Breaking News

JALAN SURGA MARSAN (2)

Oleh : Didin Amarudin

Penulis, Marsan (peci putih) dan pasien.

Pengalaman pertama menyembuhkan Rudi menjadi modal besar dalam membangun kepercayaan Marsan dan istrinya. Bahwa Rudi-Rudi lain akan mampu dipulihkan jiwanya. Bukan dengan ilmu-ilmu hebat di bangku kuliah. Tapi dengan hati yang tulus melayani.

Maka sejak tahun 2003 secara sengaja Marsan mulai membawa ke rumahnya orang-orang yang jiwanya sakit. Orang-orang yang dijauhi dan diabaikan. Bahkan oleh keluarganya sendiri.

Perjuangan yang tidak mudah. Justru makin hari makin berat.

Dulu yang dirawat hanya Rudi seorang diri. Dan itu pun Rudi ODJG kategori sedang saja. Tenang, tidak ngamuk-ngamuk.

Nah sekarang yang ditangani beragam. Mulai yang ringan sampai yang berat. Mulai yang diam mematung sampai yang teriak-teriak.

Pasien di rumah “pengobatan” Marsan. (Foto-foto : Dokumentasi Didin Amarudin)

Namun menurut Marsan justru yang diam mematunglah yang paling sulit dihadapi.

“Sebab saya tidak tahu apa maunya.” Demikian menurut Marsan.

“Yang diam begini, kalau kita tidak pindahkan dia akan tetap saja diam di tempat itu. Tidak mau makan, dan buang hajat pun di situ.” Lanjut Marsan.

Selain itu, jumlah yang dirawat pun semakin banyak. Rumah kecil sederhana Marsan tidak memadai lagi. Padahal anak-anaknya yang masih kecil sudah dititipkan di rumah mertua, yang masih satu kampung.

Beruntung di sebelah rumah Marsan ada lahan kosong yang kemudian ia bangun di atasnya bedeng-bedeng berdinding bilik bambu. Rangkanya ia kumpulkan dari kayu-kayu bekas. Maka jadilah ia ‘rumah’ bagi 20 an OGDJ yang dirawat Marsan.

Persoalan besarnya sekarang adalah urusan memberi makan mereka. Yang harus diberi makan semakin banyak, sementara penghasilan Marsan diperoleh dari usaha yang sama, menjadi kusir delman.

“Apakah belum ada yang tergerak hatinya memberi bantuan, Pak?” Tanya saya, untuk menjawab keingintahuan saya mengapa pada tahun 2005 Marsan terpaksa harus menjual kudanya. Aset satu-satu yang berharga yang ia punyai.

Saya kira kurun waktu 1993 sampai 2005 cukup panjang untuk membuka mata hati para dermawan yang mengetahui apa yang dikerjakan Marsan. Ternyata dugaan saya salah.

“Bapak kalau melihara anak yatim, pasti sumbangam dah mengalir. Lah ini mah orang sakit jiwa dipelihara. Yang ada mah, mencibir dan menjauh.” Jawab Marsan.

Jadi Marsan benar-benar berjuang sendiri. Menyiapkan tempat berteduh, merawat, menerapi, dan mencari uang semua ia kerjakan sendiri bersama istrinya.

Tidak ada uluran tangan dari tetangga, lingkungan, RT, RW, desa, ataupun dinas sosial. Pun dari yang mulia wakil rakyat kabupaten, propinsi maupun pusat. Yang atas nama rakyat mereka digaji dan mendapat fasilitas macam-macam itu. Padahal Marsan rakyat mereka juga.

“Lalu, bagaimana menutup kekurangan biaya beli beras dan lain-lain Pak?” Tanya saya lagi.

“Ya ngutang, Pak.” Jawab Marsan lagi.

“Pernah suatu ketika di rumah gak ada beras sama sekali,” Lanjut Marsan,

“Terus saya suruh dah orang rumah ngebon ke warung langganan. Lalu kata orang warung, ‘Bilangin ke Marsan, kalau ngutang terus tapi gak bayar-bayar bisa-bisa saya bangkrut!’ ”

Setelah mengetahui solusi nge-bon ke warung tertutup sudah, Marsan segera bergegas menemui salah seorang temannya yang berkecukupan. Tetapi sebelum kata ‘pinjam’ keluar dari mulut Marsan, ia sudah down duluan ketika temannya berkata,

“Elu sih orang sakit jiwa diurusin, sedang yang waras saja susah!”

Marsan pulang ke rumah dengan tangan kosong dan bayangan wajah orang-orang yang belum makan.

Maka sesampai di rumah ia mengatakan pada istrinya bahwa si boy, kudanya, mau dijual.

“Kalau si boy dijual, nanti pakai apa cari uang?” Istrinya bertanya heran.

“Gak usah dulu mikirin besok. Yang penting hari ini ada uang untuk beli beras!”

Sungguh jawaban yang mencerminkan ketawakalan yang luar biasa. Ketawakalan yang lahir dari tanggungjawab yang ia pikul atas keputusan yang ia buat.

Maka si boy yang telah menemani Marsan mencari nafkah selama bertahun-tahun, dan pemberian mertua saat baru nikah, berpindah tangan ke orang lain dengan bayaran dua juta rupiah.

Sedih tapi juga lega, bahwa stok beras di rumahnya untuk beberapa pekan ke depan aman. Dan utang ke warung bisa ia lunasi.

Depok, 9 September 2020.

Bersambung.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur