Breaking News
Penyapu jalan, sebuah ilustrasi (Foto : amel)

Balada Penyapu Jalan dan Qur’an Impian

Oleh : Syatiri Matrais, Lc. MA.

Penyapu jalan, sebuah ilustrasi (Foto : amel)

Di pagi hari, udara sejuk sekali, rupanya sudah hari ke 20 bulan Ramadhan. Heri, pengusaha batubara, menelusuri pinggiran kali kanal Pondok Kopi yang dikenal dengan BKT (Banjir Kanal Timur). Selain kaya, Heri juga pria sholeh, wajah yang kasep, perangai yang ramah, tutur kata yang santun. Meski begitu tidak terlihat kalau dia orang kaya. Heri, seperti biasa shalat subuh berjamaah di masjid dekat rumahnya, dengan berjalan kaki, masjid Ibadurrahman.

Di luar Ramadhan, di akhir pekan, ada kebiasaan unik, Heri membawa puluhan amplop berisikan uang 100 ribu ketika shalat subuh. Setelah shalat ia berjalan menelusuri pinggiran kanal. Seperti biasanya di akhir pekan banyak warga di pinggir kanal, ada yang berolah raga bersama keluarga, ada yang sekedar duduk menghirup udara segar, ada yang jalan santai. Banyak pedagang menjajakan makanan sarapan, jajanan ringan. Tampak banyak petugas kebersihan dari Pemda DKI. Rupanya amplop yang dibawa Heri untuk diberikan kepada orang yang dijumpainya di sepanjang kanal dari penyapu jalan, pemulung hingga pedagang kecil.

Apa yang Heri lakukan bukan untuk pamer harta, bukan untuk menyalonkan wali kota, atau ingin menjadi anggota DPR. Tetapi itu adalah kebiasaan Heri, tanpa maksud dan embel embel dunia. Sungguh indah rasa syukurnya, atas anugerah nikmat yang dirasakannya, ada kepuasan batin tatkala bersentuhan dengan tangan fakir dan dhuafa.

Subuh kali ini, beda dari biasanya diakhir pekan. Heri membawa tas kecil semacam ransel. Seperti biasa setelah berzikir usai shalat, Heri melangkah menuju pinggir kanal. Suasana pinggir kanal lengang, sepi, tidak ada yang berolah raga, berjalan santai bahkan tidak satupun pedagang seperti akhir pekan yang biasa dijumpai. Mungkin sedang puasa sehingga orang hindari kegiatan yang mengeluarkan keringat atau bisa juga sedang beribadah.

Sudah berjalan 1 km dari masjid, Heri menelusuri kanal. Dia kemuian berhenti, duduk dan membaca Al Qur’an yang diambil dari tas kecilnya. Sampailah bacaan di Surat Ali imron ayat 92,

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

“Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu, sungguh Allah Maha mengetahui.”

Heri kemudian dihentakkan dengan suara memberi salam.

“Assalamualaikum, Pak”, seorangibu tua menyapa

“Waalaikumussalam”, jawab Heri.

“Sedang membaca Qur’an, Pak?” tanya ibu itu.

“Iya, Bu”, sambut Heri singkat.

“Punten Pak, Bapak tak kenal saya ya?” tanya ibu itu lagi.

Heri merasa heran dengan pertanyaan ibu tua itu.

“Maaf Bu memori saya agak lelet,” jawab Heri dengan semampu kata, karena tidak ingin mengecewakan si ibu.

“Saya selalu mendapat amplop dari bapak setiap akhir pekan”, jelas ibu itu.

Heri memang tidak ingat dengan ibu tua itu, karena saat dia membagikan amplop tidak memandang wajah orang-orang yang menerima.

“Oh, maaf Bu, saya agak terkesima dengan penampilan Ibu pagi ini,” demikian Heri sekedar menghilangkan perasaan kecewa ibu itu, karena Heri tidak ingat denganya. Ibu itu hanya tersenyum.

“Ibu sedang apa di sini?”

“Saya setiap pagi di sini, pekerjaan saya sebagai tukang sapu jalanan di sini.”

“Oh, sepanjang jalan ini Ibu menyapu?”

“Tidak, Pak. Tugas saya sekitar 3 kilo meter. Sisanya oleh teman saya.”

“Sudah berapa lama Ibu bekerja sebagai penyapu jalan?”

“Sudah 10 tahun, Pak. Alhamdulillah dengan pekerjaan ini sedkit meringankan beban keluarga. Anak saya empat. Tiga perempuan dan satu laki-laki. Paling besar sudah menikah, kedua sedang kuliah. Anak ketiga di SMP dan terakhir masih di SD”.

“Kalau suami Ibu apa kerjanya?”

“Suami saya sudah meninggal sewaktu melahirkan anak bungsu”.

“Oh, maaf, Bu. Bukan maksud saya membuat Ibu sedih,” kali ini mata Heri sedikit berkaca sambil menahan perasaan mendengar perjuangan ibu ini.

“Ayat yang Bapak baca tadi, cocok dengan karakter Bapak.”

“Kok, Ibu tahu ayat yang saya baca? Ibu sering baca Qur’an atau memang Ibu menghafalnya?”

“Alhamdulillah, sebelum berangkat bekerja ke sini, saya biasakan diri membiasakan baca AQuran dulu walau hanya satu ayat.”

Timbul rasa kagum dalam diri Heri. Begitu dekatnya si ibu dengan Qur’an, walau pekerjaannya berat setiap hari bersentuhan dengan kerasnya kehidupan kota, tatapi masih sempatkan diri membaca Qur’an.

“Apa yang Ibu rasakan dan kenapa Ibu mau dekat dengan Quran?”

“Pak, punten sebelumnya, bagi saya membaca Qur’an adalah wajib, saya jadikan sebagai pegangan hidup. Al Qur’an adalah permata saya selain anak-anak yang harus saya jaga dan rawat dengan membacanya. Saya yakin, Kalam Allah ini akan menjaga hidup dan mati saya. Secara akal, mana kuat saya membiayai hidup dengan 4 orang anak hanya dengan pekerjaan tukang sapu jalan? Tidak banyak uang yang saya dapat. Tapi dengan uang yang sedikit bisa mencukupi kebutuhan keluarga saya. Saya selalu merasa yakin jika menjaga Qur’an, Allah akan memelihara kita, sama halnya Allah menjaga Qur’an itu sendiri. Saya merasa setiap hari mendapatkan rizki walau pekerjaan saya hanya menyapu jalanan. Diantara rezeki itu saya sering dipertemukan dengan Bapak yang dermawan ini. Banyak keajaiban yang saya rasakan. Saya yakin itu semua karena saya dekat dengan Qur’an. Maaf Pak, kalau saya seperti menggurui, padahal Bapak lebih cerdas dan semua kedudukan dunia ada pada Bapak.”.

Mendengar ibu itu bertutur, Heri hanya tercengang dan mengagumi. Heri kemudian ingin buktikan keikhlasan ibu ini. Dia berniat memberikan seluruh isi tas yang dibawanya itu. Ada uang 10 juta. Di situ juga ada satu kotak makakan dan sebuah Qur’an.

“Bu, silahkan pilih salah satu dari tiga benda dalam tas saya ini.” Heri menyerahkan tas yang sudah dibukanya.

Ternyata ibu itu lebih memilih Qur’an daripada uang dan makanan dari dalam tas Heri. Terlihat airmatanya menetes.

“Pak, tak ada kebahagiaan buat saya dibanding saya mendapatkan Qur’an yang baru ini. Karena Qur’an di rumah saya sudah hancur, lembaran-lembaran halamannya banyak yang copot atau terkoyak, mungkin karena terlalu sering saya baca. Saya sudah berniat membeli Qur’an baru jika punya uang. Namun sampai saat ini niat itu belum terwujud. Rupanya Allah memberikan saya Qur’an lewat tangan bapak. Hatur nuhun Pak.”

Semakin haru dan kagum Heri mendengar pengakuan ibu ini.

“Ibu, terimakasih telah memilih Qur’an. Jika Ibu tadi memilih amplop yang berisi uang 10 juta, maka Ibu hanya dapatkan uang itu saja. Jika Ibu memilih kotak makanan maka Ibu akan mendapatkan makanan saja. Tapi karena Ibu memilih Qur’an, maka Ibu dapatkan semuanya yang ada di dalam tas ini. Ambillah tas ini dan semua isinya untuk Ibu. Saya ikhlas memberikannya untuk Ibu.”

Ibu ini hanya bisa menangis. Ya, menangis karena bahagia. Hari ini dia dapatkan rezeki yang luar biasa.

Allah telah buktikan keajaiban Qur’an. Tak ada kesengsaraan bagi yang setia membacanya. Kelak, Qur’an tidak akan salah memberi syafa’at di akhirat. Wallahu A’lam bis Shawaab.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur