Breaking News
(Foto : DaulatHijau)

KEDAULATAN YANG TERJUAL

Oleh: Hasan Syukur (Seorang Petani Gurem)

(Foto : DaulatHijau)

SAYA punya sebidang tanah 2000 m di wilayah Kabupaten Bandung hasil membeli ketika masih usia produktif. Setelah pensiun, mau dijual. Hasil penjualan mau dibelikan kepada hal-hal yang lebih produktif di usia yang sudah kurang produktip lagi. Tanah itu letaknya dipinggir jalan desa yang sudah dicor beton dan masuk kendaraan roda empat. Sumber air bagus. Dekat ke jalan raya. Pemandangan disekitar cukup baik. Kata orang cocok untuk rumah vila. Meski lokasinya bagus, tapi tak mudah menjualnya dengan harga yang pantas. Umumnya pri menawarnya dengan harga yang belum sesuai. Alias rendah. Meskipun sudah diiklankan di Bukalapak.

Suatu ketika saya didatangi beberapa orang “perantara”. Katanya ada yang akan membeli tanah saya dengan harga yang sesuai dengan yang saya iklankan. Tanah itu katanya untuk bangunan vila. Mereka berjanji tidak akan meminta “fee” kepada saya sebagai penjual. “Kami sudah dijamin oleh pihak pembeli”, katanya. Bahkan untuk bea balik nama (BBN) pun kata mereka nggak usah fifty-fifty di desa atau di notaris.

Seperti diketahui biaya notaris atau ke desa biasanya ditanggung berdua penjual dan pembeli. “Bapak cukup buka rekening saja atau memberitahu rekening bapak kepada pembeli”. Pendek ceritera saya setuju. Tapi sebelumnya saya harus bertemu langsung dengan pembeli. “Toh, saya nanti yang akan bertransaksi dengan pembeli”, kataku.

Calon pembeli pun datang menemuiku di rumah. Ternyata yang datang, calon pembeli itu etnis Cina. Padahal para perantaranya semua “orang kita”. Bro, bukan saya rasis. Gini gini juga saya masih punya jiwa nasionalisme. Bukan sekedar butuh uang. Jual beli pun gak jadi.

Sejenak saya merenung, membayangkan, terjadinya proses rolling status dari petani tuan tanah menjadi penduduk pinggiran dan miskin.

Semula para petani memiliki lahan sawah di tempat strategis di pinggir jalan raya. Tapi setelah dihitung hitung dengan modal tanam hasilnya perbulan kurang dari satu juta rupiah. “Jangankan biaya menyekolahkan anak dengan uang segitu, makanan bergizi saja nggak terbeli”, kata seorang pertani, ketika kami melakukan survai kecil-kecilan.

Kekhawatiran saya akan terjadi gap generation. Kedepan kita menjadi bangsa kurang gizi, lemah dan tak terdidik. SDM kita jauh ketinggalan dari bangsa-bangsa lain. Itu petani pemilik lahan. Belum lagi penggarap paroan atau sekedar buruh tani. Yang menyedihkan ketika panen banyak petani gigit jari, hasil panen cuma dibayarkan ke tengkulak.

Harap diketahui masih banyak petani modal tanamnya hasil pinjaman dari tengkuak. Ketika tiba-tiba ada yang membeli dengan harga tinggi, bisa dipahami. Dengan polos mereka setuju. Tapi masalahnya umumnya petani nggak punya pengalaman mengelola uang sebesar itu. Ia tak punya profesi yg digelutinya selain tani. Tak disadarinya uang itu habis oleh keperluan konsumtif non produktif. Sekarang nasibnya nengenaskan uang habis, sawah sudah berpindah tangan. Umumnya dijual kepada pengusaha etnis nonpri untuk keperluan properti pabrik atau usaha lain.

What next? Untuk biaya hidup eks tuan tanah itu umumnya menjadi kuli bangunan atau menjadi buruh tani (derep). Anak cucunyapun yang tak mampu lagi memiliki kecintaan kepada dunia tani. Berserak di kota-kota. Itulah proses pemiskinan di kalangan petani mayoritas bangsa Indonesia. Padahal tanah adalah kedaulatan. Bukankah setelah dijual kita tak punya hak campur tangan lagi kepada tanah yang terjual itu? Dengan berbagai motivasi, ternyata konon lebih 95 persen tanah-tanah wilayah NKRI sudah beralih tangan kepada para etnis nonpri.

Konon seorang taipan bisa nemiliki 50 sampai 100 hektar tanah. Kalau info itu benar, kita sudah tidak punya lagi kedaulatan, sebagai ciri dan kekuatan bangsa berdaulat. Jadi bagaimana kita membayar utang? kedaultanpun sudah terjual.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur