Allah ciptakan, niscaya manusia tidak akan mempunyai harapan untuk meneruskan hidup atau berkembang biak. Naluri inilah yang menjadi salah satu sebab yang menjadikan alam tetap berjalan terus. Jadi, mana mungkin kita bisa berpikir untuk menghilangkan atau pun membuangnya dari kehidupan kita. Tidak mungkin juga kita berpura-pura menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak ada.”

Sebagai ‘book lover’, aku juga senang membaca novel atau cerita cinta. Salah satu yang pernah kubaca, novel fenomenal pada zamannya; “Ayat-ayat Cinta.” Aku pernah terkesan dengan kisah cinta roman klasik Romeo dan Juliet. Tapi setelah membaca kisah-kasih cinta Rasulullah saw dengan Khadijah, semua romantisme yang dibangun oleh para pengarang atas dasar khayalan dan fantasi itu pun tersingkirkan.

Aku mendapatkan sebuah kisah cinta yang paling hakiki yang pernah ada di muka bumi ini. Cinta yang  tetap berlanjut dan bersemi walau Khadijah telah wafat. Sementara cinta Romeo dan Juliet, atau Qais dan Lailah tak pernah berakhir dengan pernikahan.

Izinkan aku mengajak Anda merasakan betapa dahsyatnya cinta yang diberikan oleh Rasulullah saw kepada Khadijah, yang dikutip dari kitab “Kalaam Min al-Qalbi” (Dengarkan Suara Hati) karya Amru Khalid.

Dikisahkan bahwa, setahun setelah wafatnya Khadijah, datanglah seorang wanita dari sahabat beliau yang berkata, “Yaa Rasulullah, apakah engkau tidak akan menikah lagi? Padahal engkau mempunyai tujuh keluarga yang siap menerima permintaanmu. Perkawinan adalah perkara yang harus diputuskan oleh setiap laki-laki.” Nabi saw pun menangis dan berkata, “Adakah seseorang yang aku cintai setelah Khadijah.”

 Beliau tak pernah melupakan istri pertamanya ini, hingga empat belas tahun sepeninggalnya. Saat penaklukan kota Makkah, orang-orang berkumpul di sekeliling beliau. Kaum Quraisy, semuanya datang kepada beliau untuk meminta maaf. Saat itu, seorang wanita tua datang kepadanya dari kejauhan.

 Rasulullah saw pun meninggalkan semua orang untuk bertemu dan berbicara dengannya. Beliau melepaskan mantelnya, dan membentangkannya di atas tanah. Beliau duduk bersama wanita tua itu di atasnya.

 Aisyah rha bertanya, “Siapakah wanita yang Rasulullah telah memberikan semua waktu dan perhatian kepadanya?” Beliau menjawab, “Dia adalah sahabat Khadijah.” Aisyah rha kembali bertanya, “Kalian berdua membicarakan apa wahai Rasulullah?” Beliau berkata, “Kami membicarakan tentang hari-hari Khadijah.” Aisyah pun merasa cemburu dan berkata, “Apa engkau masih mengingat wanita tua itu, padahal ia telah ditutupi tanah (meninggal dunia), padahal Allah telah menggantinya dengan yang lebih baik?”

 Nabi saw pun menjawab, “Demi Allah, Allah tidak menggantikanku dengan orang yang lebih baik darinya. Dia telah menghiburku saat semua manusia mengusirku. Dia juga telah mempercayaiku saat semua manusia mendustaiku.” Aisyah rha merasa Nabi saw marah. Kemudian ia berkata kepadanya, “Maafkanlah aku wahai Rasulullah!” Beliau menjawab, “Minta maaflah kepada Khadijah, hingga aku bisa memaafkanmu.”

Bayangkanlah, bagaimana mungkin cinta itu tetap bersemi, padahal Bunda Khadijah telah meninggal empat belas tahun yang lalu? Inilah potret cinta yang tidak didahului oleh hubungan-hubungan yang diharamkan. Inilah kisah cinta yang membuat aku meneteskan air mata tatkala menceritakannya dalam setiap sharing.

Sebuah perenungan bagi kita semua, atas nama cinta.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur