Breaking News
(Foto : Istimewa)

Terimakasih Ayah

Renungan 10 Malam Terakhir Ramadhan

Oleh: Davy Byanca

(Foto : Istimewa)

Di saat-saat kritis, aku selalu takjub pada cara-cara orang mengulurkan dirinya dengan kata-kata dukungan. Aku pernah mengalami saat-saat krisis dalam hidupku –kita semua tentu pernah mengalaminya. Anak sulungku divonis harus segera dioperasi akibat kecelakaan saat bermain futsal di sekolahnya.

Aku harus menunggu beberapa saat karena bagian keuangan rumah sakit tak mau tahu soal situasi anakku, yang sudah terbaring di depan ruang operasi hanya karena aku belum membayar uang muka biaya operasi. Aku dan istri berupaya menghubungi beberapa sahabat. Aku merasa rahmat dan cinta-Nya menyelubungi kami, karena hampir semua bertanya, “adakah yang bisa aku lakukan untuk membantu kalian?”

Di saat-saat sulit seperti itu, orang-orang yang aku kenal dengan baik, dan bahkan orang-orang yang tidak pernah berjumpa denganku membangun jembatan dukungan untuk kami berdua. Salah satunya, ketika seseorang yang tidak begitu dekat denganku menghubungi dan menawarkan bantuan program kesehatan yang disediakan oleh lembaga sosial yang dipimpinnya.

Kami dulu pernah bertemu saat aku aktif di Majelis Azzikra. Lembaganya sering membantu kami dengan membuka stand kesehatan dengan menyediakan tenaga medis dan obat-obatan gratis bagi jamaah yang membutuhkan. “Mohon maaf bang, kami mendengar dari Fulan bahwa anak abang akan dioperasi di rumah sakit anu. Mudah-mudahan abang berkenan jika lembaga kami akan menghandle dan menyelesaikan semua urusan administrasi di rumah sakit tersebut. Sebentar lagi staf kami akan sampai di rumah sakit,” ujarnya melalui sambungan seluler.

Tak terasa ada telaga bening mengambang di pelupuk mataku. Aku duduk, diam, memejamkan mata, dan membuka hati untuk menerima uluran tangan dari arah yang tak disangka-sangka itu. Ketika aku membuka mata dan menghapus air mata, lelaki tersebut sudah hadir di depan mataku –rupanya ia menelepon dari ruang administrasi rumah sakit, ia tersenyum dan memelukku. “Kami datang hanya untuk mengingatkan abang, kalau abang tidak harus menanggung semua beban ini seorang diri.”

Setelah kejadian itu aku merenung di kamar rumah sakit sambil menjaga anakku paska operasi. Heningnya malam membuat pikiranku melayang, teringat akan wejangan dari almarhum ayah. Beliau sering menasehati kami kakak beradik untuk selalu menjadi pribadi yang senang berbagi.

Salah satu nasihatnya yang membekas di hatiku saat aku baru masuk kuliah dan beliau terbaring lemah menahan sakit kankernya. Beliau berkata, “Jika ingin mendekatkan diri kepada Tuhan, maka kita harus mencari Tuhan di dalam hati orang lain. Kita harus berbicara baik tentang mereka, baik di hadapan apalagi di belakang mereka. Jika kita ingin menjadi pelita untuk mencerahkan orang lain, maka seperti matahari, kita harus menampakkan wajah yang sama bagi mereka semua. Memasukkan kebahagiaan kecil ke dalam hati seseorang adalah lebih baik daripada membangun banyak ‘kuil pemujaan’ dan ‘sentra pencitraan’ di sekitar kita, karena suatu saat kelak jatidiri ini akan terbuka dengan sendirinya.”

Tiba-tiba wajah beliau terlintas dalam lamunanku. Tak ada yang sia-sia saat kita berbagi. Terima kasih ayah …!

Ah, tetiba teringat ayah.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur