Breaking News
Masjid Jogokariyan, Yogyakarta memasang baliho untuk.enam pemuda itu (Foto : Istimewa)

Tafsir Kematian Enam Pemuda Muslim

Oleh: Priyono B Sumbogo (Kriminolog)

Masjid Jogokariyan, Yogyakarta memasang baliho untuk.enam pemuda itu (Foto : Istimewa)

Bagi sejumlah besar kalangan umat Islam, kematian enam anggota Front Pembela Islam (FPI) merupakan kematian yang bergengsi dan terhormat. Sebagai buktinya, suara gemuruh dan takbir Allohu Akbar menyambut jenasah mereka saat diserahkan kepada pihak keluarga. Dan sebelum dimakamkan, mereka disholatkan oleh begitu banyak orang. Mungkin beribu, beratus ribu atau bahkan berjuta orang, baik secara langsung maupun dengan sholat gaib. Terpujilah dan berbahagialah para Ibu yang melahirkan mereka.

Pasti ada rasa sakit yang diderita sebelum mereka tewas. Tapi itu cuma sebentar. Lubang perluru di kepala dan di dada, luka-luka di wajah, dan bekas-bekas kekejian di sekujur tubuh mereka, justru meningkatkan martabat kematian mereka. Syahid. Begitulah keyakinan beribu, beratus ribu, bahkan mungkin berjuta umat Islam yang menyolatkan mereka.

Orang-orang yang menembak mereka atau pejabat hukum yang membenarkan pembunuhan itu sebagai bentuk bela diri, belum tentu akan dihormati seagung itu ketika kelak mereka mati. Dan pasti mati. Belum tentu mereka akan disholatkan oleh orang sebanyak itu. Juga belum tentu mereka akan mati dengan cara seterhormat itu. Pun belum tentu mereka akan mati dengan lancar. Mungkin mereka akan lebih dulu mengalami sakit berkepanjangan. Tersiksa oleh stroke, sakit jantung, gagal ginjal, kencing batu, prostat, atau penyakit lain yang menyakitkan.

Ada wartawan dari media massa tertentu, profesor dari lembaga tertentu, dan wakil rakyat dari partai tertentu yang begitu bersemangat dan tanpa menggunakan hati, membenarkan pembunuhan itu sebagai bentuk bela diri petugas hukum. Tapi mereka tak akan seberuntung para pemuda muslim itu. Sang wartawan akan segera dilupakan, karena cuma seorang suruhan dari pemilik media atau kekuatan tertentu. Sang profesor akan segera dicibiri dan kematiannya pasti tidak akan seterhormat para pemuda muslim itu. Sedangkan wakil rakyat dari partai tertentu yang disebut “tidak punya otak” oleh pimpinan Front Pembela Islam, mungkin akan menghabiskan hartanya untuk mengobati penyakit sebelum ia mati. Lalu ia akan dilupakan begitu saja.

Kematian enam pemuda muslim itu mungkin baru awal dari serangkaian kematian umat Islam yang akan terjadi, karena potensi benturan telah tercipta. Duka cita bercampur amarah telah menjalar di kalangan umat Islam, terutama yang tidak berada di lingkaran kekuasaan. Sebaliknya, lingkaran kekuasaan tetap bertahan bahwa penembakan enam pemuda muslim tersebut merupakan tindakan yang dibenarkan secara hukum.

Kini tinggal berdoa semoga tragedi sekitar 400 tahun silam tidak terjadi lagi. Yakni ketika Raja Amangkurat I (1646-1677) yang bersekutu dengan penjajah Belanda, membantai 6.000 ulama karena mendukung pemberontakan Trunojoyo, seorang pangeran dan ulama dari Madura. Demi kekuasaan, Raja Amangkurat I berkomplot dengan penjajah Belanda. Amangkurat membantai bangsanya sendiri dan membagi sebagian kedaulatan Kerajaan Mataram kepada Kompeni Belanda.

Umat Islam dan ulama memang senantiasa hadir manakala bangsa sedang genting. Tokoh Islam HOS Cokroaminoto dan para ulama memulai gerakan kemerdekaan Indonesia dengan mendirikan Syarikat Dagang Islam (SDI) pada 16 Oktober 1905. Gerakan ini pada mulanya dibentuk untuk melawan persaingan dagang dengan para taipan Cina ketika itu. Kemudian menjadi benih gerakan kemerdekaan Indonesia. Bahkan Proklamator Bung Karno dididik dan menjadi menantu HOS Cokroaminoto. Di masa penjajahan Jepang, Buya Hamka dan KH Mas Mansyur berhasil mendesak pemerintah Jepang membentuk PETA (Pembela Tahan Air) yang kemudian menjadi inti Tentara Nasional Indonesia (TNI) bersama laskar pemuda Islam lainnya. Menjelang kemerdekaan, Kyai Haji Agus Salim dan KH Haji Wahab Hasbullah termasuk Bapak Pendiri Bangsa. Dan di masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, guru Muhammadiyah Jenderal Soedirman yang soleh, menjadi Panglima Besar pertama TNI.

Di masa penjajahan Belanda dan Jepang, banyak umat Islam dan ulama tewas karena membela Tanah Air, kehormatan agama Islam, dan terutama karena niat mengabdi kepada Alloh SWT. Jika saat ini umat Islam dan ulama bergerak, mungkin karena ada yang mengganggu kehormatan Tanah Air dan Agama Islam Bila situasi ini terus berlanjut, maka kematian enam pemuda Islam dan kematian kaum muslimin berikutnya adalah kematian yang terhormat.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur