Breaking News
Masjid Raya Magat Sari berada di tengah keramaian Pasar Kota Jambi (Foto : Info Jambi)

PASAR DAN MASJID BERMESRAAN

Oleh: Ahmad Sunarto (Kandidat Doktor UIN Malang).

Masjid Raya Magat Sari berada di tengah keramaian Pasar Kota Jambi (Foto : Info Jambi)

Era Covid-19, umumnya ilmuwan pro pemerintah membenarkan pasar dibuka dan masjid ditutup. Mereka bahkan ada yang mengangkatnya dari tinjauan Maqashid al-Syari’ah, meski kurang menampilkan maqashid yang dituju. Hanya dalil-dalil umum dan analisis pendukung emosi yang ramai. Sebagian mendaulat posisi Hifdh al-Nafs ke atas, menggeser tahta Hifdh al-Din dalam strata al-Dlaruriyat al-Khams.

Jadinya, pasar dielukan sebagai bermaslahah menyediakan kebutuhan hidup, maka mesti dibuka. Sementara masjid, mafsadahnya dibesar-besarkan sebagai berpotensi penyebaran virus karena kerumunan jamaah, maka harus ditutup.

Berikut ini sekedar mudzakarah tentang maqashid al-syariah versi pribadi al-faqir sendiri dengan tetap bersemangat jihad melawan Corona. Semoga bermanfaat.

Bismillah

Hasil pemotretan maqashid al-syari’ah itu ijtihadi. Meski tidak sama dengan Tanqih al-Manath, al-Ta’lil maupun Hikmah al-Tasyri’ tetapi aromanya bermiripan dan saling bersinergi dalam pembentukan hukum.

Sejatinya, meski tidak pakai pendekatan maqashid al-syari’ah, seawam apapun orang berakal pasti mengerti bahwa pasar adalah sentra ekonomi, di mana hajat hidup manusia banyak bertumpu di situ. Dari ekonomi itulah manusia bisa melangsungkan hidup dan beribadah. Maka benar : “Thalab al-ma’isyah faridlah ba’d al-faridhah”. Mencari ma’isyah itu wajib setelah kewajibah pokok (shalat).

Mendiskreditkan masjid dan menabrak-nabrakkannya dengan pasar sungguh tidak bijak. Karena keduanya bisa dan sangat bisa berjalan mesra dan saling melengkapi dalam hidup beragama. Tradisi pemerintahan islam, di mana ada pasar, di sekitar itu dibangun masjid dan sebaliknya. Surah al-Jum’ah mengawinkan keduanya dengan cantik. Bahkan kegiatan bisnis (pasar) harus ditutup sebentar demi shalat jum’ah (masjid). Dan tidak sebaliknya.

Termasuk tulisan KH. Abdul Waris Ahmad, Imam masjid Agung Ummul Quro, Wajo) berjudul cukup propokatif, PASAR VS MASJID, TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI’AH. Terbaca, bahwa cara melihat maqashid sangat sepihak. Pasar dielaborasi besar-besaran sebagai bermaslahah, yakni kegiatan ekonomi dan ketersediaan kebutuhan hidup. Sementara sisi mafsadahnya tidak diperhitungkan.

Obyektifnya, pasar mengandung maslahah yang sifatnya yaqin, sekaligus mengandung mafsadah yang sifatnya ghalabah al-dhann atau al-dhann al-rajih. Teori taghlib, ghalabah al-dhann dikategorikan sama dengan yaqin. Kalau mau jujur berilmu, untuk ini, harusnya diterapkan kaedah fiqhiyah : “dar’ al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih”. Tapi tidak dilakukan.

Dalam teori memandang maslahah, baik versi al-Ghazali, al-Syathibi maupun Najm al-din al-Thufy, bahwa maslahah itu harus utuh (shihhah al-mashlahah) dan tidak boleh tereduksi oleh mafsadah, meskipun dhanny. Hal itu wajar karena demi instrumen menuju fashl al-hukm yang tanpa cacat. Di sini terbaca ketidak lengkapan beliau dalam melihat maqashid al-syari’ah.

Pasar yang terbuka ibarat menyuapi makanan, sekaligus menyelipkan virus. Lalu, sampai kapan? Lalu, hifdh al-nafs (maqashid al-syari’ah) macam apa yang ditonjolkan dari pasar, jika maslahahnya terancam rontok oleh potensi mafsadah?

Sementara masjid dipandang tidak ada maslahahnya. Ibadah di masjid hanya sunnah dan bisa diganti dengan ibadah di rumah. Sedangkan mafsadah karena kerumunan jamaah dipositif-positifkan, sehingga masjid harus ditutup.

Menurut teologi Covid-19, virus tidak mengenal masjid, tidak mengenal pasar apalagi maqashid al-syariah. Pokoknya bisa menyebar, ya menyebar. Jika sebaran virus di pasar bisa dicegah dengan mematuhi protokol kesehatan : cuci tangan, penjarakan, bermasker dan lain-lain, kenapa masjid tidak diperlakukan sama?

Tentang ibadah di masjid bisa dilakukan di rumah. Maka, apakah belanja di pasar tidak bisa diganti dengan belanja via online? Artinya, masih dibutuhkan regulasi yang adil sebelum menghukumi dan menghakimi secara sepihak.

Misalnya, pemerintah mengatur, menyediakan sentra belanja online besar-besaran yang mudah dan murah, sehingga pasar, Indomart, Alfamart ditutup. Karena alasan tehnik, tetap ada pasar di zona hijau yang beroperasi dengan mematuhi protokol kesehatan. Itu dikembalikan kepada kearifan lokal, ” wa likull wijhah..”

Masjid juga begitu, ada masjid yang mesti ditutup dan ada masjid yang dizinkan dibuka setelah memenuhi syarat kesehatan. Umumnya ilmuwan madzhab pasar berstandar ganda. Masjid diberlakukan teori “Dar’ al-mafasid”, sementara pasar diberlakukan “jalb al-mashalih”. Apa begini ini kejujuran akademik?

Berbeda dengan maqashid al-syari’ah yang punya maslahah utuh dan dikombinasikan dengan teori al-jam’. Jadinya, kebutuhan hidup tetap tersedia, ibadah terselenggara dan virus terputus. Pasar dan masjid tetap sama-sama dibuka sesuai kearifan lokal, dengan lebih dahulu mematuhi protokol kesehatan. Bahkan, kalau mau jujur, sejatinya semua protokol kesehatan lebih bisa dipenuhi di masjid ketimbang di pasar.

Ingat, virus tidak menunggu regulasi. Kita harus selangkah lebih depan dibanding virus, bukan mengejar virus atau kejar-kejaran dengan virus. Ingat, dulu ada peneliti asing mengingatkan bawa Indonesia sudah terpapar Covid-19. Tapi menterinya mencak-mencak dan presiden diam.

Saat negara lain sudah perang melawan corona dan lockdown, negeri ini malah membuka pariwisata lebar-lebar, menggelontorkan dana dan memangkas harga tiket. Jadinya, ulama’ “diperkosa” mengeluarkan fatwa. Ya sudah, ‘Afa Allah ‘amma salaf.

Substansi kebijakan PSBB adalah memutus mata rantai sebaran Covid-19. Boleh kerumunan, tapi berjarak dan berskala tidak besar. Tapi pelaksanaan di lapangan ternyata PSBB rasa lockdown. Sungguh tidak melanggar hukum bila warung, toko, restoran, bengkel, taksi, tadarus, senam tetap dibuka asal mematuhi aturan.

Tindakan aparat yang melampaui batas berdampak sangat parah pada pangan rakyat kecil. Akibat tindakan masif itu, ada yang mati tidak karena Corona, tapi mati karena kelaparan dan merana. Memang tidak terpapar Corona, tapi terpapar tindak pidana. Rakyat kecil kini rindu suara partai politik yang dulu paling lantang meneriakkan “membela rakyat kecil, partainya wong cilik”.

Oke. Kita semua salah dan banyak dosa. Masih ada waktu berbenah diri. Semoga pada bulan suci Ramadlan ini Allah SWT melebur corona seperti melebur dosa-dosa kita. Amin.

 

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur