Breaking News
Penulis di depan komplek Auliya' Kyai Ageng Muhammad Besari

GEBANG TINATAR, TEGALSARI

Kyai Ageng Mohammad Besari dan Cikal Bakal Pesantren

Oleh: Salim A. Fillah

Penulis di depan komplek Auliya’ Kyai Ageng Muhammad Besari

Pada tahun 1742 itu, ibukota Mataram di Kartasura bedah, hancur terjarah. Gabungan kekuatan Mas Garendi dan pasukan Tionghoa yang ditindas Gubernur Jenderal VOC Adrian Valkenier di Batavia mengamuk. Sang Raja, Susuhunan Pakubuwono II terpaksa diungsikan ke Ponorogo, ke kediaman seorang ‘Alim yang Zahid, Kyai Ageng Mohammad Besari. Di sana sang Raja ‘mondok’, dan menjadi ‘santri’, belajar berbagai ilmu agama kepada sang Kyai sembari banyak beribadah dan bermunajat agar pemberontakan segera padam.

Sejarawan Martin Van Bruinessen menyimpulkan, sejak itulah dimulai suatu bentuk pengajaran Islam yang disebut ‘Pondok Pesantren’. Di sekitar rumah seorang ulama dibangun pondokan untuk menampung para santri yang berasal dari tempat jauh. Meski sebelumnya para Kyai juga tak hanya mengajar warga sekitar; Gebang Tinatar Tegalsari mencatatkan satu keistimewaan lagi. Ia berkurikulum.

Ditemukan di Pesantren ini naskah-naskah tua Kitab Al-Munhati, Jauharuttauhid, Jauharussamin Liummil Barahain, Kitab Tajwid, dan Kitab Faraidh. Ada lagi Syarh Fathul Mu’in karya Zainuddin Al Malibari, Fathul Wahhab karya Zakariya Al Anshari, hingga Al Muharrar karya Ar Rafi’i yang disyarah oleh pengasuh pesantren ini di tahun 1800, Kyai Kasan Yahya.

Selain Pakubuwono II, Pangeran Diponegoro dikatakan pernah belajar di sini dalam masa pengembaraannya sebagai ‘Syeh Ngabdul Rohim’. Jejaring Tegalsari inilah salah satu kekuatan barisan ulama dan santri di belakang Sang Pangeran. Cucu Kyai Ageng Mohammad Besari yang membawa pesantren ke puncak kejayaan, Kyai Bagus Kasan Besari (1800-1862) juga diambil menantu oleh Susuhunan Pakubuwono IV. Di awal abad XIX itu tak kurang dari 3000 santri belajar di Gebang Tinatar.

Makam Auliya’ Kyai Ageng Muhammad Besari (Foto-foto : Dokumentasi Salim A. Fillah)

Santri istimewa Bagus Burhan, kelak akan dikenal sebagai pujangga terbesar dan terakhir Jawa, Raden Ngabehi Ronggo Warsito. Dzurriyah Pesantren ini, HOS Cokroaminoto hingga Prof. Soedjatmoko menjadi para guru bangsa. Terkembang pula keluarga pesantren ini menjadi cikal bakal Pesantren Termas hingga Gontor. Karya para santrinya bertebaran dari Radyapustaka hingga Leiden.

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur