Breaking News
Penulis paling kiri. Harisman berbatik paling kanan. (Foto : Dokumentasi Didin Amaruddin)

MENCARI KREDITUR

Oleh: Didin Amarudin

Penulis paling kiri. Harisman berbatik paling kanan. (Foto : Dokumentasi Didin Amarudin)

Di mana-mana yang lazim adalah kreditur mencari debitur. Yang meminjamkan mengejar-ngejar yang meminjam. Kalau perlu menggunakan tenaga orang, semacam debt collector. Atau detektif. Atau apalah namanya. Seperti yang terjadi pada teman saya (tidak perlu saya menyebutkan namanya) yang membeli motor lewat leasing.

Saat perusahaan leasing-nya terbakar karena kerusuhan Mei 1998, ia tidak melanjutkan angsuran leasingnya. Sampai beberapa bulan. Mungkin beberapa tahun -saya lupa. Saat ia sedang mengendarai motornya, di tengah jalan ia dicegat seseorang.

Lalu dikatakan,”Ini motor sudah nunggak lama!”

Maka apa boleh buat saat itu juga motor itu ditarik.

Saya hanya ingin menggambarkan sampai sebegitunya orang berusaha menagih. Padahal saat itu belum ada medsos seperti sekarang. Jejak digital sulit dilacak. Bukan sulit sebenarnya, tapi memang mungkin tidak ada. Toh, berhasil juga menagih di jalanan seperti itu.

Tapi teman saya yang satu ini keluar dari pakem itu. Namanya Harisman. Pengusaha yang low profile. Ia yang berutang, alih-alih menghilang atau merangkai alasan, malah ngoyo mencari si peminjam alias kreditur. Kalau perlu sampai blusukan ke daerah-daerah.

Kisah bermula ketika Harisman berjualan di blok A Tanah Abang. Ia menyewa kios berukuran 2 x 2 seharga 40 juta rupiah. Lumayan mahal untuk harga saat itu. Awal tahun 2000 an. Tapi apalah artinya jika bisnisnya berhasil. Seperti kawan saya ini yang setiap ketemu hampir selalu mengenakan hem batik.

Bisnis Harisman kian hari kian berkembang. Dia menceritakan bagaimana dalam hitungan jam saja ia bisa meraih untung puluhan juta rupiah. Pagi datang sekian ratusan kodi pakaian, dalam tempo dua jam sudah berpindah tangan ke para pedagang.

Maka satu kios tidak cukup lagi. Buka kios kedua. Sukses. Masih belum cukup. Buka kios ketiga. Sukses. Sampai akhirnya buka 4 kios. Lagi-lagi sukses.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Di tengah kesuksesan yang tengah menghampiri, musibah datang tiba-tiba. Sembilan belas Februari 2003 Pasar Tanah Abang terbakar hebat. Ribuan toko dan kios beserta isi di dalamnya lumat menjadi arang dan debu. Termasuk kios yang disewa kawan saya itu.

Padahal stok barang lagi banyak di kiosnya. Padahal pula, tiga bulan sebelumnya Harisman baru saja mengakhiri masa lajangnya. Benar-benar masa bulan madu yang kelabu.

Maka kebakaran itu tidak saja menghabisi modalnya, berupa persediaan barang dagangan dan uang sewa yang sudah disetor di muka, tapi menyisakan utang satu milyar lebih kepada para suplier yang tak terbayarkan. Setidaknya sampai saat itu.

Beberapa suplier yang mengetahui rumah Harisman, menyantroni rumahnya. Tentu untuk menagih. Di saat puing-puing dan bekas kebakaran bahkan belum sirna. Bahkan ada yang meminta bantuan preman segala. Benar-benar tidak punya empati.

Adapun kepada suplier-suplier yang kehilangan kontak –tidak bisa menghubungi Harisman- kalau mau, Harisman bisa saya mencari alasan untuk mengelak membayar utang.

Pertama, pakai saja alasan yang paling bisa diterima: kebakaran itu. Tambahi embel-embel force major. Toh, semua tahu kebakaran itu benar-benar terjadi. Semua media meliput. Termasuk majalah Tempo yang menulis judul di sampul depan ‘Ada Tomy di Tenabang’ edisi 2 Maret 2003. Yang menyeret Tempo ke pusara hukum itu.

Alasan kedua: tidak ada alasan. Cuekin saja. Kalaupun mereka mau menagih, menagih ke mana. Kios sudah rata. Bukan hanya kios yang ditempati Harisman, tapi se-blok A tanah Abang itu. Sambungan telkom yang menjadi andalan komunikasi pun otomatis terputus. Agar tambah sempurna, tambahi: catatan utang piutang ikut terbakar. Jadi, sekali lagi cuekin saja. Lupakan utang.

Tapi Harisman tidak culas. Ia tipe pedagang yang lurus. Sampai hari ini. Ditelikung kawan atau rekanan bisnis berkali-kali, ya. Tapi ia tidak ambil hati dan tidak mau mengambil jalan yang sama; main telikung.

Ia hanya perlu waktu saja untuk menyelesaikan utang-utangnya. Pikirannya sederhana saja; Urusan utang tidak selesai di dunia. Kalau pun ia lolos di dunia, urusannya malah panjang sampai ke akhirat. Ditagih maupun tidak ditagih.

Maka ia pun berusaha untuk membayar utang-utang itu. Walaupun baru tuntas bertahun-tahun. Karena tentu Harisman harus memulai dari nol lagi. Dan harus mendatangi tempat yang jauh. Itu tadi, karena sebagiannya kehilangan kontak.

Suatu ketika ia harus ke Tasikmalaya menemui salah satu krediturnya. Sebutlah Haji Syam (nama samaran). Salah satu pengusaha garmen dan bordir besar di Tasikmalaya. Juga anak-anaknya.

“Jika ada 10 besar pengusaha garmen, maka lima adalah H. Syam dan anak-anaknya.” Demikian tutur Harisman.

Sebelas tahun tidak berjumpa, banyak hal berubah. H. Syam kini dalam kondisi tidak semakmur dulu. Sedang jatuh. Maka ketika Harisman menyerahkan uang 38 juta sebagai pelunasan utangnya, luar biasa kegembiraannya H. Syam.

Kita bisa merasakan kebahagiaan itu. Di saat kita sedang membutuhkan, seseorang yang berutang dan sudah tidak tahu berada di mana –sudah pasti tidak bisa diharapkan- tiba-tiba datang melunasi utangnya. Alangkah bahagianya! Padahal yang jelas rimbanya, yang sudah ditagih, berkali-kali, seringkali mangkir dan menunda-nunda.

Setelah itu Harisman minta diantar ke salah soerang anaknya. Ia masih berutang 11 juta. Berbeda dengah H. Syam, anaknya makin sukses. Bisnisnya makin besar.

Namun sayang anaknya yang beberapa tahun lalu pernah menjemput Harisman di terminal bis Tasikmalaya ini telah wafat. Maka setelah berbicara dan menjelaskan soal utang kepada istri almarhum, kembali H. Syam mendapatkan kegembiaraan. Istri almarhum, mantu H. Syam, meminta Harisman menyerahkan uang 11 juta itu kepada H. Syam.

Lain lagi pengalaman Harisman ketika berusaha melunasi utangnya kepada pedagang batik di di Pasar Klewer Solo. Ia mencarinya. Ketemu dan mencicilnya. Masih tersisa dua juta.

Lagi-lagi kebakaran memutus kontak mereka. Kali ini Pasar Klewer yang terbakar. Dua puluh sembilan Desember 2014. Namun kawan saya ini tidak menyerah. Ia datang lagi ke Solo, mencari, bertanya dan ketemu.

“Kamu itu olang baik ya. Mau bersusah payah demi membayar utang!” Kata si Encik, kreditur, saat Harisman melunasi sisa utang yang dua juta itu.

“Kamu takut ya nanti ditagih di akhirat.”

Si Encik tahu juga rupanya bahwa di ajaran Islam –mungkin juga di ajaran agama lainnya- urusan utang sangat serius.

Itulah Harisman yang bersusah payah mencari kreditur. Bukan untuk meminjam atau mencari tambahan modal, tapi untuk melunasi utangnya.

Maka, jika Anda ingin memberi utang, carilah orang seperti Harisman.

 

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur