Breaking News
(Foto : Sindo)

Catatan Penerapan Perpres RAN PE

Oleh: Djudju Purwantoro (Advokat)

(Foto : Sindo)

Pada awal tahun baru 2021 ini,  pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 7 Tahun 2021, yaitu tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme, Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme.

Penerapan Perpres (RAN PE) tersebjut, terkesan terburu-buru dan ternyata banyak menimbulkan kontroversi di masyakat, terutama di kalangan ahli Hukum dan HAM. Bukankah saat ini juga sudah ada UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Teroris.

Misalnya dalam RAN PE, tentang judul klausul ekstrimisme dan terorisme, dari definisinya saja sangat luas dan bias. Indikatornya tidak jelas, atau bisa ditarik kesana-kesini seperti karet.

Hal lain, yaitu klausul : “Optimalisasi peran Pemolisian Masyarakat,” dalam pencegahan Ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah kepada Terorisme, sangat Sumir dan tidak jelas (kabur). Makna Pemolisian tersebut, apakah juga akan menjadikan peran masyarakat sebagai mata-matanya (spion) polisi?

Besar kemungkinan, Perpres tersebut dalam penerapannya, masyarakat bisa menafsirkan sendiri-sendiri. Hal itu berpotensi untuk saling mencurigai, dan mengadu domba antar masyarakat, sehingga menimbulkan permusuhan, dan bisa berakibat melanggar HAM.

Dalam salah satu klausul pasalnya, juga menyebutkan bahwa, masyarakat (civil society) akan diberikan pelatihan prosedur pelaporan terduga ekstrimis ke kepolisian. Upaya melibatkan masyarakat sipil tersebut tentu bisa berbahaya, dan menimbulkan konflik, karena bisa saling melapor ke aparat kepolisian. Mayoritas masyarakat  kita adalah Muslim, jadi siapakah sebenarnya yang akan disasar atau dijadikan target oleh Perpres ekstrimisme itu? Bukankah istilah teroris dan ekstrimis selama ini cenderung lebih dilekatkan kepada kelompok Muslim?

Guna menghindari implikasi negatif di masyarakat, tentu ada banyak prosedur dan rambu-rambu normatif yang perlu disosialisasikan. Hal itu penting, demi menghindari mudah timbulnya kecurigaan antar warga atau kelompok. Apalagi potensi sampai timbulnya konflik horizontal dan tindakan melanggar HAM. Atau praktik-praktik persekusi dan intoleransi, sehingga melanggar HAM.

Bukankah selama ini masyarakat juga sudah membentuk dan memiliki sistim keamanan lingkungannya masing-masing (Pam Swakarsa).

Unit aduan khusus oleh masyarakat tentang adanya dugaan pelanggaran tindak pidana terorisme, tentu tidaklah sulit. Seperti saat ini, karena masih bisa dilayani dan ditangani oleh kantor polisi setingkat Polres di wilayah tinggalnya dan atau struktur diatasnya.

Demikian halnya, sehingga juga belum perlu diterbitkan Perpres tersebut, kalau harus melibatkan atau membebani setiap kementerian negara dalam proses pelaporan adanya dugaan terorisme lembaga terkait.

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur