Breaking News
Antara mudik dan pulang kampong, konflik diksi (Foto : Suara)

Konflik Diksi, Meratakan Wabah ke Pelosok Negeri

Oleh: Ummu Zamzama

Antara mudik dan pulang kampong, konflik diksi (Foto : Suara)

Berani mengeluarkan larangan mudik harus disertai keberanian mengeluarkan anggaran untuk memberikan kompensasi kepada masyarakatnya.

Presiden Joko Widodo atau Jokowi memutuskan melarang semua warganya mudik Ramadan dan Lebaran Idul Fitri 2020. Keputusan itu dilakukan untuk mencegah penyebaran virus corona atau Covid-19 yang telah menjadi pandemi global.

“Setelah larangan mudik bagi ASN, TNI-Polri dan pegawai BUMN sudah kita lakukan pada minggu yang lalu, pada rapat hari ini saya ingin menyampaikan juga bahwa mudik semuanya akan kita larang,” kata Jokowi saat memimpin rapat terbatas, Selasa 21 April 2020. (Liputan6.com/23/4/2020).

Larangan mudik dituangkan dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Pemenhub) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri 1441 Hijriah dalam Rangka Pencegahan Penyebaran COVID-19 yang ditandatangani Menhub Ad Interim, Luhut Binsar Panjaitan, pada 23 April 2020 (detik.com/29/4/2020).

Meski telah dilarang, masih saja masyarakat yang tetap mudik bahkan dengan berbagai cara. Hal ini patut dijadikan bahan introspeksi bagi para pengambil kebijakan. Tanda tanya besar bagi pemerintah. Bukan hanya sekali, berkali-kali kebijakan yang diambil selalu menuai kontroversi. Fenomena masyarakat yang tidak patuh meski telah disediakan sanksi tetap saja pelanggarannya tinggi.

Bila dicermati, fenomena mudik telah melegenda di negeri ini. Para perantau memiliki alasan istimewa menjalani tradisi ini. Di masa wabah seperti ini, mudik makin rasional ketika tidak ada harapan di tanah rantau. Baik pekerjaan maupun jaminan nafkah. Lalu untuk apalagi tetap bertahan? Bukankah sama saja dengan bunuh diri?

Di sisi lain, para pemudik memiliki alasan kalbu, yaitu kerinduan pada keluarga dan kampung halaman setelah sekian lama ditinggalkan untuk bekerja. Maka mudik menjadi kegembiraan yang tak ternilai harganya.

Dari kedua alasan itu, kita bisa menyiasati kegundahan masyarakat perantau dengan kebijakan yang tepat agar tidak menimbulkan kegaduhan. Hari ini pemerintah melarang mudik tetapi membolehkan pulang kampung. Ini sesuatu yang plin-plan dan konfliksionis. Dua kosakata yang semakna mengalami kavlingisasi arti. Sebenarnya, apa tujuan yang dikehendaki?

Bila Corona yang menjadi sebabnya, maka keduanya, baik mudik maupun pulang kampung, sama-sama berpotensi membawa virus dari kota ke pelosok desa. Sebab virus tak mampu membedakan mana yang mudik dan mana yang pulang kampung.

Bila alasannya adalah pembatasan pergerakan massa, baik mudik maupun pulang kampung juga sama-sama membawa arus massa yang besar. Bisa saja para perantau menukar alasan kepergian, apalagi mereka yang memiliki KTP daerah asal bisa pulang tanpa penjegalan di tempat tujuan.

Antisipasi yang penting yaitu situasi di perjalanan. Sejauh mana kesiapan pemerintah dalam menyediakan fasilitas check point kesehatan seperti termometer suhu badan yang canggih, hand sanitizer, dsb di sepanjang perjalanan menuju kampung halaman? Begitupun kesiapan kampung halaman dalam menyediakan program bila harus isolasi mandiri. Termasuk kesiapan mental masyarakat terkait kedatangan para perantau.

Bagaimana bila tetap bertahan di kota? Pelarangan mudik harus disertai penjaminan biaya hidup selama di kota. Selama ini, wacana bantuan sosial, baik BLT maupun sembako, dll telah luas diberitakan. Namun beberapa media mencatat sebarannya tidak merata. Bantuan ini dinilai belum tepat sasaran (vivanews.com/26/04/2020).

Sehingga, citra pemerintah dinilai turun (katadata.co.id/26/04/2020). Tidak hanya itu, beberapa malah tak kunjung turun. Padahal beberapa kali program seperti ini digulirkan. Kondisi ini memicu kekecewaan masyarakat yang lantas memilih nekat pulang daripada kelaparan.

Pada kondisi pandemik wabah, filantropi masyarakat bukanlah solusi hakiki. Mengingat daya jangkau dan daya tahannya bersifat lemah. Sementara efek pandemi wabah bersifat luas dan cepat. Maka, satu-satunya kekuatan penopang ada pada pundak penguasa, yaitu negara.

Negara harus hadir di garda terdepan dalam penanganan wabah ini. Bukan di belakang para donatur mandiri apalagi donatur asing, yang notabene berprinsip tidak ada makan siang gratis. Negara juga pantang latah meminta sumbangan masyarakat, sebab sejatinya dahinya patut ditunjuk sebagai penanggungjawab utama rakyat.

Kehadiran riil dan totalitas negaralah faktor penting dalam penanganan wabah. Berani mengeluarkan larangan mudik harus disertai keberanian mengeluarkan anggaran untuk memberikan kompensasi kepada masyarakatnya. Dengan itu, kecemasan publik dapat ditepis. Loyalitas masyarakat pun akan naik drastis.

Apalagi dalam nuansa Ramadan, di mana ketakwaan sedang diuji. Maka untuk itu, negara harus menyerukan bertaqarub kepada Allah. Menyerukan kembali kepada rekomendasi Kitabullah sebagai wujud keimanan dan sebagai prasyarat diturunkannya pertolongan Allah dan diberikannya jalan keluar dari wabah.

“Dan jika penduduk negeri beriman dan bertakwa (kepada Allah sesungguhnya Kami (Allah) bukakan kepada mereka (pintu-pintu) berkah dari langit dan bumi; Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka lantaran apa yang telah me- reka kerjahan.” (Qs. Al-A’raf: 96)

Inilah yang dahulu dicontohkan oleh Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu. Beliau mengantar pulang para urban dari suku Badui hingga selamat sampai tujuan. Kisah berkesan pada tahun ke-17 Hijriyah ini memberi pengajaran mulia bagi para pemimpin di era modern. Setelah sembilan bulan Madinah kedatangan para Urban dari pedalaman Badui, Sang Khalifah memerintahkan mereka untuk kembali, pulang kampung dan melakukan aktivitas di sana sebagaimana sebelum bencana kekeringan melanda.

Umar menerapkan protokol dan prosedur yang sempurna. Mulai dari menunjuk staf khusus untuk mengurus sarana dan prasarana. Menyediakan moda transportasi yang memadai, memastikan stok kebutuhan selama di kampung halaman aman hingga mereka dapat bekerja seperti sediakala.

“Jika Allah tidak menolong kami dari Tahun Abu ini, kami kira Umar akan mati dalam kesedihan memikirkan nasib Muslimin,” kesan penduduk Madinah yang diabadikan sejarah. WalLahu A’lam.

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur