(Foto : Davy Byanca)

Belajar Tauhid dari Orang Sakit

Oleh: Davy Byanca

(Foto : Davy Byanca)

Sekarang saya sadar bahwa orang yang beriman adalah orang-orang yang gagah, perkasa, dan pantang menyerah. Kalau bukan ketangguhan orang-orang beriman, tentu Islam tak akan pernah mampir di bumi Nusantara ini. Tak pernah terbayangkan bagaimana para sahabat dan generasi penerusnya dengan penuh keikhlasan menyebar ke seluruh dunia untuk menyampaikan risalah Allah kepada penduduk bumi ini. Kalau bukan karena kekuatan yang dahsyat di dalam kalbu, tentu mereka sudah menyerah di tengah jalan. Semuanya karena pemahaman mereka tentang tauhid tak tergoyahkan.

Saya mendapat pelajaran berharga mengenai kekuatan iman ini dari orang-orang terdekat, saat mereka terbaring di rumah sakit. Seorang bijak berkata, ”Jika engkau hendak melihat keimanan seseorang lihatlah saat ia sakit.” Inilah pelajaran keimanan yang paling menyentuh. Pengalaman telah mengajarkan saya bahwa yang namanya kuat, gagah atau perkasa, bukanlah di saat Anda sehat.

Bayangkan, saya sudah dua kali menjaga kerabat yang diopname, keduanya di masa muda termasuk orang yang disegani karena kekuatan fisiknya. Begitu sakit, saya menyaksikan mereka mengerang kesakitan, berteriak, mengeluh, pokoknya merepotkan istri dan keluarga yang lain. Hilang sudah keperkasaan yang dipertontonkan saat sehat.

Suatu kali saya mengunjungi seorang paman yang sekarat. Beliau adalah sosok sederhana, badannya kecil, terkesan ringkih, tetapi terkenal baik hati dan santun. Penyakitnya jauh lebih parah dari kedua kerabat saya di atas. Hidupnya tergantung dari selang-selang yang menusuk tangan, perut dan hidungnya. Tetapi ia tak pernah mengeluh, lisannya tak lepas dari menyebut asma Allah. Memandang wajahnya, saya meneteskan air mata. Tapi beliau malah memegang tangan saya, ”Jangan menangis ananda, semua mahluk-Nya pasti akan merasakan rasa sakit, kita semua hanya menunggu giliran.” Masya Allah, saya menyapu air mata dan beristighfar. Di hadapan saya, tengah terbaring anak manusia yang sangat tegar, karena keimanannya pada Allah swt.

Ia bahkan tak pernah memperlihatkan rasa sakitnya kepada siapa saja yang mengunjunginya. Ketika orang lain bersabar saat mendapat ujian, ia malah mengajarkan saya untuk bersyukur. Ia memandang setiap ujian sebagai jalan Tuhan untuk menaikkan maqam-nya, menguji sudut-sudut keimanan yang terus bersemi di kalbunya. Saya ingat ucapan seorang sufi, Al-Muhasibi, “Rasa syukur yang paling tinggi adalah bila engkau menganggap setiap malapetaka yang menimpa sebagai suatu nikmat, karena malapetaka yang menimpa manusia yang lain lebih dahsyat dan besar dibandingkan dengan malapetaka yang menimpamu. Di saat manusia lainnya merasa butuh sabar, engkau malah bisa bersyukur.”

Itulah mengapa, Muhammad saw selama 13 tahun tak pernah berhenti mengajarkan akidah kepada umatnya. Karena iman adalah fondasi, ia mendahului doa dan shalat. Shalat dilakukan lima kali sehari; iman terus-menerus ada. Shalat dapat ditinggalkan jika ada alasan yang sah dan dapat ditunda. Iman tidak begitu. Iman tak dapat ditinggalkan untuk alasan apa pun dan tak dapat ditunda-tunda. Shalat tanpa iman tak memberikan manfaat. Saat mencari nilai kepatutan moral, kita harus mencari iman dulu, yang intinya adalah mengingat atau dzikir.

Laleh Bakhtiar, President Institute for Traditional Psychoethics and Guidance dalam bukunya Moral Healing through the Most Beautiful Names: The Practice of Spiritual Chivalry berkata, “Iman sejatinya tak akan ada tanpa adanya kekafiran, karena iman adalah meninggalkan kekafiran. Karena itu mesti ada kekafiran yang ditinggalkan. Keduanya adalah hal yang satu dan sama, karena yang satu tak mungkin ada tanpa yang lain. Doa dalam berbagai agama itu berbeda, sedang iman tidak berubah, ia hanya ada dalam Islam.”

Dikisahkan bahwa apabila anak manusia meninggal dunia, Allah swt berkata kepada malaikat, “Apakah kamu telah mengambil ruh anak seorang manusia?” Malaikat menjawab, “Ya.” Allah swt kembali bertanya, “Apakah kamu mengambil buah hatinya?” Malaikat menjawab, “Ya.’ Allah bertanya lagi, “Apa yang dikatakan oleh hamba-Ku pada saat buah hatinya meninggal?” Malaikat menjawab, “Dia memuji-Mu dan membaca inna lillaahi wa inna ilaihi raji’uun.” Allah swt berkata, “Bangunkanlah untuk hamba-Ku itu satu rumah di surga dan diberi nama rumah itu dengan nama rumah al-hamd (rumah pujian).” Hr Tirmidzi.

Sahl bin ‘Abdullah bercerita bahwa, ada seseorang yang mendatanginya dan berkata, “Seorang pencuri telah memasuki rumahku dan mencuri barang-barangku!” Sahl berkata, “Bersyukurlah kepada Allah swt. Seandainya seorang pencuri (yakni syaitan) datang memasuki hatimu dan merusak imanmu dari tauhid, apa yang akan kauperbuat?”

Begitulah. Orang yang beriman hanya takut jika keimanannya sirna. Tak ada dalam kamus orang beriman untuk mengeluh. Pandangannya penuh kasih sayang, bicaranya adalah doa, dan fikirannya adalah baik sangka. Jika seorang anak manusia wafat dalam keimanan, maka tak ada alasan bagi Allah swt untuk tak memberikan rumah baginya di surga. Terima kasih ya Allah, karena Engkau telah menunjukkan pelajaran keimanan kepada diriku melalui kerabat-kerabat yang menderita sakit.

 

Aku –

yang selalu takut dan berharap kepada-Mu.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur