(Foto : Anchor)

KHALIFAH UMAR DAN GUBERNUR SA’ID BIN AMIR

(Foto : Anchor)

Adalah Said bin Amir Al Jumahi radhiallahu anhu, salah seorang sahabat yang sangat zuhud dalam kehidupannya.

Pada suatu ketika Khalifah Umar bin Khathab radhiallahu ‘anhu mengutusnya untuk menjadi Gubernur di Homs, wilayah Suriah sekarang.

“Wahai said, saya mengamanatkan kepada anda sebagai gubernur di Homs, ” Kata Amirul Mukminin Umar bin Khathab.

“Hai Umar, aku ingatkan dirimu akan Allah! Janganlah kamu menjerumuskanku kedalam fitnah!”

Perkataan Said itu tentu saja membuat Umar marah. Umar membentaknya.
“Kalian meletakkan urusan berat ini di pundakku, lalu kalian berlepas diri dariku! Demi Allah, aku tidak akan melepaskanmu!
Kamu harus berangkat dan akan kami beri gaji sebagaimana seorang gubernur menerima gaji. ”

“Siap Amirul Mukminin…! Saya siap menerima amanat ini, tapi saya tidak mau menerima gaji. Cukup tunjangan tahunan dari Baitul Mal sudah cukup untuk memenuhi kebutuhanku.”
Setelah itu Sa’id pun berangkat ke Homs.

Beberapa tahun kemudian, Umar meminta penduduk Homs menuliskan daftar fakir miskin dari mereka yang berhak diberi bantuan dari kas negara.

Umar heran karena diantara nama yang ditulis itu diurutan paling atas tertera nama Sa’id bin Amir.

“Siapakah Sa’id bin Amir ini? “Tanya Umar.
“Gubernur kami,” jawab mereka.
Apakah gubernur kalian fakir?  Selidik Umar. Mereka membenarkan, “Demi Allah, kami menjadi saksi.”

Ketika Umar mengunjungi Homs, beliau bertanya kepada penduduk, bagaimana menurut kalian pelayan gubernur kalian?”

Mereka mengeluhkan tentang gubernur kepada Umar. Penduduk Homs dijuluki dengan “Kufah Kecil”, karena terkenal sering mengeluhkan tentang pejabat-pejabat mereka.

Mereka berkata : “Ada empat hal yang kami keluhkan.

Pertama, gubernur kami baru keluar menemui kami ketika hari menjelang siang.”
“Adakah keluhan lain yang lebih berat lagi?” Tanya Umar.
Mereka berkata : “Dia tidak mau menerima tamu seorangpun diwaktu malam hari. ”
“Adziim, apa lagi?
Mereka berkata: ” Dia dalam tiap bulannya, seharian tidak keluar menemui kami.”
“Adziim, apa lagi?
Mereka berkata: “Dia sering jatuh pingsan.”

Kemudian Umar memanggil Said bin Amir dan mempertemukan dengan perwakilan masyarakat.
Sebelumnya Umar berdoa, “Ya Allah, janganlah Engkau ubah persangkaan baikku kepadanya pada hari ini”.

Umar memulai sidang dan berkata kepada mereka, “Apakah keluhan kalian kepadanya?”
Mereka berkata, ” Dia keluar menemui kami ketika hari menjelang siang.”
Umar bertanya kepada Said bin Amir, apa tanggapanmu?”
“Demi Allah. Sesungguhnya aku tidak suka menyebutkannya.
Istriku tidak memiliki pembantu, saya tiap pagi membantunya membuat adonan tepung dan membuat roti.
Setelah selesai, saya berwudhu dan keluar menemui masyarakat” Jawab Said bin Amir”.

“Apalagi yang kalian keluhkan?”

Mereka bilang : “Dia tidak mau menerima tamu seorangpun diwaktu malam.”

“Apa tanggapan anda?”

Jawab Said bin Amir : “Akupun tidak suka menceritakan hal ini. Aku telah menjadikan siang untuk melayani mereka maka aku jadikan malam untuk bermunajat kepada Allah.”

“Apalagi yang kalian keluhkan?”

Mereka bilang : “Dia dalam tiap bulannya, seharian tidak keluar menemui kami”.

“Apa tanggapanmu?”

Said bin Amir: “Aku tidak memiliki pembantu yang mencucikan pakaianku, bahkan aku hanya memiliki pakaian yang aku pakai ini saja. Jadi aku mencucinya sendiri, menjemurnya, set£elah kering aku memakainya. Baru setelah itu aku keluar menemui mereka ketika siang hari menjelang sore.”

“Apalagi keluhan kalian?”

Mereka bilang : “Dia sering jatuh pingsan, hingga ia tidak tahu orang-orang yang duduk di majlisnya.”

“Apa tanggapan anda?”

Said bin Amir : “Aku telah menyaksikan pembunuhan Khubaib Al Anshari di Makkah. Saat itu aku masih musyrik. Aku melihat orang-orang Quraisy memutilasi badannya sambil berkata, “Apakah kamu ingin kalau Muhammad menjadi penggantimu? “Maka ia berkata, “Demi Allah aku tidak ingin merasa tenang dengan istri dan anak, sementara Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam tertusuk duri. Demi Allah, aku tidak mengingat hari itu dan bagaimana bisa aku tidak menolongnya, kecuali aku menyangka bahwa Allah tidak mengampuni aku.” Maka akupun jatuh pingsan.”

Umar pun berkata, “Segala puji bagi Allah aku bersyukur kepadaNya karena dugaanku tidak meleset.”
Umar memang menduga bahwa Said tidak mungkin melakukan penyimpangan.

Umar pun kemudian memberikan sejumlah uang sebanyak seribu dinar untuk Said. Said menerimanya dan setelah itu menyedekahkan semuanya.
Umar menangis terharu, kemudian memasukkan seribu dinar kedalam sebuah kantong dan meminta mereka menyerahkannya kepada sang gubernur.

Menerima sekantong uang berisi seribu dinar, Said langsung mengucapkan : “Inna lillaahi wa Inna ilaihi rooji’uun,” seolah satu musibah besar menimpanya.

Istri gubernur itu bertanya : “Apa yang terjadi? Apakah Amirul Mukminin wafat?

“Lebih besar dari itu, ” jawab Sa’id.
“Telah datang dunia kepadaku sesuatu untuk merusak akhiratku”.

“Bebaskan dirimu dari malapetaka itu,” saran istrinya, tanpa mengetahui bahwa malapetaka itu adalah uang seribu dinar.

Said bertanya kepada istrinya, “Maukah engkau membantuku?”
Istrinya mengangguk.

Ia meminta istrinya untuk membagikan uang tersebut untuk fakir miskin, tanpa menyisakan sedikitpun untuk keluarganya.

(Artikel tanpa nama yang diambil dari buku “Kepemimpinan dan Keteladanan Umar bin Khathab radhiallahu anhu”)
Halaman 343-34
..

About Redaksi Thayyibah

Redaktur