Breaking News

Mister Nobody

(Foto : Istimewa)

Oleh: Salim A. Fillah

Apa yang disukai manusia dari kemasyhuran? Menjadi pusat perhatian? Dilihat dan dibicarakan? Disapa dan diajak berfoto? Didengarkan dan dipatuhi? Disambut dan dilayani? Didahulukan dan diutamakan?

Tapi semua ada harganya. Menjadi yang demikian tentu membuat diri jadi kehilangan banyak privasi. Semakin banyak waktu, fikiran, tenaga, dan sumberdaya yang berstatus ‘untuk orang lain’. Sukar untuk menghindar dari disapa, diajak bincang, ditanya-tanya, diwawancara, hingga ‘direpoti’ ini dan itu.

Ya akhirnya memang soal menata hati; sebab itu bisa jadi ladang ‘amal berpahala besar. Atau -wal ‘iyadzu billah- jebakan yang sangat menipu, rugi tak bertepi di akhirat nanti. Maka berada di titik itu perlu kekuatan jiwa yang dahsyat, sebagaimana Rasulullah ﷺ menanggung beban semesta, maka harus “qumillaila illaa qaliila” dan “wa rattilil qur-aana tartiila.”

Bagi kami yang rapuh jiwa dan compang-camping ‘amal tapi kadung terjebak ‘dikenal orang’; sesekali menjadi Mister Nobody; tidak dikenali, incognito, dan ‘mreman’ itu sungguh sebuah kemewahan. Sebuah rehat. Sebuah nikmat. Lagipula, kami selalu ingat kisah ini:

“Apa yang hendak disombongkan manusia?”, ujar seorang ‘Arab dusun pada Yahya ibn Al Mihlab, sang maha-menteri yang bermegah-mewah.

“Kamu tak kenal siapa aku?”

“Kenal”, sahut si Badui. “Dulu kamu setetes air hina, yang dihinggapi lalat jika tercecer bekasnya. Kelak kau akan jadi bangkai, menggelembung, berbelatung, dan busuk anyir baunya. Dan kini seonggok daging, hilir mudik ke sana kemari membawa-bawa kotoran di dalam perutnya.”

Yaa Rabb.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur