Breaking News
(Foto : Istimewa)

Catatan Cinta Lansia (36)

Mengenang Emak dan Emih

Oleh: Pipiet Senja

(Foto : Istimewa)

Anno 20 Mei 2020.

Ada yang menautkan kedua sosok ini di mataku; Emih dan Mak. Emih, nenekku dari pihak ayahku itu, bernama lengkap Encun Surnamah. Sementara ibu kandungku punya nama lengkap Siti Hadijah. Kedua wanita ini memiliki sepasang mata nan lembut. Sepasang mata yang keibuan, sarat dengan kasih sayang. Pengabdian dan bakti untuk keluarga.

Karakter keduanya sangatlah berbeda. Emih jelas jauh lebih cekatan dan mandiri dibandingkan dengan Mak. Emih juga ulet dan tegar. Terkadang Emih suka keras kepala dan sok tahu. Beliau sederhana dalam berpikir, bersahaja dalam berpenampilan. Sedangkan Mak seorang wanita yang lemah lembut, kurang mandiri.

Mak terpelajar, tetapi sering kami tak bisa menebak jalan pikirannya. Mak juga bersahaja dalam berpenampilan, sepanjang kutahu, tak pernah kutemukan alat-alat kosmetik di lemari rias ibuku ini. Kelemahan Mak suka bertindak secara tergesa-gesa. Sering kurang pertimbangan, gampang percaya kepada orang lain, juga sering mengalah pada kemauan anak-anaknya.

Lepas dari itu semua, keduanya mempunyai arti khusus dalam hidupku. Keduanya memilki tempat tersendiri di hatiku. Emih dengan segala keuletan dan pengorbanannya. Bersama Emih saat kanak-kanak aku banyak mengalami peristiwa mengesankan. Pada masa remaja, giliran bersama Mak melakoni macam-macam peristiwa.

Suatu masa di tahun 1961. Kejadiannya di Cimahi, kampung halaman Emih. Mak sering mengalami sakit kepala, sakitnya lumayan parah. Mak harus diopname di RS Dustira.

Sebelumnya telah dirawat juga di RS Sumedang. Tetapi tak banyak perubahan. Dokter menyarankan untuk melanjutkan pengobatannya ke rumah sakit yang lebih lengkap. Untuk beberapa waktu lamanya aku terpaksa ditinggal di Sumedang. Karena saat itu aku sekolah di TK.

Pada kesempatan liburan Bapak mengajakku menengok Mak. Saat itulah aku baru mengetahui, pekerjaan Emih adalah bakul sayuran di Pasar Tagog. Dini hari Emih sudah berangkat ke Pasar Antri atau Pasar Atas. Sekitar pukul setengah enam Emih sudah kembali. Langsung menggelar dagangannya di pinggir jalan. Emih punya jongko sendiri alias tempat dagangannya. Saban petang kami akan diajak Emih untuk besuk Mak.

Biasanya Uwak Titi, kakak sepupu Bapak, dan seorang anak laki-lakinya ikut bersama kami. Biar ramai dan agaknya Mak merasa hangat oleh nuansa kekeluargaan. Maklum, diopnamenya bukan seminggu-dua minggu, tapi sampai berbulan-bulan. Sementara itu, Bapak sedang sibuk ikut pendidikan, SECAPA atau sekolah calon perwira untuk kenaikan pangkat. Bapak tak bisa pulang setiap hari. Hanya setiap akhir pekan Bapak bisa berkumpul dengan keluarga.

Kulihat adikku En yang selalu lincah itu berkejar-kejaran dengan Gaga, anak semata wayang Uwak Titi. En selalu bergerak, seakan-akan tak pernah merasa lelah. Sedangkan aku mudah sekali lelah. Belum ada yang memaklumi benar mengapa aku cepat lelah. Mudah pusing dan gampang jatuh sakit. Paling mereka mengira aku bengek atau paru-paru tidak normal.

Sepasang mata Mak yang lembut tampak sendu. Memandangiku dan adik-adik bergantian. Merabai pipi kami dan mengelus rambut kami.

“Kapan Mak pulang?” tanyaku menatap kepala yang dibelit selendang kecil.

“Maunya sekarang. Tapi kepala Mak masih sering sakit, sakiiit sekali,” keluh Mak sambil menitikkan air mata.

Beberapa hari kemudian Mak diperbolehkan pulang. Keluarga Bapak menyarankan mencari pengobatan alternatif buat Mak. Suatu hari datanglah seorang pintar. Mereka menyebutnya Amih Lala. Seorang perempuan separo baya dengan dandanan dan rias muka yang seronok. Rambutnya keriting kecil, perawakannya tinggi besar, bibirnya tebal dan jebleh dengan lipstik murahan. Aku dan adikku En suka lepas dari pengawasan orang tua, berdua kami akan diam-diam mencari sudut yang aman agar bisa menonton pengobatan Mak.

“Sediakan tiga butir telur ayam kampung. Kembang tujuh rupa dan air putih sebaskom,” pinta Amih Lala kepada sanak kerabat yang sedang mengunjungi Mak.

Mak tidur di atas kasur di tengah rumah, sekilas kondisi Mak seperti orang sehat saja. Namun, kalau sudah kambuh sakit kepalanya… wuiiih… kasihan sekali! Kami sering ikut merasakan kesakitan, panik dan bingung dibuatnya. Kurasa Mak ingin sekali sembuh. Maka, apapun yang dikatakan orang, bila itu menyangkut demi kesembuhannya, Mak mau saja melakukannya.

“Penyakit ini sengaja didatangkan oleh orang yang iri dengki kepada Kang Koko,” ujar Amih Lala sesaat memeriksa Mak. “Guna-guna ini sebetulnya ditujukan untuk Kang Koko. Tapi karena si Ayi Alit ini lemah, yah… kenalah dia!”

Amih Lala kemudian menempel-nempelkan sebutir telur ayam kampung ke sekujur tubuh Mak. Terutama lama sekali ditempelkannya di selitar dahi, kepala, dan tenguk Mak. Lantas, dia pun memijat beberapa titik anggota tubuh Mak. Agaknya pijatannya itu sangat menyakitkan.

“Lepaskan Maaak!” sergahku dan adikku En tak tahan lagi. Kami pun menyerbu dari balik gorden. Tetapi para orang tua segera menjauhkan kami dari Mak.

Bagaimana pun kuatnya kami berontak, tapi apalah daya kami, anak kecil ini, untuk melawan dua-tiga orang dewasa? Emih membiarkan kami duduk di balik punggungnya, sehingga kami bias menyaksikan gerak-gerik Amih Lala selanjutnya.

“Naaah, sekarang kita pecahkan ketiga telur ini. Lihat dan perhatikan apa isinya!” ujar Amih Lala.

Trek, trek, praaang! Puluhan jarum kecil keluar dari telur pertama. Belasan lintah, cacing, dan lipan keluar dari telur yang kedua serta segenggam rambut keluar dari telur ketiga. Semua yang hadir berdecak, takjub, kaget, heran, ngeri dan macam-macamlah!

“Benar kan, apa kataku tadi? Ini namanya santet atau guna-guna orang. Bukan penyakit sembarangan. Penyakit kiriman orang jahat,” Amih Lala nyerocos.

Kemudian kepada Bapak, Amih Lala berkata; “Air baskom ini disiramkan simpangan jalan di depan sana, ya kang Koko!”

“Sekarang?”

“Ya, tentu saja sekarang.”

“Itu isi telur-telurnya diapakan, Amih?” tanya Emih.

“Hmmm, aku akan kembalikan kepada si jahat itu!”

Entah diapakan, aku tak melihat apa-apa lagi. Keburu loncat mengikuti Bapak, membuang kembang air bekas mandi Mak. Hasilnya? Entah memang berkat Amih Lala atau sudah saatnya Mak sembuh. Beberapa minggu kemudian kami pulang bersama Mak ke Sumedang. Bukan ke rumah melainkan ke rumah sakit kembali.

“Kalian akan punya adik baru,” kata Bapak suatu hari sepulang dari rumah sakit…”

“Apaaa…? Adiiik?” seruku dan En.

“Iya, kali ini mudah-mudahan adik laki-laki!” ujar Bapak terdengar penuh dengan harapan.

Emih suka sekali mendongeng. Hingga beberapa waktu lamanya aku sempat sangat terpengaruh dengan dongeng pewayangannya. Bahna terpengaruhnya otakku, sampai aku berangan-angan suatu saat bisa juga bertemu dengan tokoh-tokoh pewayangan. Terutama tokoh Gatotkaca dan Kresna, idolaku ketika bocah. Pikiran itu buyar saat aku membaca komik pewayangan. Terutama karya RA.

Kosasih, komikus pewayangan yang sangat memukai. Membuat kita bisa mengerti silsilah dunia pewayangan, asal-usul karya besar Mahabrata dan Ramayana. Ketika aku membacakan komik-komik itu kepada Emih, dia tetap bersikukuh dengan pemikirannya sendiri.

“Dunia pewayangan itu pernah ada. Hidup. Nyata.Bahkan sampai kapan pun akan tetap demikian. Emih pernah ketemu seorang kakek yang baru turun gunung Manglayang. Kakek itu mengaku ketemu Arjuna dan Batara Guru di puncak manglayang,” katanya keras kepala.

Biasanya aku memilih menyingkir untuk mengalah, daripada berbantahan dengan nenekku yang satu ini. Bisa-bisa aku kehilangan jatah surabi panas dan cemilan, oleh-olehnya dari pasar.

Setiap liburan, aku akan diajak Bapak ke Cimahi. Acara yang aku sukai ialah menonton sandiwara Sunda. Semacam pementasan Srimulat. Gedung sandiwaranya lumayan bagus untuk ukuran kala itu. Konon, di zaman Belanda suka dipakai pertunjukan opera. Tontonan nonih-nonih dan menir-menir Belanda. Letaknya tak jauh dari alun-alun dan Mesjid Agung. Macam-macam lakon digelarkan oleh mereka.

Di Cimahi nama kelompok sandiwaranya aku tak ingat lagi, tapi mereka bermain bagus sekali, menurut kacamata anak kecil. Kecanduan Emih akan sandiwara ini menurun kepadaku. Dua kali sepekan dipastikan kami akan menonton sandiwara. Pilihannya pada malam Jumat dan malam Minggu. Malam Jumat biasanya melakonkan cerita-cerita seram, misteri.

Sedangkan malam Minggu lakonnya dramatis, tragedi keluarga. Kalau kebetulan tak punya duit, Emih sampai bela-belain menggadaikan kain panjangnya. Gara-gara ditinggalkan sendirian oleh Emih mengantarkan En pulang.

Aku pernah tersesat tak bisa pulang, menghebohkan seisi gedung sandiwara, karena aku menjerit-jerit histeris. Emih menemukanku sedang dirubungi para pengasong dalam keadaan antara eling tidak eling. Kabar itu sampai juga ke kuping ayahku. Kontan saja Bapak marah, dan melarang keras aku tidak boleh ikut Emih menonton sandiwara.

Untuk beberapa waktu Emih menghentikan kegiatan menonton sandiwaranya. Kalau tidak, Emih akan sembunyi-sembunyi dari anak-anak. Namun, setelah kejadian itu tak ada yang mengingatnya lagi, weiiits! Emih kembali mengajakku, dan aku dengan suka-cita mengintil di belakang Emih, menuju gedung sandiwara. Hehe.

Aku rasa saat-saat itulah otakku, jiwa seniku mengalami pengayaan dengan berbagai cerita sandiwara; dramatika, romantika dan suspense, segala hal yang berhubungan dengan cerita skenario!

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur