Breaking News
Salah satu foto yang beredar tentang Fedrik Adhar Syaripuddin, JPU dalam kasus penyiraman air keras Novel Baswedan (Foto : Istimewa)

Kasus Novel, Tuntutan Jaksa Merusak Hukum dan Menghina Akal Sehat

Oleh : Andi Mapperumah

 

Salah satu foto yang beredar tentang Fedrik Adhar Syaripuddin, JPU dalam kasus penyiraman air keras Novel Baswedan (Foto : Istimewa)

Media sosial ramai menyoal tuntutan ringan Tim Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan kasus Novel Baswedan (NB) yang hanya menghukum 1 tahun penjara bagi terdakwa. Jaksa berdalih terdakwa tidak sengaja menyiram air keras yang menyebabkan mata kiri NB buta permanen.

 Tuntutan ringan jaksa tersebut sungguh merusak tatanan hukum, menghina akal sehat, dan menambah rusak citra aparat penegak hukum. Bayangkan! Kasus ini 3 tahun ditangani aparat hukum dan 3 tahun terdakwa jadi buronan, tapi dituntut hukuman hanya 1 tahun. Kasus level maksimalis tapi dihukum minimalis.

 Jaksa bodoh itu beralasan bahwa terdakwa tidak sengaja menyiram air keras ke mata NB. Dikatakan bodoh karena dalam hukum pidana tidak dikenal istilah ‘tidak sengaja’, yang ada adalah ‘lalai’. Konstruksi tuntutan tidak logis dan dengan bahasa hukum yang nyelimet dan bikin geli. Dikatakan kasus itu bukan penganiayaan berat terencana, tapi penganiayaan berencana berakibat berat.

 Kasus penyiraman air keras terhadap NB terjadi pada Selasa 11 April 2017. Dari awal proses penyelidikan sudah terlihat banyak keanehan dan penuh tanda tanya. Sebetulnya jika aparat bekerja profesional, kasus ini tidak begitu sulit terungkap, terlebih dengan kecanggihan alat penegak hukum untuk mendeteksi segala tindakan pidana.

 Namun, karena diduga ada kekuatan besar yang tidak ingin kasus ini terungkap demi untuk melindungi oknum petinggi di jajaran penegak hukum yang diduga kuat merupakan aktor intelektual di balik penganiayaan NB. Terkait ini, Majalah Tempo telah lama melakukan investigasi mendalam dan menemukan petunjuk sebagai dasar menyelesaikan kasus ini.

 Meski telah ada petunjuk yang bisa memandu arah menuntaskan kasus ini, tetap saja terombang-ambing sampai 3 tahun. Selama itu, desakan pegiat hukum dan HAM, LSM, dan publik bertubi-tubi diarahkan kepada Presiden Jokowi agar menuntaskan kasus ini. Komnas HAM sendiri telah menyerahkan laporan investigasi ke presiden. Lembaga ini menemukan fakta penyerangan tersebut dilakukan secara terencana yang melibatkan pihak-pihak yang berperan sebagai perencana, pengintai, dan pelaku kekerasan.

 Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi juga melakukan investigasi dan telah menyerahkan hasilnya kepada Presiden dan KPK. Laporan investigasi disusun oleh koalisi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bersama LBH Jakarta, KontraS, Lokataru Foundation, ICW, LBH Pers, PSHK AMAR, Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas Andalas, serta PUKAT UGM. Hasil investigasi menemukan lebih dari satu nama jenderal yang diduga terlibat berperan dalam peristiwa penyerangan terhadap NW.

 Kapolri Jenderal Tito Karnavian ketika itu juga membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Tim yang beranggotakan 65 orang memiliki masa tugas selama enam bulan dan sudah habis pada 7 Juli 2019 lalu. Namun tim ini tidak mengungkap siapa pelaku dan dalang penyerangan.

 Presiden Jokowi sejak 2017 sudah memintah Kapolri menuntaskan segera kasus ini dan berjanji akan terungkap dalam waktu yang cepat. Namun hingga jelang 3 tahun pelaku penganiayaan belum juga terungkap. Baru setelah pergantian Kapolri ada titik terang penuntasan dengan ditangkapnya pelaku penganiayaan. Dan proses hukum pun berjalan.

 Namun, hasilnya sungguh mengecewakan. Jaksa Penuntut Umum dalam sidang pada Kamis (11/6/2020), menuntut 1 tahun penjara bagi 2 terdakwa. Terhadap tuntutan ringan ini, publik pun kecewa dan geram. Ruang media sosial bergemuruh oleh rasa kecewa dan mengecam tuntutan yang sangat tidak adil melukai perasaan hukum masyarakat.

 Ada dugaan jaksa tidak independen berada dalam tekanan. Karenanya, Jaksa Agung harus memeriksa dan jika terbukti harus dipecat atau dipensiunkan dini. Korps Adhyaksa harus memutus mata rantai pandemi kerusakan moral agar bisa bekerja profesional penuh integritas.

 Harapan terakhir ada pada vonis majelis hakim. Kita sungguh berharap para hakim yang mengadili terdakwa bersikap independen tidak dalam pengaruh tekanan. Berharap hakim mengabaikan tuntutan jaksa yang tidak berdasar itu. Dan hakim mampu menguak semua tabir kegelapan yang menyelimuti kasus ini. Sebab keyakinan banyak orang, terdakwa hanyalah wayang yang digerakkan oleh sang dalang.

  

 

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur