Breaking News

Kredit Leasing, Haram?

Ustadz H. Dwi Condro Triono, Ph.D

Dalam sebuah forum Islamic Business Coaching (IBC), saya pernah digugat oleh seorang peserta: “Jika multiakad itu hukumnya BATAL, apa itu tidak mengguncang dunia persilatan?”. Terus terang, saya kaget. Apa maksudnya?

Bukankah dalam transaksi keuangan syari’ah saat ini kebanyakan menggunakan MULTIAKAD? Baik di Bank Syari’ah, Asuransi Syari’ah, Pegadaian Syari’ah, Pasar Modal Syari’ah dsb? Jika multiakad itu BATAL, bagaimana nasib berbagai lembaga keuangan syari’ah tersebut? Bisakah masalah multiakad ini dijelaskan dengan uraian yang lebih mendalam dan masuk akal? Begitu maksud sekaligus pertanyaan dari peserta tersebut

Jaman sekarang ini, penjelasan dengan menggunakan DALIL saja seringkali masih dianggap belum cukup, meskipun dalilnya sudah cukup jelas. Sebagaimana Sabda Rasul SAW:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ

Rasulullah SAW telah melarang dua kesepakatan (akad) dalam satu kesepakatan (akad)” (HR. Imam Ahmad).

Walaupun dalilnya sudah disampaikan, masih juga memunculkan pertanyaan lebih lanjut, mengapa dua akad (multiakad) itu tidak boleh? Bagaimana penjelasannya?

Untuk menjawabnya, kita harus memahami terlebih dahulu bahwa di dalam setiap akad mu’amalah itu memiliki muqtadha al-‘aqad (konsekuensi aqad) yang berbeda-beda antara akad satu dengan akad lainnya. Misalnya, akad jual beli itu muqtadha al-‘aqad-nya adalah terjadinya pemindahan kepemilikan. Sedangkan dalam akad sewa-menyewa muqtadha al-‘aqad-nya adalah terjadinya pemindahan manfa’at.

Dengan demikian, kita dapat membayangkan betapa rusaknya jika kedua jenis akad itu digabungkan atau dicampur. Misalnya, dalam akad leasing itu sebenarnya terjadi penggabungan antara akad sewa-menyewa dengan akad jual beli, atau yang dikenal dengan istilah SEWA-BELI. Bagaimana praktiknya?

Dalam akad leasing, selama barang itu belum lunas angsurannya, maka status barang itu masih dianggap menjadi milik lessor (pemberi sewa/lembaga pembiayaan). Oleh karena itu, jika lessee (penyewa/yang mengangsur) itu angsurannya macet, maka barang itu langsung disita dan uang angsuran yang telah dibayarkan dianggap sebagai uang sewa, berarti langsung hangus. Akan tetapi, jika angsurannya selesai, maka barang itu menjadi milik lessee dan uang angsuran yang telah dibayarkan dianggap sebagai uang pembelian. Padahal makna lessee itu sendiri adalah penyewa. Bagaimana seorang penyewa kemudian bisa menjadi pemilik barang? Ruwet bukan?

Silakan dibayangkan, jika jangka waktu angsuran itu selama 5 tahun, bagaimana sstatus barang yang digunakan oleh lessee itu? Misalnya barang itu adalah sepeda motor, apakah sepeda motor yang dipakai selama 5 tahun itu sudah dianggap miliknya lessee atau itu barang sewaan? Termasuk, bagaimana konsekuensi dari perlakuan terhadap barang itu?

Misalnya, di dalam BPKB dan STNK-nya itu seharusnya tertulis atas nama siapa? Atas nama yang menyewakan (lessor) atau penyewanya (lessee). Jika harus membayar pajak kendaraan, siapakah yang harus membayar pajaknya? Jika ada kerusakan pada motornya, siapa yang harus menanggung biaya servisnya. Jika motor itu dipinjam, ijinnya kepada siapa? Jika mau memodifikasi motornya, ijinnya kepada siapa? Jika mau menyewakan motor itu, uang sewa menjadi haknya siapa? Dan seterusnya. Semuanya akan ruwet, apakah itu hak lessor ataukah lessee? Apakah itu kewajiban lessor ataukah lessee? Tidak jelas.

Jika kita mau jujur, ketika telah terjadi akad transaksi leasing, pihak lessee (penyewa) tentu sudah merasa bahwa motor itu adalah motor miliknya, karena niatnya memang mau membeli sepeda motor secara kredit. Apakah faktanya demikian? Faktanya itu adalah barang sewaan selama 5 tahun, kecuali kalau bisa melunasinya dalam jangka waktu 5 tahun, baru dianggap sebagai barang miliknya. Bingung kan?

Jika kita masih bingung dengan contoh di atas, kita bisa menggunakan contoh yang lebih ekstrim. Misalnya seorang wanita dinikahi dengan multiakad, yaitu akad nikah dan ijarah (sewa). Kita yakin, selama berumah tangga wanita itu akan bingung plus galau secara permanen. Jika dia memasak, itu statusnya sebagai istri atau sebagai juru masak (yang disewa)? Ketika membersihkan rumah, itu statusnya sebagai istri atau pembantu rumah tangga (yang disewa)? Ketika harus melayani suami, itu statusnya sebagai istri atau PSK (yang disewa)? Tidak jelas bukan? Itulah rusaknya multiakad. Itulah sebabnya, multiakad menurut pendapat Syaikh Yusuf As-Sabatin (2009), hukumnya adalah BATAL.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur